by

Gus Yahya dan Statemen Konyol Petinggi PKS

Di kesempatan lain, di sebuah simposium pemikiran Gus Dur di UI, yang juga saya turut hadir dalam satu sesi dengan Gus Yahya. Beliau mengatakan, “Gus Dur yang hebat begitu saja menuai badai kritik, apalagi Gus cilik kaya aku. Emange sopo aku. Ya, kudu akeh gus-gus cilik, anake kiai kampung yang mau berbagi peran dan tugas untuk menerjemahkan gagasan Gus Dur dalam berbagai strategi dan level”.

Selain, berulangkali tertawa terpingkal-pingkal di sebuah ruangan akademik, yang diisi para aktivis dan intelektual yang tak diragukan komitmennya bagi kebaikan Indonesia, yang sekaligus memiliki selera humor yang cerdas tersebut. Saya tertegun. Gus Yahya, yang jelas kiai hebat, wawasannya luas, berpikiran terbuka, berpihak dan humble, saja masih menyebut dirinya Gus cilik. Apalagi saya… jadi, kalau TS meragukan ke-kiai-an Gus Yahya tentu sebuah penghinaan.

Dengan pribadi seperti itu, saya yakin, beliau siap menerima dan mendengarkan kritik yang diarahkan padanya, sekeras apapun kritik tersebut, sejauh sebuah kritik (anda cari sendiri definisi kritik dan “Apa itu kritik?”). Namun sayangnya bukannya kritik yang diperoleh tapi cacian. Saya yakin pula, beliau pastinya senyum-senyum saja melihat statemen HNR dan TS di Twitter, “masa, aku meladeni sing kayak ngunu cah…” Mungkin kira-kira begitu gumam Gus Yahya.

Sebenarnya, biasa saja jika terjadi pro dan kontra. Kabarnya otoritas Palestina juga memprotes keras Gus Yahya atas kehadirannya di forum bergengsi Yahudi, yang dilayangkan oleh kementerian luar negeri Palestina di sebuah laman online. Saya sendiri berbeda pandangan dengan beliau. Bila diibaratkan, persis seperti posisi Bung Karno dan para pemuda Menteng 31 dalam menyikapi janji politik Jepang. Bung Karno memilih menunggu janji Jepang, sementara anak muda sudah tidak sabar dan tak percaya dengan fasis Jepang yang sejak awal hanya memanfaatkan kekuatan rakyat Indonesia untuk kepentingan perang Jepang. Begitulah kira-kira perbedaan saya dengan beliau yang tentu mempunyai implikasi politik yang akan berbeda pula. Atau lugasnya, “apa iya kita bisa berharap rahmah dari Israel? Seberapa mampu kita mempengaruhi kebijakan Israel yang didominasi faksi garis keras seperti partai Likud?

Gus Yahya, tak tega melihat rakyat palestina terus menerus menjadi korban keganasan perang dan arogansi militer Israel, maka perlu ada segera perdamaian. Sedangkan saya percaya dengan jalan radikal, yang tak memperhitungkan kalah menang. Karena perjuangan Palestina bukan soal kalah menang, tapi soal kehormatan. Jika kita kalah hari ini, mungkin esok akan menang, jika belum kunjung datang kemenangan, mungkin esoknya lagi, lagi, dan lagi. Saya sendiri yakin, jika dibuat satu jajak pendapat, bisa jadi rakyat Palestina lebih memilih digilas tank Israel ketimbang harus berbagi tempat dengan para perampok yang telah menjarah tanah mereka dan harus mengakui keberadaan negara zionis.

Bila diperkenankan, kita bisa mulai dengan pertanyaan: Proposal damai macam apakah yang hendak ditawarkan kiai Yahya? Apa prasyarat-prasyarat sosial politik menuju perdamaian tersebut? Ada usulan untuk perkuat lobi Arab di AS untuk menandingi lobi Yahudi, seberapa mungkin dilakukan? Apakah jalan damai untuk Palestina-Israel itu artinya bersepakat dengan ko-eksistensi dua negara tanpa mengembalikan wilayah yang telah dicaplok Israel sebelum perang tahun 67? Atau ko-eksistensi satu negara dua bangsa, apakah mungkin? Apakah mungkin mengharap rahmah dari negara fasis yang telah melanggar berbagai aturan dan kesepakatan internasional? Dan masih banyak pertanyaan yang bisa kita ajukan untuk dianalisa berbagai kemungkinannya yang bisa menjadi bahan memulai perdebatan tanpa perlu merendahkan orang lain.

Dengan ini, saya sama sekali tak meragukan komitmen Gus Yahya dan NU pada pembebasan Palestina. Mungkin saya hanya berbeda dalam konsep dan strategi perjuangannya. Namun apapun itu, soal Palestina, karena terlalu rumit dan peliknya konflik di sana, kita tak bisa dengan mudah mengambil posisi hitam putih. Artinya opsi perundingan di meja makan juga tak bisa diabaikan. Toh, semuanya hanya sedang ikhtiar merawat harapan. Yang bisa iya, bisa tidak. Menganggap jalan radikal sebagai kekeliruan dan hasilnya hanya NOL, juga tak sepenuhnya benar, begitupun sebaliknya.

Sekali lagi, gara-gara dua petinggi PKS yang ugal-ugalan, umat tak bisa belajar apa-apa, tak mendapatkan suguhan perdebatan yang bermartabat dan bermanfaat. Ya, sudahlah, apa yang bisa kita harapkan dari sebuah cacian? Anda tahu sendiri jawabannya.

Oh ya, untuk HNW dan TS, etika dan estetika itu erat sekali kaitannya. Sayangnya anda tak memiliki keduanya.

Sumber : Status Facebook Roy Murtadho

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed