by

HTI Dan Fraser Anning

Banyak orang akan bersorak, bergembira disaat ada orang atau kelompok yang berani melawan HTI dan Fraser Anning secara terbuka. Tapi mereka diam disaat tidak ada orang yang memulainya. Mereka takut akan kedudukan mereka, akan posisi mereka, akan reputasi mereka kalau mereka bersuara dan melawan secara terbuka. Mereka hanya bersembunyi di balik ketiak orang-orang atau kelompok yang berani.

Akan tetapi banyak orang yang akan bersuara dan menunjukkan keberanian kolektif saat ada serangan teror dimana ada nyawa yang melayang atau darah yang tertumpah. Tapi terkadang, narasi duka mereka itu adalah tentang mereka, tapi bukan tentang korban, padahal duka mereka itu sementara, tapi duka korban itu sepanjang hayat.

Solidaritas ini biasanya sesaat, 1 hari, paling lama 1 minggu. Setelah itu maka orang akan melupakan nyawa-nyawa yang melayang itu, karena mereka kembali ke kesibukan masing-masing, dan kemudian permisif lagi terhadap aksi-aksi provokatif ala HTI dan Fraser Anning.

Apakah masjid-masjid di Christchurch akan dijaga tiap minggu oleh orang Christchurch? Atau gereja-gereja akan dijaga tiap minggu pasca serangan teror? Tentu tidak!

Ummat Muslim di Christchurch pun tidak berharap akan dijaga tiap minggu oleh masyarakat sekitar, atau ummat Kristen di Indonesia pun tidak berharap dijaga tiap minggu oleh masyarakat sekitar. Itu bukan kebebasan yang dijamin oleh negara, sebaliknya, itu adalah simbol ‘pengasihan’ mayoritas terhadap minoritas.

Kelompok yang dianggap minoritas itu tidak ingin dikasihani. Mereka cuma ingin dihargai sama seperti kelompok yang merasa diri mereka superior alias mayoritas karena jumlah, karena angka.

Yang diharapkan cuman satu: Jangan toleran terhadap intoleransi. Itu saja!

#IndonesiaTanahAirBeta

Sumber : Status Facebook Alto Luger

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed