by

Hoax konspirasi ala Andrew Kaufman: virus penyebab covid-19 tidak ada, yang dideteksi eksosom tubuh kita sendiri?

Harus dipahami, virus tidak dapat mereplikasi diri sendiri. Mereka harus membajak mesin replikasi sel inang dari manusia dan kemudian ‘melarikan diri’ dari sel inang. Seperti napi yang sembunyi di truk yang meninggalkan penjara di film-film untuk kabur.

Virus yang bereplikasi dalam sel juga ‘menaiki mesin keluar sel’, yaitu eksosom. Karena nyusup di eksosom, virus jadi terlihat seperti eksosom dan beberapa ahli virologi memang menggambarkan beberapa virus sebagai eksosom. Tapi jelas beda dengan eksosom kita saat kondisi tidak terinfeksi virus, karena virus tidak memiliki RNA manusia demikian juga sebaliknya RNA manusia tidak memiliki RNA virus.

Urutan DNA dan RNA manusia, gajah, harimau, dan virus apa pun semuanya unik. Urutan yang tepat bisa diidentifikasi dengan teknologi sequencing. Manusia baik bayi baru lahir atau lansia, baik sehat maupun sakit, hanya akan membuat RNA manusia dalam selnya. Tidak ada toksin yang akan menyebabkan sel di tubuh kita memproduksi RNA gajah, apalagi RNA virus yang jauh berbeda, kecuali kalau kita terinfeksi virus.

⁉️Covid-19 bukan virus tapi eksosom dan tidak menular?

Jadi apa donk yang menyebabkan lonjakan besar pasien dirawat di rumah sakit, dan banyak yang meninggal sekarang? Dan kenapa dimulai di Wuhan dan menyebar ke negara lain? Lantas kenapa para nakes tiba-tiba berjatuhan meninggal? Di sinilah kita diajak halu berjamaah dan dimatikan kekritisannya dengan dalih ‘konspirasi’.

4. Kaufman mengklaim semua tes lab RT-PCR untuk mendeteksi virus corona, sebenarnya mendeteksi sesuatu yang lain, yaitu eksosom kita sendiri.

Ilmuwan seluruh dunia telah telah mengurutkan lebih dari ribuan sampel coronavirus SARS-cov2. Artinya seluruh genomnya, sekitar 30.000 basa atau “huruf” bisa kita baca. Kita tahu protein apa yang mereka kodekan. Ilmuwan seluruh dunia telah membandingkan genom ini dengan coronavirus lain dari manusia (SARS-2003, MERS) dan hewan (bat coronavirus, dll). Jadi tidak mungkin keliru, apalagi keliru dengan RNA tubuh manusia (eksosom).

Ini contohnya satu dari sekian banyak makalah yang mengamati urutan genetik virus SARS-Cov2:

https://www.nature.com/articles/s41591-020-0820-9.pdf

Seluruh untain RNA ini tidak ditemukan dalam sel manusia kita, dan kita harus mengetahui: ilmuwan telah mengurutkan genom manusia berkali-kali. Bahkan membaca dan menganalisa ratusan ribu genom manusia adalah kerjaan saya sehari-hari.

5. Kaufman mengklaim RT-PCR tidak ada pemurnian virus, jadi bisa salah deteksi eksosom sebagai virus.

Ini tidak benar. Dalam protokol pengujian, selalu wajib adanya pemurnian RNA virus dan primer yang dibuat berdasarkan genome virus yang disekuen oleh ilmuwan di seluruh dunia di GISAID yang bisa diakses oleh siapa aja:

https://www.gisaid.org/

Primer dan Reagen kit (material yang dipakai untuk PCR) bisa dibeli dari vendor/manufaktur yang tersedia dimana aja, bukan dari satu vendor saja. Jadi mustahil mereka berkongsi untuk konspirasi karena berada dalam pengawasan CDC (screenshot terlampir).

Kalau misalnya tidak dilakukan pemurnian, bakalan terdeteksi saat sequencing. Jika memang eksosome manusia, maka tidak akan dikenali sebagai RNA asing (virus baru). Ingat setiap manusia punya genom 99.99% kemiripan antara satu dengan lainnya, tapi tetap bisa dikenali berasal dari satu keluarga atau tidak (kasus tes DNA seorang anak yang tidak diakui bapaknya misalnya). Apalagi virus yang rantai RNA nya jauh lebih pendek dan berbeda dari manusia jelas lebih mudah dibedakan.

⁉️Adakah dampak mutasi virus SARS-Cov2 pada efisiensi RT-PCR sebagaimana yang dikhawatirkan Ibu ex menkes SFS?

Mutasi SARS-Cov2 tidak cepat. Saya sudah pernah mengulasnya di sini:

https://www.facebook.com/photo.php?fbid=10221341346299471

Jadi mutasi hanya terjadi di beberapa titik (SNP) saja, sehingga primer yang dipakai dari genom asal viruspun masih bisa mendeteksi jika hanya terjadi mutasi di satu atau beberapa titik saja.

Jadi virus saat ditemukan pada kasus awal di Wuhan saat pasien terinfeksi awalnya bisa dideteksi dengan ‘whole genome sequencing’ yaitu pembacaan urutan kode genetik (RNA), dengan cara ini bisa dikenali adanya virus baru dengan susunan RNA virus yang belum pernah ditemukan sebelumnya, lalu dinamainlah SARS-CoV2.

Nah, selanjutnya deteksi keberadaan virus pakai sequencing agak lama (butuh beberapa hari hingga pekan) dan cukup mahal. Maka digunakan versi lebih murahnya tapi akurat yaitu RT-PCR. Ini teknologi yang sudah dipakai ilmuwan seluruh dunia dari sejak 1983. Kalau tiba-tiba ada ‘ilmuwan’ yang bilang teknologi ini gak akurat tapi gak bisa membuktikan, maka bisa dibilang dia hanya menyebar hoax.

Sekarang saya jelaskan dikit teknologi PCR (PCR untuk amplifikasi DNA, untuk RNA direverse dulu jadi cDNA baru diamplify, namanya jadi RT-PCR). Karena SARS-CoV2 adalah RNA virus maka kita pakainya RT-PCR.

Dalam PCR kita butuh primer. Primer dalam RT-PCR adalah untaian RNA yang diambil dari RNA virus dari hasil sequencing. Yang fungsinya adalah fondasi awal untuk proses replikasi agar bisa dikenali virusnya.

Nah kalau ada sample dari swab, maka sample itu mengandung rantai RNA, tapi awalnya belum bisa dikenali apakah itu RNA virus atau bukan. Maka primer dipakai untuk membatasi segmen template RNA yang akan diamplifikasi (di sinilah akan terdeteksi positif atau negatif).

Pada kondisi khusus, kalau mutasi virusnya di primer dan probe target (probe dipakai untuk mendeteksi keberadaan asam nukleat), maka bisa mempengaruhi sensitifity menjadi false negatif (artinya keberadaan virus jadi negatif saat diuji alias dianggap gak ada virusnya) sebagaimana di penelitian ini:

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC7189409/

Namun jangan khawatir, desain primer itu selalunya diambil dari region di genom virus yang secara evolutionary conserved. Artinya pada gen yang cenderung tetap gak berubah secara evolusi yaitu gak akan bermutasi. Kenapa? Karena kalau berubah sedikit saja di region itu bakalan lethal mengubah besar-besaran karakteristik virus. Maka dalam genom, ada region yang secara alami memang condong tetap gak berubah, dan ada yang mudah berubah karena mutasi. Yang condong tetap inilah yang dipakai sebagai primer. Maka kekawatiran tidak bisa mengenali virus karena sudah bermutasi jadi sangat sangat kecil peluangnya. Ngerti gak kamu, Son?

***

Sebagai tambahan, Kaufman ini punya background S1 Biology MIT (sangat disayangkan), namun PhD di jurusan psikiatri forensik dan publikasinya juga semua terkait psikiatri forensik.

Kaufman sendiri lisensi spesialisnya sempat ditangguhkan kampusnya karena menyalahgunakan dana penelitian untuk kepentingan pribadi:

http://www.circare.org/pd/kaufman_20081126.pdf

Sebagai pakar kejiwaan mungkin dia ingin cari sensasi memanfaatkan kondisi kejiwaan netizen yang suka halu dan buta sama sekali terhadap biology molekuler (biomol). Lumayan jadi sampel penelitian dia terhadap kejiwaan netizen. Terutama kaum pecinta teori konspirasi yang gak pernah punya bukti ilmiah untuk membuktikan klaim mereka. Bahkan sedikit saja mereka bicara sains, ngawurnya na’udzubillah.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed