by

Husain

Oleh: Abad Badruzaman
 

Husain bin Ali memilih tinggal di Mekkah, ia menolak baiat kepada Yazid bin Mu’awiyah. Namun terjadi kontak cukup intensif antara Husain dengan para pengikut Ahli Bait di Kufah (Irak). Mayoritas penduduk Kufah saat itu pengikut Ahli Bait. Mereka mendukung Husain. Merekalah yang memulai mengudang Husain datang ke Kufah untuk menjadi imam mereka.

Undangan penduduk Kufah sampai ke Husain di Mekkah. Ia pun bersiap melakukan perjalanan ke Irak, meski orang-orang menasihatinya agar tidak pergi ke sana. Mereka mengingatkan apa yang mungkin terjadi jika tetap pergi ke Kufah, mulai dari kemurkaan Yazid, kekejaman Ibnu Ziyad, hingga pengkhiatan penduduk Kufah. Tak kurang Ibnu ‘Abbas, ‘Abdullah bin Ja’far dan Sa’id bin al-Ashi, semua menyarankan Husain mengurungkan tekadnya pergi ke Kufah.

Husain tetap dengan pendiriannya. Bahkan ia pergi bersama keluarganya, termasuk perempuan dan anak-anak. Ia melakukan ini semua bukan karena angkuh atau keras kepala. Tapi ia tahu Yazid akan memaksanya berbaiat dengan kekerasan. Jika ia berbaiat maka ia membohongi diri dan mengkhianati nuraninya serta menyimpang dari tuntutan agama. Ia melihat berbaiat kepada Yazid merupakan sebuah pelanggaran; pelanggaran terhadap nurani dan agama sekaligus!

Dalam hal ini keputusan Husain tidak salah. Ia sudah tahu betapa marahnya Yazid kepada Ibnu Zubair ketika enggan berbaiat. Husain juga tidak salah ketika membawa serta keluarganya ke Irak. Jika ia meninggalkan mereka di Mekkah bukan mustahil Yazid akan “mengambil” mereka sementara ia dalam perjalanan ke Irak.

Husain pergi bersama sejumlah orang yang berasal dari keturunan ayahnya, keturunan Hasan, dua orang dari keturunan ‘Abdullah bin Ja’far, keturunan pamannya, ‘Aqil, dan sejumlah orang yang bersemangat membelanya. Ketika orang-orang A’rab (arab pedalaman) melihat kedatangan Husain ke Irak, mereka tertarik bergabung bersama rombongan Husain, banyak dari mereka ikut rombongan.

Kini Husain sudah memasuki Irak. Namun kedatangannya sudah diintai oleh Ibnu Ziyad, Gubernur Kufah. Ibnu Ziyad menyuruh Hurr bin Yazid untuk mengerahkan seribu tentara guna “menyambut” kedatangan Husain bersama rombongan kecilnya. Atas perintah Ibnu Ziyad, Hurr memerintahkan pasukannya menutup semua jalan sehingga Husain tidak bisa meloloskan diri ke mana pun. Mereka diperintah untuk tidak meninggalkan Husain sampai jelas apa yang diinginkan Husain. Orang-orang A’rab yang tadi bergabung bersama Husain terperanjat. Mereka sadar ini adalah perang, tiada lain! Mereka pun kabur meninggalkan Husain, tak satu pun dari mereka tersisa.

 

Husain menemui Hurr bin Yazid bersama pasukannya. Kepada mereka Husain menjelaskan bahwa ia hendak menasihati dan mengingatkan mereka. Mereka mendengar dan menerima kata-kata Husain, akan tetapi mereka tidak mau mengikutinya. Mereka hanya tunduk pada pemimpin mereka, Ibnu Ziyad.

Ibnu Ziyad meminta orang terdekatnya, Umar bin Sa’ad bin Abi Waqash, untuk mengambil tindakan tegas; perangi Husain! Sebanyak tiga atau empat ribu tentara dikerahkan untuk perang ini. Umar masih sempat menemui Husain dan bertanya, “Kenapa engkau datang ke sini?” Husain menjawab, “Penduduk negeri ini telah menulis surat padaku; mereka memintaku datang dan berjanji akan membelaku.” Husain menunjukkan surat itu kepada Umar. Umar lalu menunjukkan surat itu kepada orang-orang yang ada di situ. Tidak satu pun dari mereka mengaku telah menulis surat. Semua mengaku, sambil bersumpah, tidak tahu-menahu urusan surat itu.

Kepada Umar bin Sa’ad, Husain mengajukan tiga opsi untuk dirinya: mereka membiarkannya pulang ke Mekkah; mereka mengantarkannya ke Syam menemui Yazid; atau mereka mengirimkannya ke daerah perbatasan untuk bergabung dengan pasukan kaum Muslimin untuk berjihad bersama mereka. Umar menerima usulan itu, tapi ia perlu konsultasi kepada Ibnu Ziyad.

Ibnu Ziyad menolak semua usulan Husain. Ibnu Ziyad menyuruh Syamr bin Dzil Jausyan membawa surat buat Umar. Kepada Dzil Jausyan, Ibnu Ziyad berkata, “Suruh Umar baca surat ini, lalu perhatikan apa yang ia lakukan. Jika ia bangkit memerangi Husain, bergabunglah bersamanya, awasi gerak-geriknya sampai selesai semua urusan! Jika ia enggan, tebaslah lehernya, lalu kamu jadi panglima pasukan memerangi Husain!”

Umar paham apa yang diinginkan Sang Gubernur. Ia bangkit buat memerangi Husain. Tapi masih sempat ia meminta Husain mengurungkan niatnya melawan Ibnu Ziyad. Husain dengan lantang menjawab, “Adapun tawaran ini, hanya kematian jawabannya!”

 

Dikepung

 

Umar mengerahkan ribuan pasukannya mengepung Husain beserta puluhan pengikutnya yang hanya 72 (tujuh puluh dua) orang saja! Pasukan besar itu memerangi pasukan kecil lebih dari setengah hari. Tidak perlu diceritakan seperti apa yang menimpa Husain, anak-anak ayahnya, anak-anak bibinya, dan para pengikutnya yang jumlahnya tak seberapa itu.

Tepat di depan mata, Husain menyaksikan kekejaman dalam bentuk paling bengis. Tepat di hadapannya, Husain menyaksikan pembantaian terhadap saudara-saudaranya, anggota keluarganya, anak-anaknya sendiri, anak-anak kakaknya, dan anak-anak pamannya. Setelah melihat dan merasakan aneka-rupa kesedihan, kepedihan, luka dan kedurjanaan pasukan Ibnu Ziyad, Husain pun kemudian menjadi syahid terakhir di antara para pengikutnya.

Perlu dicatat, ada beberapa gelintir dari orang dekat Umar bin Sa’ad yang merasa “tidak enak” dengan penolakan Ibnu Ziyad terhadap usulan Husain. Mereka ini kemudian bergabung bersama rombongan kecil Husain, dan semua terbunuh tepat di hadapan Husain.

Perhatian kita tertuju pada satu orang Quraisy yang ikut hijrah ke Madinah; ayahnya termasuk pejuang Islam awal dan panglima kaum Muslim dalam penaklukkan Persia, kemudian mengasingkan diri dari hiruk-pikuk fitnah (politik). Dia adalah Umar putra Sa’ad bin Abi Waqash. Di bawah komando Umar, orang-orang Islam membunuh anak-anak Fatimah putri Rasulullah, membunuh anak-anak Ali, membunuh dua anak Abdullah bin Ja’far (syahid perang Mu’tah), dan tentu saja membunuh Husain!

Bukan cuma membunuh, mereka bahkan memenggal kepala, mengarak jasad yang sudah tak berdaya dan melakukan segala yang tak pernah terbayangkan saat kita membayangkan sebuah kekejaman! Yang tersisa dari rombongan mini di tengah-tengah ribuan pasukan itu hanya Zainab, Ali (Zainal Abidin) bin Husain, dan Ummu Kultsum.

Para sejarawan bisa saja berpendapat bahwa Yazid bin Mu’awiyah tidak bertanggung jawab atas pembunuhan Husain. Mereka menimpakan tanggung jawab itu ke pundak Ubaidillah bin Ziyad, Gubernur Irak. Yang jelas, pasca tragedi pilu itu Yazid diam saja; tidak mengeluarkan kecaman, tidak memberi sanksi, dan tidak memecat Ibnu Ziyad! Sebelum ini, Mu’awiyah membuhuh Hujr bin ‘Adi dan sahabat-sahabatnya, lalu tanggung jawab pembunuhan itu dibebankan ke Ziyad, ayah Ubaidillah.

 

(Sumber: Status Facebook Abad Badruzaman)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed