by

Indonesia, Negeri dengan Umat Paling Latah

Contoh sederhana, ketika ada sebuah peristiwa viral di media sosial, netizen Indonesia akan gatal kalau tidak mengomentari. Jika itu peristiwa yang dianggap memalukan, mereka ikut mengecam tanpa perlu tahu duduk persoalannya seperti apa. Hanya modal framing berita, seolah sudah lebih dari cukup untuk mengecam dan menghakimi. 

Kelatahan netizen Indonesia juga terlihat ketika ada tagar yang lagi viral. Bermain tagar sangat disenangi. Ikut memposting tagar seolah menjadi sebuah keharusan biar dianggap selalu up to date dan tidak ketinggalan zaman.

Terkini, tagar “Indonesia Terserah” yang diperlihatkan oleh seorang dokter lengkap dengan APD langsung disambar dan diikuti neziten di berbagai penjuru. Dibuatlah tagar tambahan dengan bahasa daerah masing-masing. Misal, “Indonesia Terserah, Banyumas sekarepe”, dan yang lain.

Latah juga terlihat ketika rakyat Indonesia di berbagai daerah ramai-ramai mengeruti pasar, mall, toko baju, dan yang lain. Meskipun pemerintah sedang memberlakukan PSBB, meskipun pemerintah menghimbau untuk jaga jarak dan menghindari kerumunan, namun hal itu tidak diindahkan karena melihat di TV maupun media sosial di beberapa kota, mall, toko, pasar dikerubuti banyak orang. Logika sederhana, mereka tidak dilarang, mereka baik-baik saja tidak tertular covid-19. Itu yang mereka lihat.

Sebenarnya tidak hanya rakyat. Beberapa kepala daerah juga latah. Ketika awal bomingnya covid-19 di Indonesia, banyak kepala daerah yang konferensi pers terkait upaya yang hendak dilakukan untuk menghadapi covid-19. Seolah kalau tidak konferensi pers di media, kepala daerah tersebut dianggap tidak bekerja. Padahal, konferensi pers tak ada artinya jika tak diwujudkan dalam kerja nyata.

Saya ingat betul, ketika ada satu kepala daerah melakukan konferensi pers melarang warganya yang diperantauan untuk mudik (padahal saat itu pemerintah belum mengeluarkan kebijakan larangan mudik), kepala daerah lain ikut-ikutan konferensi pers melarang warganya mudik. Terlihat sangat berapi-api sampai membuat warga di perantauan benar-benar takut untuk mudik. Saya sampai ikutan khawatir karena beberapa teman saya masih di pesantren dan belum mudik ko kota asal. 

Konferensi pers beberapa kepala daerah viral di media sosial seperti di fb, ig, dan yang lain. Stori WA juga sempat diramaikan oleh video konferensi pers. Seolah-olah larangan untuk mudik sebagaimana yang disampaikan oleh kepala daerah itu benar-benar nyata. Saya membayangkan, di tiap perbatasan kota akan ada polisi yang berjaga. Benar-benar akan mengusir siapapun yang nekat mudik.

Tapi yang terjadi tidak seperti yang saya bayangkan. Kenyataannya para pemudik masih bisa mudik. Kawan saya bisa pulang bahkan tanpa ada hambatan, tak menemukan polisi yang jaga di perbatasan. Apa yang disampaikan oleh kepala daerah hanya hangat-hangat tahi ayam. Yang teepenting konferensi pers dulu, apakah nanti benar-benar diberlakukan atau tidak, itu urusan nanti. heee

Saya berkesimpulan latah tidak selalu buruk. Bahkan bisa menjadi sangat baik jika latah terhadap yang baik-baik juga. Misal ketika sedang viral orang menyumbangkan sembako di tengah pandemi, diharapkan bisa diikuti oleh orang lain.

 

(Sumber: Facebook Saefudin Achmad)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed