by

Golagokin Pakmus-Vaksin

Di Indonesia, berita yang terkena Covid-19 sudah mencapai ratusan ribu. Kini mendekati 1 juta. Sayangnya kita tak membaca dari sekian ratus ribu yang terkena, sekian ratus ribu pula sembuh. Sebelum vaksin yang digadang-gadang itu tiba. Artinya apa? Performance Indonesia berkait virus corona, tidak sangat buruk. Meski tampak lebih fokus dalam soal penanganan yang terdampak. Yang belum?
Yang belum justeru sering diabaikan, dan bukan fokusnya. Malah karena ketidakmampuan, atau terbatasnya kapasitas, ada istilah OTG (Orang Tanpa Gejala). Hadeh, tanpa gejala kok terkena, itu kalau bukan karena tak mampu, sebut saja penggunaan istilah secara serampangan.
Kucuran dana dari pemerintah, juga lebih fokus pada mereka yang terdampak ekonomi karena covid. Meski sistem dan mekanismenya rawan korupsi, dengan qua-accountability rendah. Setelah Kemensos, amati saja bagaimana Kemendes, Kemenaker, Kemkominfo, Kemendikbud, dan mereka yang obral bansos dalam berbagai bentuk dengan alasan pandemi.
Bangsa Indonesia, dengan heterogenitasnya, bangsa yang plural, hidup di negara tropis, dengan alam yang kaya dengan tumbuhan dan rempah, adalah sorga dunia. Karena sorga akhirat kita tidak tahu. Termasuk mereka yang suka mengkampanyekannya.
Dengan kondisi dan kekayaan alamnya, bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki daya imunitas tinggi. Meski hanya mengenal dua musim, bangsa Indonesia memiliki daya adaptasi luar biasa. Hal itu, langsung tidak langsung berpengaruh pada daya tahan dan daya imunitas kita, dari serangan virus corona.
Rakyat jelata yang secara ekonomi terkena dampak pandemi, karena survivalitasnya. Negara hanya otomatis menolong para punggawanya. Sementara bansos untuk rakyat swasta, malah dikorupsi. Tapi rakyat swasta ini mencari jalannya sendiri. Banyak umkm lahir, tumbuh, dan berkembang. Industri rumahan, seperti jejamuan atau yang disebut obat-herbal, meraja-lela. Banyak yang dulu bermasalah karena tak punya tempat, dan hanya kelas rumahan atau lokal, kini mereka tumbuh menasional dan menggobal, secara online. Akar bajaka dari suku Dayak saja, kini beriklan di youtube.
Pada sisi itu, ada yang perlu diperingatkan pada pemerintah. Perhatikan juga bagaimana penguatan sistem pertahanan tubuh manusia. Kekebalan tubuh atau daya imnunitasnya, selain prokes yang standar (pakai masker, cuci tangan, jaga jarak) itu. Kalau mengenai daya adaptasi, rakyat jelata dengan survivalitasnya, sangat terlatih dan mandiri. Manusia Indonesia sangat adaptif dan kreatif. Dan karenanya solutif.
Vaksin belum kita tahu kesaktiannya. Kita belum tahu pula sampai berapa lama pertarungan ini. Begitu juga adaptasi ‘new normal’ macam apa lagi yang mau dikampanyekan. Namun daya hidup itu selalu berkait gaya hidup. Gaya hidup macam apa, yang mesti kita lakukan dan selaraskan, itu masalahnya.
Sebelum dunia ribut soal virus corona, di Indonesia sudah tumbuh tradisi-tradisi prokes melalui jenis dan macam konsumsi kita. Makan tongseng saja, ada penangkalnya, sebelum ada suntik insuline. Ragam makanan dan minuman, banyak yang secara langsung tak langsung menumbuhkan daya imunitas tubuh kita. Sayangnya, lembaga macam IDI, BPOM, industri farmasi, MUI, tidak ramah dengan sektor ini. Pikiran sektoral, selalu menjadi penghambat. Ini belum kalau kita sodorkan soal daun ganja, ciu Solo dan Pati, bandrek Bandung, arak Bali, fermentasi beras merah Dayak, dan sebagainya, yang katanya haram.
Jika cuci tangan pakai sabun dianggap prokes yang ampuh, bisa mematikan virus, segala jejamuan dan produk rempah kita, dari berbagai penelitian ilmiah, memiliki kadar antiseptic lebih ampuh dari sabun. Kecuali kalau kita gemar nyabun mulu, maka kreativitas sering terbatas di kamar mandi doang. | @sunardianwirodono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed