by

Hingga Djaduk Adalah Bunyi

Pak Bagong, atau acap disebut Rama Gong, perjalanan menuju rahasianya hampir mirip anaknya. Meninggal di tengah proses kreatif, ketika mempersiapkan sendratari pertunjukan lintasan sejarah berjudul “Jakarta Maju, Indonesia Maju”, dalam rangka pembukaan Pekan Raya Jakarta Juni 2004.

Jika Pak Bagong 2 hari menjelang pergelaran, Djaduk meningal 3 hari sebelum pergelaran Ngayogjazz Kwagon 2019. Selisih 1 hari, masih saktian sang bapak. Entah Djaduk mau nyemoni atau nyaingi, itu rahasia mereka berdua. Karena hubungan ayah dan anak itu, dalam cerita Butet Kartaredjasa, sempat muncul perang terbuka. Hingga Djaduk cabut dari Kembaran, dan bersama Butet membeli seperangkat gamelan, ngerek gendera di Kadipaten Kersan. 

Padal, ya, Pak Bagong, ayah Djaduk itu, membiarkan sang anak waktu kecil mengendangi kepalanya, ketika melatih cantrik dan mentrik di Padepokan Seni Bagong Kussudiardjo. Hingga ketika sang anak bukan hanya tubuhnya membesar, melainkan juga talenta serta gagasan-gagasannya mengenai rahasia bunyi.

Penamaan grup musiknya, kua-etnika, menjelaskan hal itu. Perkakas musik yang aneka, makin menguatkannya. Sebagaimana ia berlintasan dengan seni tradisi sejak dari sononya. Jika pun ia ketawa-ketiwi sambil bertanya sinten remen dalam keroncong, itu lantaran energi over-dosisnya. Hingga ia menemukan ngayogjazz, dan pralaya di pangkuan solois Petra. Itu sangat sesuatu. 

Sampai di rumah, mendengarkan Gusti Arirang dalam “Hamba Jaring Cahaya, Hamba Bela Gelapnya”, saya meyakini itu salah satu rahasia yang dijelaskan Djaduk secara rahasia, mengenai perjalanan hening, henang, henong. 

Tentunya Gusti Arirang adalah akibat perbuatan Djaduk bersama Petra. Tetapi dalam rahasia bunyi, ia melahirkan Orkes Sumpeg Nang Ning Nong, Bersama Kua Etnika di 1997. Ia menunjukkan intensinya, persisten, sangat rheze dan wathathitha!

Terimakasih Den Guritno, Raden Mas Gregorius Djaduk Ferianto, telah menjadi bagian dari rahasia bebunyian. Engkau menjelaskan dengan baik, soal makna saling mendengarkan. Mengenali. Menghargai. Membangun harmoni. Bertoleransi. Karena hidup adalah bunyi. Bahkan dengan segala improvisasinya yang intens itu.

 

(Sumber: Facebook Sunardian Wirodono)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed