by

Gubernur Termiskin VS Mal Milik Orang Terkaya

Sebagaimana Bung Karno yang menjalani tahanan rumah dan sakit-sakitan hingga ajal menjemput, seniman pelukis dan gubernur itu pun wafat mengenaskan pada 12 Desember 1991 di usia 70 tahun.
HENDRIK HERMANUS JOEL Ngantung merupakan putra dari pasangan Arnold Rori Ngantung dan Maria Magdalena Kalsun. Lahir 1 Maret 1921 di Manado.
Orang tuanya adalah pegawai pemerintah Belanda. Ia mulai melukis sejak usia 13 tahun, dan memperdalam ilmu melukisnya di tahun 1937 ketika ia menetap di Bandung, Jawa Barat.
Salah satu guru melukisnya adalah pelukis terkenal asal Austria, Rudolf Wengkart.
Kejeniusannya di bidang seni lukis dibuktikannya ketika menggelar pameran lukisan tunggal di Manado, tahun 1936, atau ketika ia berumur 15 tahun.
Pada 1904, Henk Ngantung hijrah ke Batavia atau Jakarta yang saat itu masih menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda. Di ibukota, Henk bergiat di Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi). Di sini pula, ia mulai berinteraksi dengan pelukis kenamaan, Sudjojono.
November 1946, Henk Ngantung menjadi salah satu pendiri Gelanggang Seniman Merdeka yang menghimpun kaum seniman Angkatan 45, termasuk Chairil Anwar, Baharuddin M.S., Mochtar Apin, Basuki Resobowo, Asrul Sani, dan lainnya.
Henk juga dikenal sebagai pelukis yang mengilustrasikan berbagai peristiwa sejarah penting di Republik ini dalam bentuk lukisan sketsa. Beberapa peristiwa sejarah tersebut antara lain Perundingan Linggarjati dan Perundingan Renville.
Sebagian lukisan sketsa bersejarah ini didokumentasikan dalam buku “Sketsa-Sketsa Henk Ngantung dari Masa ke Masa”, yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.
Karya lukisan Henk yang kebanyakan bernuansa realis menarik minat Bung Karno. Sampai-sampai Presiden pertama RI itupun menjadikan beberapa karya Henk sebagai bagian dari koleksi lukisannya.
Henk Ngantung bahkan membuat lukisan “Memanah” dengan Bung Karno sebagai modelnya. Dua karya ini menjadi koleksi Bung Karno.
Pada Agustus 1948, Henk Ngantung menggelar pameran di Gedung Taman Siswa Kemayoran & Hotel Des Indes di kawasan Harmonie – Jakarta.
Henk, dekat dengan kelompok kiri yang beraliran seni realisme. Saat itu berkembang jargon / semboyan, “Seni untuk Rakyat – bukan Seni untuk Seni”.
Henk Ngantung tercatat sebagai Sekretaris Umum Lekra, wadah kebudayaan yang disebut-sebut dekat dengan PKI. Ia juga menjabat salah Ketua Lembaga Seni Rupa (Lesrupa) yang merupakan bagian dari Lekra.
Menurut kesaksian Evelyn Mamesah isteri almarhum, “Bergabungnya pak Henk ke Lekra semata-mata karena kecintaannya terhadap seni, ” katanya.
Sedangkan Iwan Simatupang, sastrawan asal Sibolga yang pada masa itu mengambil sikap anti komunis, menganggap bergabungnya Henk ke Lekra karena persahabatan Henk dengan Njoto, tokoh PKI yang juga pendiri Lekra.
Kedekatannya dengan Bung Karno
mengantarkannya pada jabatan Ketua Seksi Dekorasi dalam Panitia Negara Penerimaan Kepala-Kepala Negara Asing pada tahun 1957.
Kiprahnya di bidang seni itu pula yang membuatnya memperoleh kepercayaan untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung mewakili Golongan Karya Seniman pada masa Demokrasi Terpimpin.
Pada tahun 1960, Henk dipilih oleh Bung Karno menjadi Wakil Gubernur (Wagub) mendampingi Gubernur DKI Jakarta ketika itu, Soemarno.
Saat Indonesia menjadi tuan rumah Asian Games 1962, Henk Ngantung ditugasi merancang karya berupa sketsa “Selamat Datang”. Sedangkan rekannya di Lekra, seniman Edhi Sunarso mewujudkannya sebagai karya patung di bunderan Hotel Indonesia lengkap dengan air mancurnya.
Pada puncak karirnya Henk Ngantung menjadi salah satu seniman papan atas tanah air yang dekat dengan Presiden. Henk Ngantung diangkat sebagai Gubernur Jakarta untuk menggantikan Soemarno yang naik jabatan menjadi Menteri Dalam Negeri.
Oleh Bung Karno, dengan latar belakang senimannya ia ditugasi menjadikan Jakarta sebagai “Kota Budaya”.
“Henk kota ini harus jadi Kota Internasional, harus lebih berbudaya ketimbang New York – yang kota PBB itu. Kota Djakarta akan aku jadikan kota dunia ‘Negara-Negara Kekuatan Baru, New Emerging Forces” begitu amanat Bung Karno.
Henk langsung menyusun ‘blue print’ kota Djakarta yang penuh dengan hasil karya seni di tiap sudutnya, Bung Karno dengan sigap menandatangani.
SAAT BUNG KARNO jatuh dia pun kena imbasnya. Jabatannya dicopot. Cap lekra dn PKI melekat padanya. Kehidupan Henk pun morat marit. Tak mendapatkan pesangon dan pensiun, mengalami krisis finansial yang cukup parah sehingga ia harus menjual rumahnya di Tanah Abang dan kemudian pindah ke perkampungan di Jl. Dewi Sartika, di kawasan Cawang – Jakarta Timur – yang masa itu masih pinggiran.
Henk melanjutkan hidup dan mencari nafkah dengan melukis meski digerogoti penyakit jantung dan glaukoma yang membuat mata kanan buta dan mata kiri hanya berfungsi 30 persen.
Pada akhir 1980-an, dia melukis dengan wajah nyaris melekat di kanvas dan harus dibantu kaca pembesar.
Henk Ngantung menjadi gubernur yang terlupakan, bersama mimpi Sukarno tentang pusat kota budaya dunia yang juga dilupakan.
Ibukota Jakarta menjelma menjadi kota kapitalis yang melahirkan banyak Konglomerat. Antara lain Budi Hartono yang salahsatu unit usahanya mencomot sketsa karya seniman dan gubernur termiskin di ibukota sebagai logo property malnya.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed