by

Indonesia di Tangan Dua Jenderal yang Gagal

Kenapa keduanya mirip dalam gaya memimpinnya, jelas sama, karena keduanya ditempa dalam barak dan kondisi yg sama polanya, cuma beda waktunya. Militer menganut pendidikan disiplin yg tidak boleh dibantah, sehingga kalimat ” siap jendral ” menjadi selogan bahwa bantahan diharamkan dalam pasukan. Budaya ini baik untuk perang, namun tidak baik untuk pelaku pemerintahan yg butuh masukan, karena input menghasilkan output.

Persaingan dalam merebut pemimpin di militer sangat ketat, hanya berapa persen personil yg punya kesempatan menjadi jenderal. Belum lagi proses hidup dgn kondisi pas2an membuat orang tidak semuanya siap. Pasca jendral Soedirman para militer tidak lagi ada di medan perang, mereka jarang ke hutan malah banyak hidup dikota dan melihat dunia yg banyak menggoda. Hedonisme menjadi gaya dan terbiasa.

Soeharto yg pernah kena kasus dan hampir dimahmilubkan Jendral A Yani untung saja dibela Jenderal Gatot Subroto. A Yanilah yg akhirnya dibunuh PKI, ingat ” dibunuh PKI “, Soeharto muncul sbg pahlawan. Menduduki jabatan presiden 32 thn dgn cara yg santun sekaligus mwnjadi penyamun. The smiling genderal melibas habis siapa saja yg dia rasa tidak pas dengannya.

Kehidupan di barak memang sumpek, jendral2 pasca kemerdekaan banyak dijalanan daripada dihutan. Jabatan bersanding dgn kekuasaan dan nafsu kekayaan. Era orba budaya nepotisme dikuatkan, suap jabatan dilegalkan, korupsi dianggap rezeki. 32 thn terpatri menjadi jati diri. Kolonel bisa jadi bupati, jenderal berbintang jadi pemimpin provinsi.

Sampai 2017 saja gaji para jenderal rata2 Rp. 5,5 juta, tapi nyatanya mana ada jenderal yg tak kaya, nyaris semua punya rumah mewah, minimal punya sawah. Budaya hidup hedonis ini yg akan terbawa sampai mati. Sehingga prilakunya dalam mengejar kekuasaan sama gigihnya seperti saat bersaing mencapai pangkat jendral yg sarat siasat serta keringat. Etos itu baik, hanya salahnya diluar barak ada rakyat yg berdaulat, mereka lupa bahwa rakyat tak bisa diminta tabik dan mengucapkan ” siap jendral ” kemudian haknya di begal.

Bagaimana kayanya Soeharto dan para kroni, kelakuan ini menurun ke Sby yg tidak kalah ganasnya. Coba tanya berapa kaya dia, kapan dia bayar pajak dan siapa yg tau jumlah hartanya. Begitupun masih kurang puas, sekarang kita dipaksa menerima anaknya. Anak yg dididik dalam lingkup senang tak pernah kekurangan mau diminta berempati mengurus negeri, ngimpi saja dia tak pernah susah apalagi merasakan yg sebenarnya.

Para jenderal zaman perang memang beda dgn jenderal zaman dagang. Perang pilihannya cuma ada dua menyerang dan menang atau mundur dan gugur. Bedagang banyak peluang bisa kerjasama, jadi pialang, atau memakai jabatan mempengaruhi untuk kepentingan.

Dua jenderal gagal hanya karena moral, tempaan lingkungan telah menanggalkan sapta marga dan sumpah prajurit. Mereka kalah berperang dengan nafsunya sendiri sampai lupa juga kepada ibu pertiwi, sebuah negeri yg dihuni banyak manusia sebagai rakyat yg butuh dijaga bukan malah dijarah hak kehidupannya karena keadilan telah dikerdilkan oleh sang jenderal yg berkuasa.

Beda dgn anak pinggir kali, Jokowi. Manusia yg tdk punya DNA kemaruk ini terbiasa berempati sehingga manakala dia bicara, bicaranya keluar dari hatinya, dia tidak pernah pura2, dia ikhlas bekerja utk rakyat dan bangsanya, karena dia sudah kaya jiwa dan raganya. Dialah Indonesia yg sebenarnya bukan hedonesia.

Terus, sekarang mau dicoba ketiga kalinya, nyoba jenderal rasa picisan atau malah mayor ingusan yg dipaksa turun di TENGAH jalan karena mau dipaksakan merebut kekuasaan.

PILIHLAH ORANG YG TERPILIH BUKAN YG MINTA DIPILIH KARENA ENGKAU AKAN MENERIMA RASA PERIH.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed