by

Ibnu Muljam Baru telah Dilahirkan

 

“Saat waktu itu datang, apa yang harus aku lakukan ya Rasulullah?”

“Bersabarlah…”

Malam itu dia merenung lama sekali. Menjelang subuh, dibahasi wajahnya dengan wudhu. Dia hendak menghadap Tuhan penciptanya. Di mihrabnya yang sunyi, dia menempelkan dahinya. Meluruhkan seluruh jiwa dan raganya kehadapan Ilahi Rabbi.

Tiba-tiba sebilah pedang diayunkan ke arahnya. Darah mengucur. Ia rebah dengan luka menganga. Pedang yang melukainya telah dilumuri racun mematikan.

Lelaki korban kebiadaban itu adalah Ali ibn Abu Thalib, yang dipuji Kanjeng Rasul sebagai pintunya ilmu. “Aku adalah kota ilmu dan Ali adalah pintunya. Siapapun yang hendak memasuki kota, dia harus melewati pintunya dahulu,” ujar Nabi.

Ali adalah lelaki pertama yang mengimani Kerasulan Muhammad SAW. Dia selalu berada di sisi Nabi. Dia merelakan tubuh dan jiwanya untuk melindungi junjungannya. Sedangkan pembunuh keji itu bernama Abdurahman Ibnu Muljam.

Siapakah Ibnu Muljam? Apakah dia seorang pembenci Islam? Atau seorang yang tidak mengakui Al Quran? Atau seorang penyembah berhala? Bukan. Ibnu Muljam dikenal rajin ibadah sampai dahinya menghitam. Dia hafal Al Quran. Dia menjalankan puasa daud, sehari puasa, sehari tidak. Dia rutin sholat malam.

Dengan segala ibadahnya itu, Ibnu Muljam merasa lebih islami dari Ali. Dia mengkafirkan Ali. Menuduh Ali tidak berpegang pada hukum Allah lalu merasa berhak untuk menumpahkan darahnya. Dia menista keluasan ilmu Imam Ali dengan kedangkalan pikirannya. Padahal Rasulullah yang mulia pernah berkata kepada Ali, “Sesungguhnya tidak mencintaimu kecuali mukmin dan tidak membencimu kecuali munafik.”

Tiga hari setelah peristiwa itu, Imam Ali syahid. Peribadi agung itu wafat akibat tebasan pedang seorang yang mengaku muslim. Dia dibunuh oleh orang yang mengaku ingin menegakkan hukum Allah. Itu adalah salah satu tragedi yang paling memilukan dalam sejarah Islam. Dari tangan Ibnu Muljam, cahaya agama itu ingin dimatikan.

Ideologi Ibnu Muljam adalah ideologi yang menganggap orang yang tidak sepemikiran dengannya sebagai kafir. Orang yang berbeda dengannya adalah sesat. Dan karena itu, wajib dibinasakan. Dia selalu berteriak, “berpeganglah pada hukum Allah.” Padahal maksudnya, hukum Allah menurut versinya.

Jika orang berbeda versi tentang hukum Allah, Ibnu Muljam langsung menuding orang tersebut menentang agama. Dari sekadar seorang Ibnu Muljam, dia ingin menjelma menjadi Tuhan. Dia merasa berhak membunuh orang lain dengan keji.

Orang yang rajin beribadah ini telah dicatat sejarah dengan tinta paling nista karena memercikan darah seorang manusia mulia. Dia membunuh Ali ibn Abu Thalib, orang yang mencintai dan dicintai Kanjeng Rasul. Imam Ali adalah orang yang paling memahami Islam setelah Rasulullah.

Ibnu Muljam telah lama mati. Tapi cara berfikirnya diwarisi sampai saat ini. Cara berfikir kaum Khawarij. Dari semangat Khawarijme inilah lahir pemahaman Wahabi pembawa misi Ibnu Muljam baru. Ibnu Muljam abad ini yang kemana-mana membawa kerusakan. Yang selalu membuat keributan dengan alasan ingin menegakkan hukum agama.

Cirinya, mereka sibuk dengan ibadah ritual. Sibuk dengan simbol-simbol beragama. Mereka mudah mengkafirkan orang lain, sangat membenci perbedaan dan merasa paling islam sendiri. Mereka merasa telah memegang kunci surga. Padahal mereka sejenis iblis dengan jubah kesalehan.

Ibnu Muljam sekarang mungkin berwajah JAD yang membawa nama Allah untuk membantai manusia lainnya. Mungkin berwajah para teroris yang membawa bom bunuh diri untuk menghancurkan siapa saja yang dianggap kafir. Mungkin berwajah bigot, yang gampang teriak kopar-kapir. Mungkin juga berwajah ahli ibadah yang merasa paling sholeh dan mudah mensesatkan orang lain.

Mereka bangga dengan kesalehan ritual, tetapi begitu gampang membenci manusia lain. Mereka sibuk dengan ibadah kepada Tuhan, tetapi lupa berbuat baik dengan lingkungannya.

Ibnu Muljam-Ibnu Muljam baru kini makin banyak jumlahnya di sekitar kita. Merekalah yang akan menjadikan agama rahmatan lil alamin ini menjadi ajaran kekejian. Merekalah yang setiap hari berteriak penuh kemarahan. Semakin mereka beribadah, orang menjadi semakin ngeri di dekatnya.

Ketika berkotbah, mereka gemar mencaci. Ketika berpartai mereka hobi menabur fitnah dan kebencian. Ketika berorganisasi mereka kerap membuat kekacauan dan kerusakan. Ketika bernegara mereka hendak menghancurkannya.

Setiap Ramadhan kita akan selalu mengenang syahidnya seorang putra Abu Thalib yang seluruh hidupnya dibaktikan untuk kebenaran. Yang dari lisannya mengalir mutiara-mutiara hikmah. Yang dari tangannya keadilan ditegakkan. Yang dari fikirannya, kegelapan disingkapkan.

Assalamualaika ya, Amirul Mukminin
Salam bagimu, wahai putra Ka’bah.

 

(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed