by

Hantu PKI di Pendataan Kyai

Adu Domba Data
Catatan Fealy, McGregor maupun Hermawan Sulistyo (Palu Arit di Ladang Tebu: 2000) menunjukkan eskalasi pembantaian tertuduh komunis dimulai minggu kedua Oktober 1965. Sangat mungkin amuk tersebut berlangsung setelah puluhan kiai berpengaruh dikumpulkan Basuki Rahmat, Pangdam Jawa Timur.

Yang menarik, proses pemusnahan elite PKI yang berjalan dengan supervisi militer itu juga bertumpu pada data.  Para laskar partai politik dan organisasi keagamaan memburu dan menghabisi mangsanya sesuai daftar nama yang diberikan oleh militer setempat. Pengakuan AM, algojo asal Jombang sebagaimana wawancaranya di Liputan Khusus Majalah Tempo 1-7 Oktober 2012, setidaknya mengkonfirmasi hal tersebut.

“Kami dikasih tahu daftar orang yang malam itu akan dihabisi, entah siapa yang menyusun. Yang jelas targetnya pengurus teras PKI di tingkat desa, terutama ketua dan sekretarisnya,” jelas AM yang mengaku selalu berpakaian hitam plus udeng ala Sakerah saat beraksi.

Di wilayah Purwodadi, Jawa Tengah, bau busuk pembantaian besar-besar 1967-1969 terendus Jakarta setelah diungkap HJ. Princen usai mendengar curhat Romo Wignyosumarto. Tidak berselang lama, Panglima ABRI Jenderal MS. Panggabean dan Menteri Penerangan mengunjungi Purwodadi untuk melakukan pengecekan.

Pencocokan jumlah ratusan tahanan diduga PKI  dengan daftar yang dimiliki militer menunjukkan jumlah relatif sama. Belakangan diketahui, beberapa hari sebelum sidak dua pejabat Jakarta itu, militer menangkapi para Sukarnois dan menjebloskannya ke penjara hanya untuk menutupi menyusutnya jumlah tahanan karena telah dieksekusi.

Yang paling mengerikan, pendataan yang berujung munculnya daftar nama korban juga menjadi alat untuk mengadu domba PKI dan lawan-lawan politiknya. Untuk memancing kemarahan kalangan Islam dan Nasionalis, tidak jarang ditemukan “daftar nama kiai” atau “daftar tokoh PKI” yang seolah-olah akan menjadi korban eksekusi.

Jika ada penyerbuan ke kantor PKI, misalnya, kerap ditemukan daftar nama kiai. Militer nampak cukup cerdik membuat plot seakan-akan PKI memang benar akan melakukan pembantaian terhadap lawan politiknya. Karenanya, seteru PKI kerap berada dalam keyakinan “lebih baik membunuh terlebih dahulu ketimbang dibunuh”.

Jika provokasi dan adu domba dalam bentuk “daftar hoax” tidak lagi cukup efektif membakar kemarahan seteru politik PKI, maka tidak jarang militer menunjukkan lubang kuburan ke kiai sembari meyakinkan lubang tersebut dibuat PKI untuk mengelabui kiai tersebut, sebagaimana pernah diceritakan Kiai I dari Kediri kepadaTempo.

Alm. KH. Yusuf Hasyim, pensiunan tentara yang cukup dekat dengan militer saat tragedi 65, nampak telah mencium gelagat adu domba. Pengasuh terlama Pesantren Tebuireng ini mengaku pernah menemui Soeharto di Kostrad saat inflasi mencapai level 600. “What’s going on with Ansor running amuck? I want this stopped!”tulis paman Gus Dur ini melukiskan kegusaran Soeharto, dalam esai pendeknya Killing Communist.

“Sir,  if this is going to stop, don’t just ask us. Tell us to help,” kata Pak Ud pada Soeharto dan pimpinan militer saat itu. Dia pun kemudian mengaku dikirim ke Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk meredakan amuk tersebut,

Di wilayah-wilayah terpencil,  lanjut kiai kharismatik ini, Koramil dan Babinsa merupakan pihak yang aktif memasok informasi seputar adanya daftar (hit list) milik PKI yang berisikan nama-nama kiai NU dan tokoh Ansor untuk dibunuh.

Dihantui
Bisa dikatakan, situasi politik elektoral Jakarta telah memercikkan sentimen tersendiri di kalangan kiai. Ini tak lepas dari manuver politik kekuatan Islam ideologis yang kerapkali menjadi PKI sebagai hantu yang perlu diwaspadai. Padahal, yang sesungguhnya terjadi adalah kekalutan kolektif internal mereka akibat gagalnya strategi menarik lebih banyak massa dalam pilkada.

Di sisi lain, terasa sekali ada ketidaknyamanan kiai atas pendataan tersebut. Mungkin mereka merasa keselamatannya terancam; takut ada penculikan sebagaimana yang dikatakan KH Irfan Yusuf. Bagi saya, kekhawatiran itu tidak beralasan sama sekali mengingat tingkat keamanan negara ini semakin membaik.

Di luar itu, kekhawatiran tersebut memaksa memori saya membayangkan ketakutan ribuan tokoh PKI yang namanya ada daftar culik dan bunuh. Padahal mereka belum tentu bersalah secara hukum. Saya membayangkan betapa lunglai lutut mereka. Anak-anaknya pasti sangat terpukul ayah-ibunya  “diambil” massa untuk dihabisi.

“Saya mengetuk pintu orang yang akan dihabisi. Setelah cocok dengan  target kami ajak ke tempat sepi. Mereka umumnya sudah pasrah. Sekali gertak mental mereka sudah down. Setelah korban roboh jenazahnya kami tinggal begitu saja. Kami tidak pernah mengubur,” kata AM, sosok yang rasanya saya kenal baik dan bahkan kerap saya cium tangannya hingga kini, kepada majalah Tempo.

PKI akan terus menjadi hantu sampai kita bisa bersikap adil pada tragedi 65.

Sumber :  Geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed