by

‘Illat Keharaman

Dan demikianlah seterusnya, setiap ketemu suatu larangan, para ulama segera mencarikan ‘illat larangan itu lewat serangkaian metodologi. Tanpa adanya ‘illat, kita tidak bisa menetapkan hukumnya. Kaidahnya sebagai berikut :

الحكم تدور مع العلة وجودا وعدما

Hukum itu dinamis tergantung keberadaan ‘illatnya, ada atau tidak ada.

Contoh lagi, pernah Nabi SAW melarang makan daging qurban kalau sudah lewat 3 hari.

Oke, dilarang. Itu fakta dan begitulah teksnya dalam Hadits Nabawi.

Tapi ‘illat larangannya apa?

Pertanyaan Ini bukan bentuk pembangkangan ala Yahudi, jelas bukan itu. Kalau yahudi memang banyak tanya karena modus aja mereka itu. Banyak tanya cuma alasan saja, sebenarnya cuma pada ogah ngerjain.

Tapi yang dilakukan para ulama ketika mencari alasan pelarangan adalah memetakan ‘illat keharamannya.

Alasannya apa kok jadi dilarang? Apa karena najis, busuk, tidak sehat, memabukkan, atau sekedar larangan secara ritual saja.

Yang jelas begitulah faktanya, tidak boleh makan daging qurban kalau sudah lewat 3 hari.

Namun setelah dilakukan serangkaian penelitian terhadap banyak riwayat, ternyata ‘illatnya bukan karena dugaan-dugaan di atas. Ternyata larangan itu hanya berlaku di tahun itu saja, sedangkan setelah itu tidak ada lagi larangan.

Jadi di zaman sekarang ini kita boleh kok makan daging qurban, meski sudah lewat 3 hari, misalnya sudah 3 minggu, 3 bulan atau 3 tahun pun masih boleh.

Lalu kenapa Nabi SAW pernah melarang di tahun itu kalau lewat 3 hari?

‘Illatnya bukan karena keharaman, tapi karena pemerataan dalam berbagi daging qurban, mengingat tahun itu sedang terjadi maja’ah alias kelaparan. Nabi SAW mewajibkan agar daging qurban segera dibagikan secara merata, jangan dimakan sendiri dan jangan disimpan untuk diri sendiri.

Intinya harus habis dibagi rata, diberi batas waktu 3 hari saja, karena hari tasyrik itu 3 hari. Pokoknya begitu disembelih, langsung dibagikan secara merata.

Para ulama dengan mudah bisa mengenali, mana larangan yang sesungguhnya mengharamkan makanan dan mana larangan yang tidak mengharamkan.

Disitulah bedanya para ulama dengan orang jahil dan awam. Bedanya ketika membaca fakta dari sunnah nabawiyah, mereka teliti seksama dan analisa secara mendalam.

Tidak gegabah langsung menyimpulkan dan bukan asal main kerjakan begitu saja tanpa kaidah dan tanpa alasan yang logis.

Disitulah kitab syarah hadits jadi penting. Disitulah kitab tafsir jadi penting. Dan disitulah kitab fiqih dan ushul fiqih jadi teramat penting.

Kita menjalankan agama dengan ilmu dan visi, bukan sekedar eforia dan sensasi.

Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat Lc MA

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed