by

Industri Kreatif: Superhero Indonesia Masih Sulit Bersaing

 

Oleh: K. El-Kazhiem 

Kesuksesan Christopher Nolan menggarap film trilogi Batman; Batman Begins, The Dark Knight, dan The Dark Knight Rises, membawa perubahan dalam jagad perfilman yang bergenre superhero. Alur cerita dalam film superhero tidak lagi sederhana, dan filmnya pun bukan sekadar pop corn movie yang dipasang di musim liburan. Film superhero diangkat ke tataran yang berbeda dengan bobot lebih berat. Karenanya, DC Comics pun mengangkat Nolan sebagai produser supervisi atas seluruh proyek reboot superhero-superhero DC Comics, termasuk dalam film Superman terbaru yang berjudul Man of Steel.

Meskipun tidak duduk di kursi sutradara, pendapat Nolan sebagai produser masih sangat penting, dia menyebut Man of Steel sebagai film Superman terbesar dan terbaik. Nolan menekankan bahwa Superman dan Batman adalah dua karakter yang berbeda sehingga standar yang digunakan juga tidak sama. DC Comics yang bekerja sama dengan Warner Bros akan mewujudkan impian para fans komik dan film superhero untuk melihat 2 tokoh komik terbesar Superman dan Batman tampil bersama dalam sebuah film layar lebar. Sutradara Zack Snyder (Man of Steel) resmi mengumumkan bahwa ia akan mempertemukan Batman dan Superman dalam film sekuel Man of Steel nantinya.

Kebangkitan Marvel dimulai awal tahun 2000 ketika “X-Men” berhasil mencuri perhatian penonton di seluruh dunia. Setelah itu, secara beruntun tokoh-tokoh super-hero produksi Marvel bermunculan: Spiderman, Fantastic Four, Hulk, Iron Man, Captain America, dan Thor menghiasi layar bioskop di seluruh dunia. Puncaknya ketika Marvel menghadirkan “The Avengers”, yang mengumpulkan para superhero dalam satu film. Ketika Marvel sibuk mengumpulkan pundi-pundi keuntungannya dari tokoh-tokoh ciptaannya tersebut, DC Comics seperti tak berdaya. Film-film yang diangkat dari DC Comics hancur lebur, gagal merebut perhatian penonton. “Cat Woman”, “Jonah Hex”, “Green Lantern”, tampil menyedihkan di layar bioskop. Bahkan “Superman Returns” yang digarap Bryan Singer dicibir para kritikus film. Beruntung Batman Trilogi garapan Christopher Nolan mampu berjaya menyaingi film-film milik Marvel.

Film Batman dan Superman diharapkan mampu membangkitkan kejayaan DC Comics dari film-film yang diproduksi Marvel. Batman yang dikembalikan sisi misterius dan kelamnya setelah diporak-porandakan oleh Batman versi sutradara Joel Schumacher, dan Superman yang kini sudah tahu bagaimana cara memakai celana dalam yang benar. Ketika Man of Steel diluncurkan, film itu berhadapan langsung dengan sekuel film kelompok superhero Marvel, The Avengers 2: Age of Ultron. Demikian pula dengan sekuel Superman vs Batman: Dawn of Justice yang berusaha melabrak dominasi rentetan film-film Marvel Cinematic Universe sekaligus sebagai awal kelahiran DC Cinematic Universe.

Namun jika kita merefleksikan dengan kondisi komik-komik superhero Indonesia, tampaknya tertinggal jauh di belakang. Komik superhero Indonesia kembang kempis alias mati tak mau hidup pun segan.  Katakanlah, di Indonesia ada Gatotkaca. Tapi kemudian sering ada pembandingan karakter Gatotkaca dengan Superman, baik itu dalam perbincangan, artikel di media cetak maupun elektronik. Pembandingan ini dapat ditemui pula dalam bentuk gambar. Jenisnya beragam, dari yang sekadar iseng hingga artikel ilmiah tentang budaya.

Munculnya pembandingan ini mungkin bentuk kegelisahan akan serbuan karakter asing sehingga pemirsa di Indonesia, khususnya anak-anak, sangat mengidolakan karakter “dari luar”. Sering pendapat tersebut muncul dalam bentuk keluhan, “Mengapa anak-anak sekarang lebih menyenangi Superman, padahal kita punya Gatotkaca yang tak kalah hebat?” Atau ungkapan lain yang senada. Ungkapan ini tentunya positif bagi kreator Indonesia untuk memacu kreativitas penciptaan karakter idola. Tapi mengapa ketika ada karya bertema Gatotkaca, pada akhirnya akan ada pendapat: “Bagus nih, kita punya tokoh yang tidak kalah dengan Superman.” Dan sebaliknya (walaupun lebih jarang terjadi) ketika ada karya bertema Superman, pada akhirnya akan ada pendapat: “Keren ya, sebenernya Gatotkaca ga kalah tuh.” Tetap saja ada pembandingan, dan mengapa harus ada?

Superman, Batman, Spiderman, X-Men adalah tokoh Amerika, tapi kesannya mereka tokoh internasional sehingga tokoh superhero seperti Indonesia; Gatotkaca, Gundala, Wiro Sableng selalu dibanding-bandingkan. Padahal, superhero tersebut adalah superhero lokal juga; Amerika Serikat punya. Namun mereka berhasil mempopulerkannya secara global dan kesannya adalah menjadi milik dunia. Jaringan DC Comics dan Marvel di seluruh negara sukses mempromosikan dan menjual komik-komik superhero rekaan mereka. Sementara kita di Indonesia terus membanding-bandingkan dengan tokoh superhero kita sendiri sembari disertai nasihat bahwa kita sebagai bangsa Indonesia harus bangga dengan tokoh kita sendiri dibandingkan tokoh dari luar. Ini mirip dengan iklan dalam iklan perangkat elektronik yang ber-tagline, “Cintailah Produk-Produk Indonesia.”

Lantas bagaimana me-reboot superhero Indonesia? Mungkin bisa belajar dari trilogi Batman-nya Christopher Nolan. Pada tahun-tahun belakangan ini, tren film superhero memang tidak lagi mengeksploitasi kekuatan supernya. Sebaliknya, justru ke-tidaksuper-an mereka. Bahkan, tren ini juga melanda film kartun superhero seperti The Incredibles atau Megamind. Sekarang tokoh super hampir selalu diperlihatkan sisi lemahnya, sisi manusianya, sisi postmodern-nya. Para sineas film senantiasa berlomba-lomba untuk membongkar ke-superhero-an superhero dengan aspek dilematis setiap tokoh.  Jadi, jangan heran bila tokoh Batman (yang tak berkekuatan super sekalipun) trilogi-nya Nolan tidak pernah seputih Batman yang kita kenal di masa kecil. Tidak ada yang namanya good vs evil. Penokohan hitam-putih seperti itu hanya untuk anak-anak atau penonton dewasa yang malas berpikir. Film superhero seperti Batman versi Nolan adalah tontonan superhero yang ketika orang dewasa ke bioskop tidak akan malu menontonnya. Tidak ada lagi “Sudah gede kok nontonnya Batman”.

Logika film-film superhero semacam ini mengikuti alur pemikiran filsafat Nietzschean. Bagi yang sering membaca buku-buku Nietzsche, akan terbaca bagaimana konsep Übermensch-nya diejawantahkan dalam film-film superhero sekarang; Übermensch. Ketika Tuhan sudah mati (meminjam kata-katanya Nietzsche), manusia diharapkan menjadi Übermensch bagi kehidupannya. Istilah Übermensch ini bukan berarti menjadi manusia super (superman) dengan kesempurnaan kekuatan di dirinya. Menjadi manusia yang sempurna (Insan kamil) bertentangan dengan kesempurnaan, dan kesempurnaan itu sendiri tak lain adalah bentuk kemandekan. Tidak pula menjadi manusia yang mengungguli manusia lain (overman) lantaran ia akan terasing dari kehidupan. Übermensch adalah cara manusia memberikan nilai pada dirinya sendiri tanpa berpaling dari dunia dan menengok ke seberang dunia.

Manusia adalah makhluk transisional, tak henti menyeberang dari kebinatangannya menuju Übermensch. Ciri khas manusia adalah mengatasi status kebinatangan sekaligus menuju Übermensch. Kesengsaraan dan penderitaan adalah tahapan yang harus dilewati seseorang untuk mencapai ke-Übermensch-an dirinya. Manusia harus mengatasi perasaan bahwa, diri mereka tidak berarti dalam kehidupan ini. Hidup adalah tidak berawal dan berakhir, hidup hanyalah pengulangan yang sama berulang-ulang. Dengan semua penderitaan, kesedihan dan kejahatan dalam kehidupan, seseorang mungkin merasa terkutuk dan putus asa jika harus mengulangi kehidupan seperti ini. Namun di sinilah seseorang mampu menjadi Übermensch jika dapat mengatasi itu.

Namun kelemahannya adalah jika resep Nietzschean (yang nyata-nyata dipakai Nolan dalam film Batman-nya) ini terus dipakai berulang-ulang dalam budaya populer seperti film dan juga industri perfilman, justru akan tampak membosankan. Tapi yang namanya budaya pop (yang dilahirkan oleh neo-kapitalisme) memang seperti itu, selalu menggunakan resep yang sama dengan kemasan berbeda-beda untuk diproduksi terus-menerus kepada konsumen. Mirip seperti novel-novel populer best seller di Indonesia yang semuanya memakai resep jiplakan yang sama. Ini pula yang melanda film-film superhero Hollywood sebelum ada Batman trilogi, mereka memakai resep serupa dengan konsep film superhero pop corn; ada jagoan super pria, ada perempuan, ada penjahat, ada aksi laga, dan terakhir jagoan maskulin bertukar air liur (berciuman) dengan perempuannya. Resep Nolan berbeda memang, tapi akan menjadi jamak dan budaya populer baru ketika masuk dalam industrialisasi perfilman.

Persoalan lain tentang superhero di Indonesia; selain dibanding-bandingkan dengan superhero luar negeri, juga dibandingkan dengan tokoh-tokoh agama yang kaya akan mukjizat. Sebut saja seperti Nabi. Orang tua akan menghadapi pertanyaan, “Hebat mana antara Spiderman dan Nabi Musa?” katakanlah begitu. Lalu pemuka agama juga mengatakan di mimbar-mimbar bahwa moral anak-anak rusak karena tidak lagi mengidolakan para Nabi, melainkan jagoan superhero buatan Barat. Ya, berbeda dengan Barat yang sudah demikian sekuler. Sineas film tidak perlu merasa riskan untuk membuat film superhero yang alur cerita dan karakternya demikian kompleks sehingga seolah penonton merasakan sosok itu dekat dengan realitas kehidupan. Bukan cuma film superhero, bahkan film fiksi ilmiah mereka berani membongkar kredo dan dogma-dogma agama, seperti soal penciptaan manusia dan alam semesta. Jika superhero Indonesia diangkat ke layar lebar, bisa jadi masih menggunakan resep lama Hollywood (sederhana, tak berbobot, ringan, hitam vs putih, good vs evil, tanpa ciuman karena disensor LSF dan bisa digrebek ormas keagamaan) sebelum era Batman-nya Nolan.

Nilai-nilai ideologis juga menjadi persoalan. Kalau dalam film-film Amerika yang biasanya ada patriotisme di dalamnya, kini tidak lagi mesti harus mengandung nilai tersebut. Justru dalam film superhero semacam trilogi Batman-nya Nolan, persoalan nilai dibenturkan sana-sini. Patriotisme tidak lagi acuan utama, apalagi heroisme diluluhlantakkan. Itulah yang terjadi pada kenyataan saat ini pasca-perang dingin, Soviet runtuh dan kapitalisme Amerika berjaya, nilai-nilai dan isme-isme pun barang rongsokan usang tak berguna. Masyarakat yang bebas terbiasa mempertentangkan nilai-nilai dan menggunakan permainan perspektif dalam budaya mereka yang terwujud di novel-novel, jurnal-jurnal ilmiah, sampai film-film mereka. Tapi yang seperti itu tampaknya belum bisa diterapkan di Indonesia. Aroma nasionalisme masih kental dan terus dipropagandakan setiap rezim. Makanya tak heran jika superhero Indonesia berbau nasionalisme di sana-sini. Itu yang menyulitkan kreatifitas yang tanpa batas dalam menggali nilai dan membenturkan di sana-sini.

Persoalan berikutnya mengapa film superhero Indonesia tidak bisa disejajarkan dengan superhero Amerika adalah tidak adanya dukungan pemodal. Dalam masyarakat kapitalis, modal adalah sesuatu yang penting. Ingat pula bahwa, DC Comics didukung oleh Warner Bros yang memiliki taman hiburan Universal Studios, sedangkan Marvel didukung oleh Walt Disney yang juga berbisnis taman hiburan. Peran raksasa industri taman hiburan cukup berpengaruh, terutama dalam hal pendanaan. Karakter-karakter superhero mereka tampil dalam wahana taman hiburan serta pemeran cosplay di sekitar area taman. Anak-anak, orang dewasa, dan keluarga semakin dekat dan bisa berfoto bersama mereka. Adapun di Indonesia, katakanlah Dufan, apa mereka mau menginvestasi dalam industri perfilman untuk membangkitkan film superhero Indonesia secara besar-besaran. Belum tentu.

Indonesia masih bersyukur ada pegiat komik superhero yang masih memberi perhatian penuh dalam perkembangan genre tersebut. Untuk bisa naik kelas seperti Superman, Batman, Captain America, Hulk, dan sebagainya, mungkin masih ada dalam angan-angan (Untungnya masih punya angan-angan).

 

Sumber: kupretist.blogspot.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed