Mereka tahu mayoritas umat Islam di Indonesia memang kurang dalam pemahaman atas Al Qur’an dan Hadits. Mengapa? Jelas karena bahasa yang digunakan adalah bahasa dimana Islam diturunkan. Oleh para Ulama-ulama NU, apa yang ada dalam Al Qur’an dan Hadits serta kitab-kitab sudah diolah dan disampaikan secara sederhana. Sehingga masyarakat awam tinggal menjalankan saja. Mengapa begitu? Memahami Al Qur’an dan Hadits tidak boleh dilakukan sembarang orang sebab ada prasyarat yang harus dipenuhi agar tidak disalahfahami. Sayangnya saat ini banyak dai yang hanya mengandalkan nalar tanpa ilmu yang lengkap.
Berkembangnya teknologi informasi menyebabkan orang bisa dianggap punya kapasitas keagamaan padahal masih jauh dari mumpuni. Sebut saja Jonru, Felix Siaw, Irene Handoko, Nanik Deyang, Sugi Nur Raharja dan masih banyak yang lainnya. Bagaimana bisa mereka yang kemampuan agamanya terbatas diminta ceramah, khotbah diberbagai kesempatan bahkan diakui kebenarannya. Mereka tidak punya sanad keilmuan yang jelas seperti dimiliki oleh kaum nahdliyin. Jangankan kyai NU, generasi muda NU saja jauh lebih mumpuni untuk adu keilmuan dengan mereka.
Sebagai ilustrasi, muslim awam seperti kita sebaiknya mengkonsumsi santan yang sudah siap olah saja. Biarkan kelapa di pohon dipetik oleh para ulama-ulama besar untuk diolahnya. Sebab memahami ilmu Al Quran dan Hadits butuh banyak cabang ilmu lain. Ingat, terjemahan Al Qur’an jelas tidak bisa dimaknai dalam bahasa Indonesia begitu saja. Kita butuh menguasai ilmu alat, ilmu Tafsir, Ilmu Mustholah dan Syarah Hadits, Ilmu Kitab Rijal, Ilmu Kitab Tarikh dan Ilmu Qur’an. Tiap Ilmu tadi masih punya turunan sendiri atau cabang ilmu. Para Ulama NU cenderung berhati-hati dengan itu semua sehingga menyampaikan dakwah selalu menyesuaikan audiens serta tempat. Tidak menggeneralisir disamakan. Dakwah itu mengajak, merangkul, membuat orang nyaman menjalankan. Bukan justru menakut-nakuti bahkan was-was dalam beragama.
Comment