by

Ilusi Kesempurnaan

Tapi sadar atau tidak, fantasi-fantasi “kesempurnaan” semacam ini, yang tidak bersandar pada realitas, diproduksi terus-menerus di tengah masyarakat. Yang muncul ialah “talkshow” – seminar dan diskusi yang fokus pada pribadi orangnya, dan bukan isi dan argumennya. Ketika isi dan argumen itu dikritik (sebagaimana lazim di dunia akademik), kemudian baper dan dibela habis-habisan oleh penggemar. Budaya ilmiah, yang mestinya dibangun melalui skeptisisme dan pembacaan cermat, digantikan oleh seminar dan pribadi-pribadi “wow” yang menjual kesempurnaan pada audiens. Di dalam konteks inilah orang seperti IM bisa lahir – menggunakan ilusi kesempurnaan untuk menutupi hal-hal ekstrem yang dilakukan.

Akhirnya, ilusi kesempurnaan membuat kita tidak lagi objektif dan gagal memahami orang sebagai “manusia” yang punya kesalahan dan mestinya berubah. Juga membuat kita kehilangan budaya jujur, apa adanya, dan tradisi kritis atas segala sesuatunya. Gagal melihat ketidaksempurnaan sebagai celah untuk perbaikan. Tidak mau mendengarkan perbedaan dan kritik. Dan akhirnya “gengsi” untuk mengakui kesalahan dan berubah. Titik ekstremnya: kita hanya mau melihat apa yang mau kita lihat, dan mendengar apa yang mau kita dengar.

Pada akhirnya, kasus seperti IM hanya “gunung es”; ia menceritakan konstruksi masyarakat kita hari ini. Yang, sebetulnya, perlu kita refleksikan lebih jauh: jangan-jangan ada yang keliru dari cara beragama kita hari ini….

Wallahu a’lam bish shawwab.

Sumber : Status Facebook Ibrahim Malik

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed