by

Indonesian Joker

Identitas perlawanan, dalam sosok Imam Samudra, mendapatkan momentumnya. Meski tentu saja dalam ranah simbolik. Dan itulah cuma, yang bisa dilakukan. Apalagi saat itu, Reformasi Politik 1998 juga tidak memberi perubahan apa-apa, selain kepada para elite politik dan calo-calonya.

Dan tiba-tiba, kini kita (yang berkepentingan tentu) menjadi kaget, ketika melihat Joker yang diperankan Joeaquin Phoenix. Kemudian membanding-bandingkan dengan Joker yang diperankan Jared Leto, yang disebut versi rusuh, atau pun Heath Ledger sebagai versi psikopat. Sedangkan Joaquin Phoenix, disebut-sebut sebagai versi liar dan menyeramkan. Padahal ketiganya bukan dalam kesatuan, melainkan memiliki logika dan alasan dramatiknya sendiri-sendiri.

Bisa jadi itu pemahaman di Indonesia, oleh masyarakat Indonesia kebanyakan. Apalagi mereka yang dididik dalam konflik tipologis seni kethoprak, atau seni wayang kulit, juga oleh legenda-legenda. Jarang sekali seni-seni tradisi mendidik kita masuk dalam konflik psikologis. Jika pun ada cerita dalam tradisi kita mengenalkan itu, seperti Keraguan Arjuna menghadapi Perang Bharatayudha, atau hadirnya tokoh-tokoh seperti Bhisma, Kumbakarna, Adipati Karna, jarang dimainkan karena kurang seru. Dilanjutkan represi sosial Orde Baru, membuat saraf manusia Indonesia tumpul. 

Dengan jargon pragmatisme, formalisme, dan vandalisme, pembacaan akan sosok Joker pun, dikungkung dalam perspektif masing-masing. Ialah ketika memahami siapapun dan apapun, hanya pada yang tampak. Abai berupaya mengetahui apa yang menjadikannya. Termasuk, di luar soal Joker; Kenapa seorang beragama justeru bisa menjadi jahat? Seorang yang makan sekolahan, bisa berperilaku anti-sosial? Atau yang menjadi pejabat negara, bisa menjadi penjahat penghisap duit rakyat?

Ketika kita kemudian diam-diam memuja, atau berempati, kepada Joker, bahkan mengidolakan, hampir mirip ketika kita melihat sosok Imam Samudra dengan kaos ‘Converse’. Ia menjadi simbol perlawanan, bagi ketidakberdayaan dalam menghadapi peradaban yang lamis, atau kenyataan yang kejam. Modernitas yang gagap, dan segala macam ilmu pengetahuan, intelektualisme serta agamaisme yang macet. Tidak operated. Bahkan hanya sebagai alat legitimasi bagi kepentingan yang koruptif. Atau hanya sekedar menjadi Batman, yang sempurna, dalam imajinasi.

Tawa yang mengiris hati dari Arthur Fleck, sebagaimana diekspresikan Phoenix, adalah tragedi involusi sosial kita. Yang hanya muncul dalam bentuk sinisme, kenyinyiran, atau bahkan proposal-proposal lucu. Baik sebagai agen politik, buzzer bayaran, atau pun agen lembaga funding dari para penjarah Indonesia! Dan kita ketawa dalam keputusasaan, kayak tawa Phoenix! 

 

(Sumber: Facebook @sunardianwirodono)

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed