by

Gibran dan Kaesang

 

Oleh: Denny Siregar

Sama seperti Iwan Fals, saya juga tidak tahan untuk tidak komentar soal godaan Kaesang dan Gibran kepada bapaknya Jokowi meski awalnya saya tahan-tahan. Kaesang dan Gibran sadar sesadarnya bahwa mereka sekarang sedang menjadi pusat perhatian. Apa pun yang mereka katakan di medsos akan menjadi perbincangan luas.

Hanya, mereka memainkannya dengan cantik sekali. Ibarat permainan bola, mereka memainkan konsep tiki-taka atau saling oper pendek tetapi dinamis. Dan mereka tidak jaim, tidak over-acting dan tidak kaku. Memang begitu gaya mereka, seperti di rumah.

Mereka sangat paham kekuatan media sosial, sebagai kekuatan besar untuk mengadang langkah-langkah lawan yang selalu menyerang. Dan mereka bereaksi dengan natural, sebagai insting saling melindungi di dalam keluarga.

Tentu dengan gaya mereka, yang sebenarnya adalah cerminan dari gaya kita juga. Gaya komunikasi keluarga yang santai tapi tidak menghilangkan rasa hormat. Gaya bertutur dan humor yang halus, penuh percaya diri bahwa, masing-masing akan menanggapinya dengan senyum manis dan tanpa beban.

Tapi ada juga yang menanggapinya dengan gagal paham. Buat mereka itu kurang ajar mengejek bapaknya yang seorang Presiden sebagai ‘kecebong’.

Lucu memang, tapi saya mencoba memahami mereka yang tidak terbiasa dengan gaya begitu karena mereka dulu anak yang harus tunduk kaku di depan orangtuanya yang kolot dan selalu minta dihormati. Mereka terbiasa dengan bentakan, dan kurang kasih sayang. Jadi begitulah kenapa mereka heran. Mungkin dulunya mereka selalu sarapan dengan ban dalam.

Apa pun itu, inilah contoh marketing komunikasi yang sulit dilawan oleh calon lawan politik Jokowi ke depan. Sebuah riak kontroversial sehat yang dibangun, dan terus dijaga supaya nama Jokowi tetap diperbincangkan dalam kondisi apa pun.

Kehangatan mereka yang natural mirip keakraban antara Gus Dur dan Inayah wahid, anak bungsunya. Mereka menunjukkan kesamaan slengean tanpa protokoler. Tidak perlu jaim, apa adanya. Kalau ada apanya, tentu Kaesang dan Gibran dipaksa untuk selalu berlengan panjang, tanam pohon di senayan meski kebakarannya di kalimantan dan tampil di dengan bahasa tubuh yang diatur di televisi dengan gaya ditegas-tegaskan, “I want kecebong back.”

Eh, kok mirip seseorang. Kita sebut saja si Mawar. Sambil minum kopi saya kok jadi inget, inisial mawar itu kan selalu menjadi korban yang diperkosa ya.

 

Sumber: dennysiregar.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed