by

HTI dan Guyonan Gus Dur

Dari tiga pilar ini, jelas sekali perbedaan antara Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah tepatnya pada masa Khulafaur Rasyidin: Abu Bakar, Umar, Utsman dan Ali. Pada Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah, seorang Khalifah dibai’at setelah dilakukan musyawarah (pemilihan) yang dilakukan bebas tanpa paksaan (ridla wal ikhtiar). Meskipun cara dan teknis (uslub) musyawarahnya berbeda-beda, keempat Khalifah tersebut mendapat mandat kekuasaan setelah ada pemilihan dan mendapat suara mayoritas. Artinya bai’at adalah sebab dan tanda penyerahan mandat kekuasaan dari umat kepada calon Khalifah untuk menjadi Khalifah.

Bertolak belakang dengan hal tersebut, HTI meyakini penyerahan kekuasaan dari dewan jenderal binaan HTI (setelah berhasil mengambil kekuasaan dari penguasa sebelumnya) kepada Amir Hizbut Tahrir sebagai metode baku. Metode ini telah menghilangkan proses musyawarah (pemilihan). Tidak terjadi penyerahan mandat dari umat kepada calon Khalifah secara sukarela. HTI secara sepihak menetapkan Amir mereka sebagai Khalifah kemudian meminta umat membai’atnya di bawah bayang-bayang todongan senjata dari pasukan yang dipegang masing-masing jenderal anggota dewan jenderal. Skenario HTI ini persis yang dilakukan Mu’awiyah ketika meminta bai’at kepada umat atas ke-Khalifah-an anaknya, Yazid.

Pada masa Khulafaur Rasyidin semua Khalifah tidak pernah mencalonkan diri sebelumnya. Mereka tidak membentuk tim sukses apalagi partai politik agar menjadi Khalifah. Mereka juga tidak melakukan kampanye agar dipilih menjadi Khalifah. Lain halnya dengan HTI. HTI sebagai partai politik sekaligus tim sukses agar Amir mereka menjadi Khalifah. Mereka juga melakukan serangan-serangan opini untuk mendelegitimasi pemerintah pada saat yang sama melakukan infiltrasi ke tubuh TNI-Polri dalam rangka mendapat dukungan dan perlindungan serta mencari jalan meraih kekuasaan. Apa yang dilakukan oleh HTI ini mirip dengan gerakan politik al-Saffah ketika meruntuhkan Khilafah Umayyah lalu mendirikan Khilafah Abbasiyah di atas puing-puingnya.

Khilafah Tahririyah juga berbeda dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah dari sisi penetapan Amir Hizbut Tahrir sebagai Khalifah dan Undang-undang Dasar susunannya sebagai konstitusi negara oleh HTI. Penetapan ini memang hak HTI namun ini penetapan sepihak. Penetapan sepihak yang pernah dilakukan oleh kaum Anshor ketika mereka menetapkan figure terbaik mereka yakni Saad bin Ubadah sebagai khalifah pengganti Rasulullah Saw.

Penetapan ini dianulir oleh Umar bin Khaththab. Para sahabat dari Anshor dan Muhajirin yang berkumpul di Saqifah Bani Saidah menerima sikap Umar tersebut. Kemudian mereka memilih ulang Khalifah yang akhirnya terpilih Abu Bakar. Abu Bakar meskipun sahabat terbaik Nabi Saw tapi tidak pernah ditetapkan oleh Nabi Saw sebagai khalifah pengganti Beliau Saw. Khulafaur Rasyidin dalam mengatur urusan umat berdasarkan ijtihad politik yang mereka duga kuat benar. Mereka tidak merancang Undang-undang Dasar negera Khilafah layaknya Hizbut Tahrir.

Khilafah Tahririyah dengan Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah sangat berbeda bahkan bertolak belakang. Dari metode perjuangan HTI mirip dengan al-Saffah ketika mendirikan Khilafah Abbasiyah. Sedangkan dari aspek bai’at, HTI seperti Khilafah Umayyah. Jadi narasi-narasi yang diviralkan oleh kader-kader HTI seputar Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah hanya pepesan kosong. Guyon Gur Dur: “orang Indonesia itu apa yang dibicarakan berbeda dengan apa yang dikerjakan.” Lahul Fatihah…

Sumber : Status Facebook Ayik Heriansyah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed