by

Ibadah Haji dan Hourgronje

Snouck Hourgronje yang amat dikagumi oleh Raja Faisal anak Raja Saud pendiri kerajaan Arab Saudi (sebelumnya bernama Hejaz) ini, pernah dicatat dalam sejarah memiliki “jasa lain”. Karena kredibilitas intelektualnya yang otoritatif, membuat pemerintah kolonial Belanda selalu mempercayai rekomendasinya. 

Salah satu rekomendasinya adalah “jangan menghambat orang Indonesia pergi ber-haji”. Ini pernah disinggung oleh salah seorang sejarawan Belanda yang pernah melaksanakan studi tentang sejarah haji di Indonesia, namanya Vredenbergt.

Menurut Vredenbergt (dalam Sartono Kartodirdjo, 1990 : 46), pada tahun 1926-1927, jumlah jemaah haji dari Indonesia mencapai 43% dari seluruh jamaan haji Indonesia. Dari segi ekonomis, jumlah jamaah haji Indonesia ini cukup menguntungkan. Namun dari segi politik, jumlah ini menggetarkan. Hal ini tersebabkan oleh kekhawatiran Belanda akan pemberontakan-pemberontakan lokal yang dipimpin oleh para haji, setidaknya sebelum tahun 1920-an. Pemberontakan Cilegon 1888 merupakan salah satu pemberontakan yang dipimpin oleh kaum haji yang cukup fenomenal. Bersamaan dengan pembukaan Terusan Suez dan kekhawatiran akan preseden sejarah, pemerintah kolonial Belanda yang sebenarnya ingin mengurangi orang Indonesia pergi ber-haji ke Mekkah, akhirnya justru membiarkan peningkatan jumlah jamaah haji Indonesia dari waktu ke waktu. Bukan karena alasan ekonomis, melainkan karena pandangan Hourgronje. Ia membuka mata pemerintah kolonial Belanda atas kebutaan mereka selama ini terhadap mitos Islam. “Dalam Islam, tidak ada lapisan klerikel dan kere, kata Hourgronje meyakinkan. “Kiai bukan Paus seperti dalam agama Katholik. Mereka tidak lebih dari suatu anggota hirarki agama dari pelaksana komando Khalif Konstantinopel. Seorang khalifah tidak dilengkapi dengan kekuasaan agama untuk menetapkan dogma, tapi ia hanyalah simbol bagi kesatuan semua orang Islam” lanjut Hourgronje, sebgaimana ditulis Vredenbergt dalam Sartono tersebut. .

Gagasan Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afghani yang “mekar” pada masa itu (bahkan hidup hingga sekarang) telah menggetarkan Belanda, karena gagasan tersebut tersebar kedaerah jajahannya – dalam hal ini Indonesia – melalui penunaian ibadah haji. Anggapan ini kemudian ditepis Hourgronje. “Mekkah tak akan merubah ribuan jamaah haji Indonesia menjadi haji-haji fanatik yang penuh semangat pemberontakan”, ujarnya. 

Pemerintah kolonial Belanda nampaknya harus mempercayai ucapan Hourgronje. Bukan saja karena ia sangat lama menetap di sana dan kemampuannya memadamkan Perang Aceh secara kultural, tapi ia juga memiliki hubungan yang amat sangat akrab dengan keluarga kerajaan Arab Saudi. Akhirnya mau tidak mau kita mengakui “jasa” Hourgronje karena pemerintah kolonial Belanda tak membatasi atau menghentikan orang Indonesia pergi ber-haji ke negeri Ibnu Saud ini. 

Wallahu a’lam.

____________
Referensi :
Wikipedia, Satono Kartodirdjo (1990), Publikasi di Blog Pribadi. Tulisan lengkap diterbitkan dalam salah satu jurnal beberapa tahun yang lalu.

 

(Sumber: Facebook Muhammad Ilham Fadli)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed