by

Golput Bego

 

Arif Budiman tidak memaksudkan Golput sebagai sesuatu yang bertujuan bagi kemenangan politik melainkan sebuah keniscayaan dalam mengutarakan pendapat. Ada atau tidak ada pemilu, kata Arif, keadaan tidak berubah: ABRI yang mengendalikan segala sesuatunya.

Angka Golput tertinggi tercatat pada pilpres 2009: 40%, lalu turun ke 24.89% pada pilpres 2014.

Sekarang, sejumlah begowan dan begowati sudah ngacung di beberapa wall sebagai golputers. Alasannya? Tidak puas pada Jokowi. Lebih tegas lagi: kecewa kepada kepemimpinan lelaki Solo itu.

Bedanya dengan golput 1971, mereka mengajukan tuntutan yang tidak ada hubungannya dengan pemilu 2019 mendatang, melainkan menyoal SP3 Rizieq, rehabilitasi Ahok, penurunan TDL dan beberapa yang lain. Semuanya ngaco bin mabok. Kalau tuntutan tersebut tak dipenuhi, mereka bakal golput.

Saya ngurut dada bagi kekacauan berpikir macam itu. Sekali lagi saya katakan, penalaran sebagian dari kita dangkal, rusak, dan berbahaya.

Jika Anda yakin kepada KPU dalam menyelenggarakan Pemilu 2019, Anda wajib datang ke bilik suara untuk memilih. Sebab memilih adalah tindakan paling arif dan efektif untuk mencegah yang terburuk naik ke panggung kekuasaan.

Lain halnya jika para golputers unyu dan pekok itu mengaku bahwa mereka adalah undecided voters. Kalau itu yang disebut, maka ancaman-ancaman di atas sahih untuk dikumandangkan. “Kalau elu gak kabulkan tuntutan gua maka gua gak akan pilih elu.”

Setelah itu beres, barulah kita ajak mereka siuman: “jadi elu mau milih yang lebih buruk dari Jokowi?”

Tapi itu hanya terjadi kalau mereka bisa membedakan antara Golput dan Undecided Voters. Kalau nggak, mereka cuma orang separuh baya unyu-unyu, saingannya ababil, yang lagi sakaw perhatian.

Negeri ini memang menakjubkan.

 

(Sumber: Facebook Sahat Siagian)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed