by

GNPF MUI Rekonsiliasi dengan Presiden setelah Bangkrut

 

Merasa kekuatan bangkrut dan gagal mendorong dukungan masyarakat Islam untuk istilah kriminalisasi ulama untuk kasus esek-esek Rizieq FPI, GNPF MUI menggagas bertemu dengan Presiden Jokowi. Bahkan Yusril pun dijadikan garda depan untuk rekonsiliasi. Tetap tak mendapatkan sambutan dari Presiden Jokowi. Nah, momen Open House Idul Fitri Presiden Jokowi dimanfaatkan oleh GNPF MUI untuk pertemuan: tepat.

Pertemuan GNPF MUI menimbulkan aksi-reaksi baik dari kaum Bumi Datar maupun manusia waras. Kubu Bumi Datar berharap semua kasus hukum diintervensi oleh Presiden Jokowi. Buni Yani berteriak berharap kasusnya di-SP3-kan. GNPF MUI kegedean perasaan menginginkan rekonsiliasi. Mereka mengelu-elukan kebijakan ekonomi dan hukum Presiden Jokowi.

Tujuan tersembunyi mereka adalah terbebas dari hukuman kasus hukum yang membelit Bahtiar Nasir, Rizieq FPI, Khattath Gatot sampai biang keladi gonjang-ganjing Buni Yani – selain si kompor SBY yang memanas-manasi. (SBY sama sekali tak berteriak kasus penodaan Pancasila dan esek-esek Ririeq-Firza.)

Untuk menghadapi mereka, berbagai langkah strategis diambil oleh Presiden Jokowi. Presiden Jokowi pun memimpin kampanye Saya Pancasila, Saya Indonesia, sampai pembentukan lembaga kampanye Pancasila dan di sekolah perlu diajarkan mata pelajaran Pancasila. Itu antara lain. Yang belum dilakukan adalah mengatur khotib di mimbar khutbah agar tidak memromosikan radikalisme dan kampanye khilafah mengadu domba umat.

(Masalahnya, JK ada dalam posisi strategis ketua DMI (Dewan Masjid Indonesia) yang ketika kampanye menggunakan masjid-masjid di DKI dibiarkan – karena kepentingan politik sempit mendukung Aksa Mahmud dan Erwin Aksa. Untuk skala nasional 2019 akan sangat berbahaya jika dibiarkan. Ini tugas berat publik yang waras dan Presiden Jokowi, TNI,Polri, BIN dan lembaga penegak hukum.)

Presiden Jokowi pun paham tentang Masjid Istiqlal yang selama 6 bulan dikuasai oleh FPI dan Islam garis keras. Kini masjid Negara itu telah kembali ke pangkuan Islam moderat dengan simbol Quraish Shihab sebagai Khotib Sholat Ied. Tak lupa simbol politik dan hegemoni Presiden Jokowi terkait kekuasaan ditunjukkan dengan menggandeng JK untuk ikut sholat di Istiqlal, bukan di Masjid Al Azhar. Ini dilakukan oleh Presiden Jokowi dengan penuh perhitungan tentu. (Sementara itu kelompok Islam radikal masih menggunakan Masjid Agung Al Azhar sebagai basis pergerakan. Bahtiar Nasir masih ngompori dalam khotbah Idul Fitri di sana. Sungguh khas GNPF MUI.)

Dikembalikannya Masjid Istiqlal ke fungsi peribadatan dan kedaulatan negara, setelah MUI dirangkul erat dan diluruskan jalannya oleh Presiden Jokowi, membuat GNPF MUI kehilangan arah. Pembelaaan terhadap Rizieq FPI, atas nama rekonsiliasi, menemukan tembok di depannya. MUI dan Komnas HAM pun tidak melakukan endorsementkasus mesum, pornografi, esek-esek Rizieq – Firza Husein sebagai kriminalisasi ulama. Jalan buntu menghadang di depan.

Publik yang waras masih ingat sepak terjang yang disampaikan setelah GNPF MUI. Selama 6 bulan belakangan kelompok semprul itu mengatasnamakan Islam mencaci-maki, menghina, mengolok-olok, mengancam revolusi segala, seolah Presiden Jokowi akan dengan mudah dijatuhkan. Mengafirkan orang lain yang berbeda pendapat, menuduh PKI, antek asing, dominasi China, aseng, dst. digemborkan. Publik yang non waras terutama bumi datar terkecoh dengan fitnah mereka. Itu mereka lakukan dengan dana yang besar.

Penyebabnya adalah gelombang gerakan 212, sebelumnya 411 dan seterusnya adalah euphoria kebablasan. GNPF MUI dan Rizieq merasa bahwa mereka mampu berbuat apa saja dan atas nama radikalisme bisa membodohi semua orang, termasuk silent majority. (Alhasil silent majority bangkit bergerak melawan Islam radikal begitu kasus Ahok diputus pengadilan. Pertaruhan adalah soal intoleransi dan segregasi yang mengancam NKRI yang bhineka tunggal ika.)

Memang, tak salah sangkaan di permukaan mereka. Sebagian para pentolan partai yang salah perhitungan tampak mendukung mereka. Amien Rais, Prabowo, Fahri Hamzah, Fadli Zon dan bahkan GNPF MUI digunakan sebagai corong alat kampanye Anies-Sandi di Pilkada DKI, dengan ayat dan mayat sebagai topik utama; bukan program dan rencana kerja.

Di balik diamnya Presiden Jokowi, sesungguhnya lebih tepat disebut sebagai pemetaan. Presiden Jokowi menghitung dan mencatat siapa lawan siapa kawan, secara telanjang. Semua terbuka kedok mereka. Para tersangka pengkhianat bangsa pun yang berusaha makar ditangkapi. Yang sebelumnya belum muncul secara telanjang, jadi kelihatan nyata. Kini mereka clep klakep tak ada bunyi, tiada suara.

Tak ada lagi suara Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, bahkan suara KIvlan Zein, Bintang Pamungkas, Rachmawati, semua dibungkam tanpa suara. (Bahkan lebih jauh Muhammad Riza Chalid pun tak tentu rimbanya, dan tenggelam dengan uang bejibunnya. Dalam kasus Papa Minta Saham hanya Setya Novanto yang terselamatkan, politik-hukum dan hukum-politik zig-zag Presiden Jokowi yang mencengangkan dan mematikan.)

Lewat aksi 212 dan 411 – yang dianggap dan dijadikan momen angka asyik oleh gerakan Islam radikal yang dimotori oleh GNPF MUI – para penganut khilafah keluar kandang. Kelompok Islam radikal keluar dari persembunyian. Pun organisasi yang condong ke arah Wahabi dan Islam garis keras ketahuan. Pemetaan yang dilakuan oleh Presiden Jokowi dan the Operators pun berjalan sempurna.

Setelah Rizieq terasingkan sendiri, sampai meninggal dunia di Arab Saudi pun Indonesia tak akan rugi, gerakan GNPF MUI disuruh Rizieq FPI untuk rekonsiliasi. Momen curian untuk menemui Presiden Jokowi pun didapatkan: saat Open House halal bi halal, dengan menodong Menteri Pratikno. Kekhawatiran pendukung Presiden Jokowi yang tak rela rekonsiliasi pun teredam oleh catatan kelihaian berpolitik Presiden Jokowi – karena Presiden Jokowi bukanlah seorang politikus, namun pemimpin yang memiliki jiwa kenegarawana dan bukan ayam sayur.

Sikap GNPF MUI ini bertolak belakang dengan kejumawaan mereka ketika pelintiran kasus Ahok berhasil mengecoh kalangan Islam. Euforia kebablasan itu menemukan titik tertingginya ketika mereka berani mengancam revolusi segala. Hal yang ditertawakan oleh publik yang masih waras. Mereka lupa silent majority bergerak merapatkan diri karena ancaman gerakan intoleransi yang dikampanyekan kaum Islam radikal bahkan khilafah telah membahayakan kehidupan berbangsa dan bernegara dalam NKRI dan Pancasila.

(Kampanye Saya Pancasila dan Saya Indonesia oleh Presiden Jokowi mendapatkan sambutan untuk melawan Islam radikal dan khilafah serta Wahabi yang anti Pancasila. Muncul Mafindo, Seribu Lilin, Forum Demokrasi Pancasila, Standing for NKRI, GNAF, dan aneka grup lain yang Pancasilais dan membela NKRI. Gerakan menggandeng kelompok Islam moderat dan Islam Nusantara menemukan momentumnya; NU, GP Anshor, Banser, unsur Muhammadiyah moderat pun dirangkul masyarakat. Presiden Jokowi pun menantang di mana gerakan PKI, pasti Presiden Jokowi akan menggebuk.)

Bahkan pertemuan GNPF MUI dengan Presiden Jokowi diyakini jadi akhir kisah titik awal amruknya gerakan Islam radikal. Akhir kisah Rizieq FPI. Akhir kisah Khattath Gatot. Akhir kisah Bahtiar Nasir. Akhir kisah GNPF MUI. Publik tahu GNPF MUI adalah perwujudan dari gerakan Islam radikal. Sikap dan cara mereka bertindak pun menghalalkan segala cara. Bagi mereka memelintir, mengafirkan, menolak pluralisme, intoleran, mengancam Presiden Jokowi dan pemerintah adalah hanya cara. Bahkan salah satu simpatisan mereka adalah HTI yang jelas anti Pancasila dan NKRI. Mereka menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuan mereka.

Jadi di tengah analisis kebangkrutan GNPF MUI sebagai motor gerakan Islam radikal, publik yang masih waras dan mencintai NKRI dan pemimpin benar, kepemimpinan nasional yang membela NKRI, harus tetap waspada.

Publik harus tetap bergerak dan tetap harus melawan Islam radikal, melawan gerakan intoleransi, melawan politik ayat dan mayat yang dimotori dan dikampanyekan oleh Eep lewat masjid-masjid – yang bahkan JK membiarkannya. Ini peringatan. Habisnya nama GNPF MUI pun tak akan menghapus upaya mereka merongrong persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia.

Jika kendor, maka segala strategi Presiden Jokowi menjaga NKRI, akan berantakan. Islam radikal akan merajalela seperti kasus Pilkada 2017. Publik harus ingat bahwa akhir tujuan setiap gerakan publik waras adalah menjaga kepempimpinan nasional yang waras. Dan kepemimpinan nasional yang waras ada dalam diri Presiden Jokowi. Maka menjadi pertaruhan 2019 ketika publik yang waras, dengan Presiden Jokowi sebagai capresnya, akan berhadapan dengan kelompok yang bisa jadi seperti Pilkada DKI 2017 lalu. Salam bahagia ala saya.

 
(Sumber: Seword)

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed