by

Indonesia dan Sejumlah Klise

Jadi mereka membenci saya karena saya perempuan yang memilih untuk tidak terbelenggu atau bebas?

Saya lihat lagi arti kata Bebas. Ada 6 definisi, dan salah satu definisi yang ditulis adalah: Merdeka. Dalam artian tidak dijajah, diperintah atau dikuasai oleh negara atau kekuasaan asing. Tentu saja dalam konteks pribadi, negara atau kekuasaan asing berarti orang lain.

Mengapa banyak yang takut dengan kata “liberal” sehingga orang begitu membencinya? Tahukah mereka bahwa salah satu sinonim dari kata “liberal” adalah “humanis” dan “toleran.” Antonimnya adalah Intoleran.

 

Klise tentang Orang Alim

Awal Mei lalu saya dan suami pergi ke Madagascar untuk satu misi kemanusiaan. Saya diberi kehormatan menjadi juru bicara dan ambassador untuk Aviation Without Borders. Ini bukan misi pertama saya dengan mereka di Madagascar.

Kali ini saya bertugas mengontrol pembagian susu ke beberapa yayasan di Antananarivo, ibu kota Madagascar. Setiap tahun ada sekitar 2 kontainer penuh dengan susu bubuk, buku, baju, dan peralatan medis yang dikirim ke beberapa negara di Afrika.

Buku dan baju, kami dapatkan dari donasi. Dulu, untuk susu kami selalu dapatkan dari Persatuan Negara Eropa, tetapi semenjak krisis ekonomi dan kenaikan jumlah orang miskin di dunia, susu harus dibeli, untungnya dengan harga spesial.

Sangat tidak mudah tugas Aviation Without Borders di negara-negara Afrika yang rata-rata termasuk negara berkekurangan. Korupsi merajalela. Madagascar adalah salah satu negara dengan contoh korupsi yang bisa membuat saya darah tinggi.

Misalnya dari pihak bea cukai yang sengaja mempersulit dengan alasan formulir yang “salah isi”, yang mengharuskan kontainer ditahan berbulan-bulan di gudang dan ujung-ujungnya minta uang.

Kadang juga orang dari satu yayasan yang ternyata menjual ke pasar gelap, barang-barang yang ditujukan untuk anak-anak yang terlantar.

Sekarang setelah beberapa pengalaman buruk, akhirnya kami mempunyai kontak orang yang bisa dipercaya. Dan kebanyakan dari mereka adalah orang-orang relijius.

Saya bertemu dengan Sister Marie Annick. Beliau tinggal di Madagascar selama lebih dari 40 tahun dan membaktikan dirinya untuk Tuhan Yesus dan juga untuk anak orang-orang miskin.

Setiap harinya, Sister Marie Annick memberi makanan untuk 500 anak. Menu makanan tidak jauh dari nasi dengan kacang merah atau nasi dengan kacang kuda.

Di hari itu dan sampai bulan Oktober, sambil makan anak-anak juga dapat minum susu. Mereka hanya makan sekali sehari.

Bulan November, kontainer kami akan tiba lagi di Madagascar dengan susu untuk mereka.

Saya juga bertemu dengan Father Pedro. Seorang figur karismatik yang terkenal di Madagascar karena karakter dan keteguhannya demi membela orang miskin.

Umurnya hampir 70 tahun tapi energik sekali! Selama 5 jam pertemuan kami, saya capek mengikutinya, karena jalannya cepat sekali.

Setelah bertemu dengan mereka, timbul kembali rasa percaya saya pada kebaikan manusia, apalagi dengan kaum relijius. Akhir-akhir ini, kata “relijius” punya konotasi yang berbeda dengan yang seharusnya. Banyak orang mengaku beragama tetapi tidak beriman.

Ada banyak kelompok orang yang sangat vokal, yang perilakunya, mungkin tanpa mereka sadari, malah menodai reputasi agama yang sebenarnya mengajari kasih dan cinta.

Dan tentunya saya pun tak pernah lepas dari pertanyaan: agamamu apa?

Kadang saya bingung dengan pertanyaan ini. Pertama, karena hanya di Indonesia saja saya mendengarnya dan inipun semenjak kurang lebih 5 tahun belakangan ini.

Mengapa agama yang dipeluk seseorang mendefinisikan orang tersebut? Mengapa kita mempunyai kecenderungan menutup pintu kepada orang yang bukan dari kelompok kepercayaan yang sama?

Apakah jika seseorang tidak mempunyai agama adalah sebuah jaminan bahwa orang tersebut layak dihujat? Bagaimana dengan orang-orang yang bersembunyi di balik atribut agama untuk melakukan korupsi dan kejahatan?

Sudah beberapa tahun ini saya mempunyai “Spiritual guide”. Beliau tinggal di Jakarta. Kami memanggilnya Abah Jhonny. Abah adalah seorang figur agama yang tidak pernah sama sekali menghakimi atau mengkritik siapapun.

Beliau tidak pernah mempertanyakan ke agamaan seseorang. Tidak pernah meninggikan diri dengan merendahkan orang. Murah senyum dan kata-kata yang datang dari bibirnya hanya tentang cinta dan kehidupan.

Setiap saya dan suami pamit, beliau hanya bilang jangan lupa berdoa dan bersyukur.

Terus terang, saya agak takut dengan banyaknya kejadian di Indonesia. Intoleransi, diskriminasi, hoax dan radikalisme sudah mulai merajai wajah negeri ini.

Saya takut dengan Bias Konfirmasi. Kecenderungan bagi orang-orang untuk mencari bukti-bukti yang hanya mendukung pendapat yang mereka percayai dengan mengabaikan bukti-bukti yang menyatakan sebaliknya.

Inilah yang membuat kita mudah sekali menstempel hoax ke satu teori, bukti atau pernyataan yang tidak sesuai dengan keinginan kita.

Jika kita tidak hati-hati, kesalahan pemikiran ini bagaikan penjara yang kita bina tanpa kita ketahui.

Dan yang tadinya hanya kesalahan pribadi bisa menjadi ancaman besar.

Indonesia yang saya ketahui adalah negara yang menghargai perbedaan agama dan kekayaan budaya. Kaya karena berbeda. Berbeda tapi saling mengisi menjadi satu budaya. Budaya adalah kekuatan kita.

“Birds born in a cage think flying is an illness” – Alejandro Jodorowski

Semoga kita bisa bebas dari penjara dalam pikiran kita.**

Sumber : qureta

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed