by

Indonesia Zero Coronavirus, Luck or Bad Screening?

Jadi dibanding berbangga diri karena kebal SARS-CoV-2, lebih mungkin untuk skeptik aadanya potensi virus ini tengah menyebar diam-diam tidak terdeteksi di negara kita.

Apalagi pada 22 Februari, Pemerintah Metropolitan Tokyo mengumumkan pria Jepang yang didiagnosis positif COVID-19 setelah kembali dari liburan di Bali. Pria ini sebelum ke Bali tanggal 15, pada tanggal 12 sempat memeriksakan diri dengan gejala common cold biasa, besar kemungkinan dia telah tertular ketika di Jepang dan berada di Bali saat virus mengalami masa inkubasi tanpa menunjukkan adanya gejala (asymptomatic), sehingga bisa lolos dari pemeriksaan bandara. Masalahnya meski tanpa gejala, virus corona ini masih tetap bisa menular.

Bandingkan dengan kasus serupa di Jerman, ketika seorang wanita China berkunjung ke Jerman beberapa hari dalam kondisi asymptomatic dan sekembalinya ke China positif mengidap COVID-2019, segera setelahnya 5 orang yang pernah bertemu di Jerman ikut positif terinfeksi. Namun herannya di Indonesia hingga kini belum ada laporan.

Apalagi Bali adalah salah satu top destinasi turis yang terhubung dengan pesawat dari Wuhan secara langsung. Bahkan peneliti dari Harvard menganalisa korelasi antara jumlah penerbangan dengan deteksi SARS-Cov2 yang diharapkan muncul, maka untuk Indonesia yang tergolong tinggi, sepatutnya infeksi SARS-Cov2 juga diantisipasi akan tinggi.

https://www.medrxiv.org/conte…/10.1101/2020.02.04.20020495v2

Menkes menyebut penelitian ini ‘insulting’ dan bersikeras bahwa Indonesia memang seberuntung itu bisa ‘zero case’. Padahal berdasar data statistik:

https://bali.bps.go.id/…/jumlah-wisatawan-mancanegara-yang-…

Tahun 2019, terdapat 1.196.497 turis China yang ke Bali, termasuk pesawat langsung dari Wuhan.

Tidak hanya Jepang yang meragukan, sebelumnya media massa Australia, Sydney Morning Herald, juga meragukan testing kit yang dimiliki Indonesia untuk mendeteksi SARS-CoV2 belum memenuhi syarat:

https://amp.smh.com.au/…/that-s-a-problem-indonesia-s-coron…

Indonesia baru mendapatkan primer untuk sequencing spesifik baru 4 Februari, agak terlambat.

Yang dikhawatirkan adalah kasus asymptomatic yang menjadikan lebih sulit untuk terdeteksi, namun penderita tetap memiliki peluang untuk menyebarkan di sekelilingnya berdasarkan penelitian ini:

https://www.nejm.org/doi/full/10.1056/NEJMc2001737

Apalagi berdasarkan penelitian, demam terjadi hanya pada 43,8% pasien. Penelitian juga mencatat tidak adanya demam lebih sering dijumpai pada COVID-2019 ini dibandingkan pada kasus infeksi SARS dan MERS. Pasien seperti ini mungkin terlewatkan jika surveilan sangat terfokus pada deteksi demam.

Mengingat masa inkubasi virus ini berkisar 14 hari menurut WHO, bahkan bisa sampai 24 hari menurut laporan dari pemerintah lokal China, meskipun hanya ditemukan pada satu pasien dan belum terkonfirmasi lebih lanjut di penelitian.

https://www.thailandmedical.news/…/alarming-news-new-chines…

Namun bila tidak terdeteksi dalam jangka waktu 14 hari bisa-bisa begitu terdeteksi sudah telanjur mewabah. Semoga saja tidak, aamiin.

Sumber : Status Facebook Mila Anasanti

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed