by

Indonesia di Tengah Pusaran Konflik Antarumat Beragama

Ahok dihujat dan dilaporkan oleh komunitas Islam, Ustadz Shomad dihujat dan dilaporkan oleh mayoritas non muslim, apa bedanya? Kita ini beragama untuk apa sih? Untuk sebuah identitas agar bisa tergolong sebagai kaum moraliskah? Saya pikir kita harus sama-sama melakukan koreksi, evaluasi dalam keberagamaan kita, karena saya yang sudah sangat hati-hati tiap mau menulis memaparkan pandangan pemikiran saya saja masih sering dianggap condong ke ekstrim kanan, padahal saya ini pengagum pemikiran alm. Gus Dur dan alm. Nurcholish Madjid yang sangat moderat kok masih dianggap ekstrim. Saya kadang sampai merasa lelah, dan nyaris angkat tangan untuk tidak lagi berdiri menjadi penengah. Namun kalau saya ingat jika keadaan ini terus dibiarkan, maka akan terjadi benturan antar pemeluk agama yang jauh lebih dahsyat di masa depan di negeri ini, saya jadinya masih berusaha untuk menguatkan diri sebagai penengah.

Menyikapi kegundahan dan pertanyaan saya itu, sahabat alumni Al Azhar Kairo Mesir mengemukakan pendapatnya, bahwa sebenarnya sarjana-sarjana alumni Al Azhar Kairo Mesir itu bukanlah orang-orang ekstrimis, karena mereka sudah terbiasa berpikir dari berbagai sudut pandang, mereka juga sudah terbiasa menggeluti berbagai literasi. Alumnus Al Azhar Kairo Mesir seperti Abdul Shomad menjadi seperti itu menurutnya, karena ia sepertinya merasa dikucilkan dari komunitasnya, dan selalu dicurigai sebagai bagian dari kelompok Islam garis keras. Sahabat-sahabat saya ini juga merasa ada kejanggalan dalam menyikapi para pemeluk Islam di dunia. Sebagai contoh di Eropa, kenapa alumnus Al Azhar Mesir kalau mau mendirikan masjid di Eropa susahnya bukan main, padahal mereka sudah mempersiapkan segalanya termasuk dana. Sebaliknya –masih menurut mereka– di Indonesia, hal itu tidak terjadi, tempat-tempat peribadatan non muslim begitu mudah didirikan, meskipun dalam beberapa kasus masih ada yang tidak diizinkan untuk mendirikan gereja misalnya. Saya dianggapnya tentunya paham akan hal itu karena saya sendiri memang pernah tinggal di Eropa, tepatnya di Berlin. Demikian menurut sahabat-sahabat diskusi saya alumnus Al Azhar Kairo Mesir itu, yang waktu kuliah di Mesir mereka jauh di atasnya Ustadz Abdul Shomad. 

Kedua, ini pandangan sahabat-sahabat senior saya alumni Jerman saat merespon kegalauan saya,”Ya benar itu mas. Pubertas bukan monopoli umat beragama, wong kawanku yang ateis juga ada yang puber” Sahabat lainnya lagi mengatakan,”Sabar mas Saiful, harus telaten. Mimpi kita pasti tercapai”. Tentu yang dia maksudkan adalah mimpi kami untuk terwujudnya kerukunan antar umat beragama di Indonesia. Lanjut sahabat yang lainnya lagi,”Harapan terakhir untuk kemelut ini ya negara harus hadir, ‘melindungi rakyatnya’, melalui tangan kebijakan penyelenggaran pemerintahan. Karena alasan politik, momentum atau apalah, aku menunggu hingga Jokowi resmi dilantik. Setelah itu idealnya tak harus ada kompromi lagi. Kalau untuk masalah HAM kita bisa bahas kemudian. Setiap manusia jika keyakinannya dilecehkan tentu berbeda-beda, jangankan keyakinan, wong pendapat saja kalau dilecehkan apalagi oleh orang bodoh, maka sangat sulit untuk tidak marah. Namun biarlah itu jadi perkara pribadi. Beda urusan kalau perihal hukum. Tugas negara untuk melindungi rakyatnya dan memberi rasa aman, tertib dan merdeka dari ancaman apapun. Normatif memang, tapi itu standar yang wajib dipenuhi oleh negara. Saya suka pencerahan dari Nadirsyah Hosen, ibaratnya andai agama itu bagai isteri kita, dia tidak akan menjadi lebih cantik dengan menjelek-jelekkan istri orang lain. Simpel sekali”.

Lalu bagaimana dengan respon saya dalam menyikapi semua pandangan dari sahabat-sahabat senior saya itu? Begini:

Setau saya di Eropa (yang saya maksud di Berlin Jerman) umat Islam itu diperlakukan sangat baik oleh pemerintah Jerman. Mereka disediakan lapangan pekerjaan, bebas mengutarakan pendapatnya, bebas melakukan ibadahnya, meski memang untuk mendirikan masjid mereka dipersulit izinnya. Adzanpun tidak boleh terdengar suaranya sampai keluar ruangan masjid, tapi lonceng gereja diperbolehkan terdengar. Namun perlu diingat, Jerman itu negara sekuler yang sangat konsisten, simbol-simbol agama apapun seperti Salib, Kaligrafi Al Qur’an dll. dilarang dipajang di gedung-gedung pemerintahan dan di tempat-tempat pendidikan milik negara. Bagaimana dengan di Indonesia? Semua agama diperbolehkan mendirikan tempat-tempat peribadatannya, karena kita memang bangsa yang majemuk. Namun sayang sekali masih saja ada kasus-kasus di beberapa daerah yang mempersulit orang non muslim untuk mendirikan tempat ibadahnya, hingga saya sering dikejutkan oleh adanya ruko atau rumah-rumah kosong yang digunakan untuk menjadi tempat ibadah. Mestinya kita sebagai orang muslim harus malu dengan kondisi seperti ini, karena beribadah merupakan hak setiap orang atau pemeluk agama, harusnya tidak boleh kita persulit. 

Berikutnya, negara memang harus hadir dalam merespon persoalan-persoalan sensitif yang berhubungan dengan konflik antar pemeluk agama, karena hal itu dimaksudkan untuk mencegah terjadinya perpecahan bangsa. Disinilah diperlukannya pemimpin nasional yang tegas dan berani mengambil resiko. Ia harus siap menjadi politisi petarung yang siap bergelut dengan persoalan-persoalan sensitif demi terjaganya ketertiban beragama, berbangsa dan bernegara. Namun sikap itu juga harus dilakukan dengan penuh kewaspadaan, kehati-hatian, agar fungsi negara tidak beralih dari tugas pokoknya, yakni dari Regelling: membuat peraturan, Besture: menyelenggarakan peraturan, Rechtpraak: Mengadili dan Politic: ketertiban dan keamanan, beralih menjadi Satpam Agama. Ini negara Pancasila, bukan negara agama juga bukan negara sekuler, maka sebaiknya negara tetap berada di posisi tengah, menjadi wasit dan memberi sanksi bagi mereka yang melakukan perbuatan kriminal, apapun agama yang dianutnya. Kebebasan berpikir dan berpendapat tetap wajib dilindungi, namun jika cara mengemukakannya dapat menimbulkan keguncangan atau kerusuhan, negara harus bersikap dengan tegas, lengkap dengan sanksi yang dipersiapkannya.

Alhirul kalam, semoga kita semua selalu dapat menahan diri dari sikap-sikap emosional, penuh syakwasangka dan kebencian. Dan semoga pula kita semua selalu berusaha untuk saling memahami satu sama lain, tenggang rasa antar pemeluk agama, karena hakikat kita beragama adalah untuk memperindah budi pekerti kita dan hakikat berbangsa dan bernegara kita adalah untuk mewujudkan keadilan, ketertiban, keamanan, kesejahteraan dan kejayaan Indonesia. Kita tak mungkin dapat beribadah dengan tenang dan nyaman kalau tidak ada persatuan di antara kita sebagai sesama warga bangsa bukan? Sapere aude ! Wallahul muwaffiq ila aqwamith thoriq. Wassalam…(SHE).

19 Agustus 2019.

Saiful Huda Ems (SHE). Advokat dan Penulis, Ketua Umum Pimpinan Pusat HARIMAU JOKOWI.

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed