Oleh : Delly Ferdian
Dengan tegas Sri Mulyani mengatakan bahwa target APBN 2016 terlalu optimistis, sehingga beliau memastikan bahwa target penerimaan pajak tahun ini tidak akan tercapai. Menjadi wajar jika Sri Mulyani melakukan pemangkasan anggaran terutama anggaran yang akan ditransfer ke daerah karena dianggap belum prioritas.
Pernyataan Sri Mulyani tersebut dapat dikatakan cukup logis, apalagi pada kenyataannya penerimaan pajak pada 2015 yang lalu juga tidak mencapai target, padahal targetnya dapat dikatakan 30 % lebih rendah dibandingkan target pencapaian pajak pada tahun ini.
Saya rasa, tak ada yang meragukan Sri Mulyani dalam bidang Ekonomi. Oleh karena itu optimisme Presiden Jokowi terhadap perkembangan ekonomi Indonesia yang diletakkan di Sri Mulyani sangat besar. Tentu banyak pertimbangan mengapa Presiden Jokowi memilih Sri Mulyani untuk masuk pada posisi strategi dalam perombakan ulang (reshuffle) kabinet kerja jilid ke II yang diumumkan pada rabu 27 Juli 2016 yang lalu. Salah alasannya tentu karena Sri Mulyani punya track record yang cukup Mentereng.
Terbutki sudah bahwa pada akhir masa jabatan Sri Mulyani di bawah Pemerintahan Presiden SBY yang lalu, kondisi ekonomi Indonesia memang terbilang cukup mengesankan, dimana tercatat Produk Domestik Bruto (PDB) yakni 6,2 % , Neraca Pembayaran Indonesia mengalami Surplus sebesar US$ 30,3 Miliar, Cadangan Devisa Indonesia sekitar US$ 96,2 Miliar, Tingkat Inflasi mencapai 6,96 %, Gini Rasio (kesenjangan kekayaan) berkisar 0,38 %, dan angka kemiskinan berada pada 13,3 % (Sumber: Kementerian Keuangan). Prestasi ini tentu patut kita apresiasi, namun apakah prestasi tersebut dapat diulang kembali atau bahkan dikemudian hari ekonomi Indonesia akan lebih gemilang dari sebelumnya. Tentu untuk menjawab hal ini kita tidak bisa menyerahkan sepenuhnya kepada Pemerintah, walaupun Sri Mulyani dikenal sebagai ekonom yang bertangan dingin.
Setelah selesai mengemban tugas sebagai direktur pelaksana bank dunia (world bank) sejak juni 2010 yang, Presiden Jokowi langsung memanggil Sri Mulyani kembali ke kursi Mentri Keuangan menggantikan Bambang P Brojonegoro dan menghadapkannya pada situasi ekonomi Indonesia yang cukup sulit, dimana terlalu banyak target yang harus dikejar bahkan tak boleh ada satu pun kebijakan maupun pun proyek Pemerintah untuk membuat ekonomi menggeliat yang tercecer. Sungguh bukan tugas yang mudah, namun apakah Sri Mulyani beserta segala kredibilitas yang ia miliki mampu membawa ekonomi Indonesia untuk lebih baik ?
Kini tren pertumbuhan ekonomi (economic growth) Indonesia bahkan dunia beberapa tahun belakangan ini tidak cukup baik dan terkesan lamban. Berdasarkan data world bank, pada tahun 2014-2015 pertumbuhan ekonomi Indonesia hanya bertengger pada kisaran 5 % dan pertumbuhan ekonomi dunia masih bermain di bawah 3 % saja. Inilah salah satu tantangan besar Sri Mulyani Indrawati ke depan.
Belum lagi Setumpuk pekerjaan rumah telah menanti Sri Mulyani, pertama, beliau harus mampu mensinergikan lembaga kementerian maupun instansi Pemerintahan lainnya untuk bersama-sama mengatasi masalah defisit APBN yang kian melebar. Dimana pada kondisinya kini, defisit APBN-P semester 1 telah mencapai 1,83 % atau lebih tepatnya Rp.230,67 T. Kita tentu tidak ingin membiarkan ekonomi Indonesia selalu bermain dengan utang-utang luar negeri yang nyata tak berdampak baik, menambal defisit dengan cara berhutang keluar negeri tentu bukan solusi jangka panjang, ibarat kata “gali lobang, tutup lobang”.
Kedua, Sri Mulyani harus mampu menggenjot penerimaan Negara pada sektor pajak, karena kita sangat sadari bahwa pajak merupakan instrument penting dalam penerimaan Negara karena kita sama sekali sulit untuk mengandalkan sektor migas yang nyatanya tidak dapat diprediksi ditengah labilnya harga minyak dunia. Target APBN-P 2016 yang terlalu ambisius penerimaan terkait pajak tentu harus diprioritaskan juga, walaupun beliau mengatakan bahwa target pajak tahun ini tidak akan tercapai. Kegagalan pemerintah dalam mencapai target penerimaan pajak tahun lalu sebesar Rp1.294,3 triliun harus menjadi motivasi, dimana nyatanya dulu pada tahun 2015 Pemerintah hanya mampu mengumpulkan 81,5 % atau lebih tepatnya sebesar Rp1.055 triliun. Kini target penerimaan pajak sekitar RP.1.539,16 T, dan pada kondisinya yang telah berjalan, penerimaan Negara pada sektor pajak telah terealisasi sekitar Rp 522 T. (Sumber: Kementrian Keuangan)
Ketiga, mensukseskkan program Pengampunan Pajak (Tax Amnesty) yang telah termaktud menjadi UU No 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Dalam APBN-P 2016 pun target tax amnesty telah ditetapkan sekitar Rp 165 T. Bergulirnya program tax amnesty memang sempat dilansir banyak media bahwa banyak pengusaha yang cukup antusias mengikuti program tersebut, namun kita tidak bisa menampikkan adanya aliran kontra terhadap program tersebut sehingga mengeluarkan desakan untuk melakukan judicial review terhadap UU tax amnesty.
Keempat, meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Tidak tercapainya target pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama harus menjadi evaluasi bagi Sri Mulyani kedepan. Tentu tantangan Sri Mulyani dalam hal ini cukup serius, walaupun pada APBN-P Target pertumbuhan ekonomi hanya 5,2 %, namun banyaknya daerah yang tidak lihai dalam penyerapan anggaran juga sangat mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi, apalagi kucuran dana kedaerah cukup besar. Ke-lima, pada sektor ril, Sri Mulyani harus mampu menciptakan banyak lapangan pekerjaan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) februari 2016 ini, angka pengangguran di Indonesia telah mencapai 7,02 juta orang. Tentu ini salah beban yang cukup sulit, pasalnya di tengah arus Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA), Indonesia harus mampu bersaing dari segi supply pekerja yang professional serta berkualitas.
Keenam, segera menyelesaikan proyek-proyek Pemerintah seperti proyek hulu migas kementrian ESDM yakni block Masela maupun proyek pembangkit tenaga listik yang kini terbengkalai. Ke-tujuh, Stabilisasi harga pangan dan ketersediaan stok bahan pangan, tentu hal tersebut juga terkait dengan kinerja Menteri perdagangan sehingga revitalisasi pasar khususnya pasar tradisional cepat terealisasi.
Ada yang mengatakan bahwa, skema reshuffle Jilid II ini adalah langkah Presiden Jokowi untuk tetap mempertahankan kekuasaan orang nomer satu di Indonesia. Digadang-gadangkan pula bahwa nama Sri Mulyani di sebut sebagai calon orang nomor dua yang akan bersanding dengan Jokowi nantinya. Hemat saya, semua skema ini tergantung kepada kinerja Jokowi sebagai Presiden dan Sri Mulyani sebagai Menteri kali ini. Jika tidak dapat mempertahankan kinerjanya maka kuda hitam bisa saja datang, dan bisa jadi akhrinya Sri Mulyani tidak tertarik untuk menumpang kepada perahu Jokowi namun berdiri bersama calon lain.
Namun terlepas dari rama-lan politis demikian, kembalinya Sri Mulyani seolah memberikan harapan bagi kita semua. Tentu kita tidak boleh berdiam diri semata-mata karena kita menyakini bahwa Sri Mulyani mampu mengatasi semua persoalan ekonomi di Negara kita. Sejatinya Pemerintah tidak boleh terlalu banyak melakukan pekerjaan di bidang ekonomi secara lebih dominan, karena susungguhnya “Ekonomi Pasar” harus tetap dimotori oleh pelaku swasta (Private Sektor), dan Pemerintah hanya memiliki fungsi untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi serta politik melalui regulasi atau kebijakan yang sehat sehingga masyarakat mampu bergerak maju memperbaiki ekonominya karena Pemerintah telah menyediakan akses yang cukup memadai. ***
Sumber: harianhaluan.com
Comment