by

Gunakan Demokrasi untuk Hancurkan Demokrasi

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Orang orang Arab berdatangan ke Amerika Serikat di era 1990-an. Dan warga Amerika menyambut dengan tangan terbuka. Sebagai negara demokrasi dan dikenal sebagai melting plot : titik temu bangsa bangsa di seluruh dunia – negeri Paman Sam itu membuka diri.

Warga Arab pendatang itu kemudian belajar banyak hal. Juga belajar mengemudikan pesawat. Tapi pesawat yang dikemudikan itu digunakan untuk menabrakan gedung kembar di New York. Tragedi 9/11 terjadi.

Di sini nampak demokrasi menjadi senjata makan tuan. Dalam demokrasi kebebasan berpendapat dan berekspresi dijamin. Belajar apa saja, mengembangkan diri secara maksimal. Tapi demokrasi sering dimanfaatkan untuk mematikan demokrasi.

Di Indonesia, atas nama demokrasi para pendakwah asing bebas mencuci otak anak anak kita untuk mendukung berdirinya negara khilafah, menolak Pancasila, untuk pada akhirnya melawan pemerintah, melawan negara, menolak hormat merah putih dan enggan menyanyikan Indonesia Raya.

Mereka membangun masyarakat baru sesuai kemauan pendatang, sesuai order dari Tuan mereka di jazirah Arab. Membangun masyarakat puritan, memuja masa lalu. Mempertahankan keterbelakangan. Anti agama dan keyakinan yang berbeda. Enteng enteng mengkafirkan orang lain.

BAPAK bapak Pendiri Bangsa kita (founding fathers) menetapkan demokrasi sebagai sistem kenegaraan kita. Demokrasi bukan paham asli Indonesia. Paham Demos (rakyat) dan Kratos (memerintah) diimpor oleh dari Yunani. Tapi dalam penerapannya sesuai dengan kebutuhan kita, dimana sistem yang telah berusia 5000 tahun ini menampung hak hak rakyat agar bisa tersalur, tanpa ancaman.

Paham persatuan dan demokrasi lah mempersatukan Indonesia, kerajaan kerajaan dan kesultanan di bumi Nusantara. Semua suku, agama, dan ras punya hak yang sama, dan suara yang sama, setara dan aspirasinya layak didengar. Dalam pemilu setiap pemilih memiliki satu suara, hak profesor dan petugas kebersihan sama sama satu suara.

Masa pemerintah kerajaan dan kesultanan di masa lalu, dimana titah raja dan sultan, perintah bupati, yang bisa memerintah sesuka hati, berganti dengan pemimpin yang dipilih rakyat untuk mensejahterakan rakyat. Meski hasilnya belum maksimal.

Okelah, setidaknya demokrasi bisa diperjuangkan untuk diteruskan. Apakah ada di antara kita yang merindukan kembali kehadiran negara kerajaan, sosok raja, sultan?

Tapi anak anak kita, oleh pendatang Arab dan sarjana sarjana lulusan Arab, dididik untuk menerima khilafah dan pemerintah agama, dalam hal ini negara Islam. Mereka mulai menggugat Pancasila, demokrasi, dan memaksakan penerapan hukum dan aturan bersama berdasarkan satu agama.

Dunia Arab puritan mengirim Mohamed Atta untuk menghancurkan menara kembar 2001 . Dari dunia yang sama mereka mengirim pendakwah untuk menghancurkan Pancasila, Indonesia Raya dan Borobudur.
Sama sama menghancurkannya.

Dalam buku kumpulan ‘Gerhana Hati Nurani’ Christianto Wibisono (alm) mengungkap fenomena Demokrasi dan Democide yaitu paham kebebasan yang mensejahterakan rakyat (demokrasi) dan paham elite yang membuat rakyatnya menderita (democide).

Demokrasi dengan penerapannya sesuai nilai nilai yang berlaku di Indonesia, membawa kemajuan dan kesetaraan, modernitas – setiap orang bisa maju dan berkembang maksimal. Mandiri, sehingga memungkinkan anak desa yang tinggal di pinggir kali bisa jadi Presiden RI.

Sedangkan democide mengajarkan pengikutnya keselamatan akhirat dengan cara berkorban, tercerabut dari budaya nenek moyangnya, menolak dan membenci karya bangsa sendiri – mengabaikan keluarga, masyarakat dan bangsanya, bahkan masa depannya di dunia, untuk perang atau bunuh diri. Demi bidadari surga.

(Sumber: Facebook Supriyanto M)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed