Masjid medan tempur, sahkah?
Dalam takaran teoligis, kefanaan dunia sebagaimana disampaikan para pemuka agama, membawa dampak keyakinan fatalistik dalam melihat dunia. Bahwa kehidupan dunia hanyalah objek permainan belaka dan tak perlu dipusing-pusingkan amat. Toh, nyatanya kegemerlapan dunia tidak dibawa mati.
Kalau seperti itu, mengapa perkara penistaan agama yang disangkakan tidak selesai diputusan lembaga keagamaan yang memadai. Toh, kekuasaan lebih-lebih politik tak ubahnya bagian “dunia permainan”. Bukankah politik adalah seni dalam segala kemungkinan. Eith, tunggu dulu permainan boleh permainan, tapi tidak akan asik dilihat jika permainan berhenti tengah jalan. Nggak asik donk. Betul, betul, betul!
Kenyataan seperti inilah yang kurang disadari umat islam Indonesia sebagai mayoritas. Muncul gerakan #savemasjidkita sah-sah saja karena hal ini bagian dari proses peperangan sebenarnya, sebuah permainan besar “perebutan kekuasaan”.
Penguatan gerakan agama (baca: politik agamis) dengan mendasarkan pada kitab suci, surat At-Taubah ayat 84, yang secara asbabun nuzul menghukum si munafik agar tidak disholatkan seperti Abdullah bin Ubay benar adanya. Siapa pun bisa berbuat seperti itu atas dasar kepentingan politik.
Realitas politik mengamini hal di atas. Mencari dalil legitimasi yang paling kuat untuk menarik konstituen politik disahkan, tak kecuali mendorong agama untuk misi penguat politik. Kemenangan adalah harga mati dan jalan satu-satunya. Dengan kemenangan tujuan perjuangan yang diniatkan bisa direalisasikan.
Jika ini murni ranah ajaran agama Islam yang diperdebatkan, gerakan ini takkan berumur lama. Siapa pun akan mencari dalil penguat mazhab kebenarannya. Apalagi mengusik rasa keimanan seseorang. Dan pasti, dalil agama memberikan berbagai alternatif yang meringankan umatnya, tidak sekolot dan sesaklek pemahaman tektualis tersebut. Perang tafsir pun tak terhentikan, ujung-ujungnya membenarkan pendapatnya sendiri-sendiri.
Untuk itu, jika ini murni nuansa politik mari kita arahkan ke politik pada rule-nya. Jika medan tempur di tempatkan di masjid jangan didiskriditkan jika lawan politik pun juga menggunakan medan politik yang sama.
Satu masjid bisa beribu wajah, bak pasar yang menjajahkan dagangan, masjid juga memiliki kegunaannya yang beragam. Karena masjid merupakan manifestasi kebudayaan dan sosial, mosque as culture and society.
Pertama, masjid dan tempat ibadah lainnya diyakini sebagai rumah tuhan. Segala bentuk pendekatan diri manusia pada penciptanya ditempatkan di sini. Maka, beragam manusia dengan beragam identitas baik suku, ras maupun agama berhak atas misi pendekatan rohani kepada tuhan tersebut. Maka kontestasi politik berlatar muslim-nonmuslim, tidak jadi pembatas untuk menjadikan masjid sebagai tempat pendekatan pada tuhan.
Kedua, masjid adalah tempat ibadah. Dengan begitu umat seagama dengan nilai keimanan yang dimiliki, entah pencuri, pendusta, koruptor, pezina tidak boleh dibatasi untuk menunaikan peribadatannya. Apalagi yang sudah mati menuntut disalati menurut identitas agamanya. Maka perbedaan pilihan politik tidak menghalangi akses seorang muslim menuntut haknya pada muslim yang lain.
Ketiga, dan mungkin di sini pembenaran perilaku politik dilakukan di masjid adalah sebagai tempat sosial-kemasyarakatan, muamalah. Maka sering kita jumpai perayaan kurban, zakat, penampungan korban banjir, pendidikan dan lain-lain ditempatkan di masjid. Apa lagi politik yang bagian terpenting pembentuk pemerintahan, butuh memahamkan masyarakat/konstituen niatan calon pemimpin yang bersinergi dengan tujuan agama.
Mengakhiri tulisan ini, penulis mengutip strategi perang ke-19 tokoh peperangan Cina Sun Ztu, berbunyi; “Jauhkan kayu bakar dari tungku masak. Lepaskan pegangan kayu dari kapaknya.” Dengan maksud, ketika berhadapan dengan musuh yang sangat kuat, untuk melemahkannya runtuhkan dulu dasarnya dan menyeranglah sumberdayanya.
Jika genderang perang ini ditabuh di pusat peradaban Islam, Masjid. maka, siap-siaplah keruntuhan nilai peradaban itu. Camkan bersama.**
Sumber : qureta
Comment