by

Ibu Nyai Hj Sinta Nuriyah Wahid

 

“Tempatku itu bukan di sini. Tempatku bersama rakyat.” Begitu Gusdur menaikkan tone suara ketika itu, sebab semua keluarga dan dokter tidak membolehkannya pulang.

Jangan sangka punya privilege kehormatan, jabatan, atau kecukupan finansial itu sepenuhnya enak.

Bu Nyai Sinta Nuriyah siang itu masih ada di Rembang menghadiri undangan Gus Mus. Siang itu pula, terdengar kabar lelayu dari salah satu pengasuh Ponpes Denanyar Jombang. Siang itu pula beliau meneruskan perjalanan ke Denanyar buat hormat pada jenazah.

Di usianya sekarang, tanpa Gusdur, Bu Nyai Sinta hampir tiap hari berkeliling dari satu daerah ke daerah lain. Mengurus Yayasan Puan Amal Hayati (mendampingi perempuan buruh migran, perempuan korban kekerasan,dll) dan juga meneruskan dialog-dialog persaudaraan yang dulu telah dirintis Gusdur.

Tentang dialog-dialog persaudaraan ini, banyak yang bilang kalau tokoh-tokoh NU itu buang-buang waktu dengan isu toleransi. Tetapi, makin sering saya mendengar cerita bahwa banyak sekali tokoh-tokoh kiai kita yang melakukan silaturahim mulai dari skala kecil antar tetangga (tanpa melihat latar ekonomi, sosial apalagi ngajinya sama atau nggak), antar rumah ibadah dll untuk membina harmoni, atau yang skala besar Abah Habib Luthfi ngalahi sowan ke tokoh radikal yang mengendalikan beberapa kantong bahaya di Indonesia semata agar semua tetap harmoni.

Betapa perbedaan memang sebuah kenyataan, dan ia perlu dirawat, dan ia hanya bisa dirawat oleh kelompok-kelompok yang tidak meniadakan (meng-exclude) yang lain.

Lagian, gimana mau tahu persoalan masyarakat masyarakat yang sebenernya kalau tidak pernah silaturahim ya toh? Seringkali, banyak orang cerdik cendekia sok peduli memberi ini itu, padahal bukan hal tersebut yang benar-benar mereka butuhkan.

“Semakin tua, hidup ibu semakin meaningful ya. Alhamdulillah.” Kata Mbak Alissa dengan penuh takzim, rindu dan doa.

Anak-anak perempuan Gusdur ini memang teruji kekompakannya sejak dulu sebab, sejak dulu Gusdur tidak melihat dan Ibu Sinta memakai kursi roda. Meskipun banyak ajudan, tapi baik Gusdur maupun Ibu, selalu mau ada satu anaknya yang menemani kemana-mana. Dulu Mbak Yenni yang sering sama Gusdur, dan tiga anak yang lain gantian dorong kursi roda ibu.

Tapi, nggak semua yang punya privilege kehormatan, keturunan dan materi bisa seberkah itu sih. Banyak yang nggak kuat lalu malah banyak kasus dan masuk penjara. 

Mari bersyukur jadi orang biasa yang bisa buka bersama dari pintu ke pintu, dan punya waktu buat berbual-bual ngeteh di angkringan. Kita bersyukur saja jika maqam kita adalah bisa menjadi fans mereka, menjadi pengikut mereka, dengan mendokan mereka, cium tangan mereka, mimik minuman sisa mereka (sayang kalau nggak dihabisin lho), dan nyuri ilmu sedikit-sedikit dari mereka meskipun juga tetap nggak paham. Iya nggak Mbak Nenni Bunga Safitri

 

(Kalis Mardiasih, senang membagikan cerita-cerita biasa seperti ini biar makin optimis kita hidup di Indonesia karena masih banyak sesepuh-sesepuh yang baik hati)

 

(Sumber: Facebook Kalis Mardiasih)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed