by

Gaj Ahmada dan Kematian Ilmu Pengetahuan

Di sini, saya mulai mengerti bahwa di era media sosial ini ternyata banyak temuan baru dalam dunia ilmu pengetahuan. Yang lebih menarik, temuan itu dilakukan tidak melalui verifikasi dan pembuktian melalui perdebatan di forum akademik ataupun jurnal-jurnal ilmiah internasional, yang sebelumnya didapatkan melalui proses riset yang panjang. Pengetahuan ilmiah itu dapatkan dan dibuktikan dengan perasaan dan bukti keberagamaan yang kuat bahwa ada yang salah dengan bukti sejarah dan ilmiah saat ini.

Tidak heran, saya akhirnya mengetahui bahwa Borobudur itu temuan dari Nabi Sulaeman. Bumi itu datar. Vaksin itu konspirasi Yahudi, yang mengandung elemen babi. Di sisi lain, vaksin tidak ada era Nabi Muhammad. Lebih keren lagi adanya temuan mesin tes DNA yang dapat membuktikan untuk mengetahui apakah orang itu berideologi Komunis atau bukan. Temuan-temuan tersebut merupakan pembuktian terbaik di abad ini karena telah mematahkan argumen dunia internasional. Jika saja, temuan-temuan itu dituliskan ke dalam bahasa Inggris dan kemudian dijadikan viral oleh celebritis media sosial, saya dengan sangat yakin (haqqul yakin), putera-puteri terbaik Indonesia akan mendapatkan hadiah Nobel.

Ya, inilah era kematian pakar. Semua orang bisa disebut peneliti dan ahli di bidang tertentu hanya dengan menggenggam telepon genggam pintar dengan menggunakan teori gotak-gatuk dengan memegang konspirasi sebagai alat satu-satunya metodologi. Tidak penting berapa banyak buku yang dibaca dan sejauhmana ketelatenan itu bisa dibuktikan dengan temuan-temuan empirik dengan melakukan perbandingan dengan studi-studi terdahulu. Yang terpenting dari itu semua adalah menggunakan perasaan dan keyakinan keagamaan yang kuat sebagai fondasi utama. Bukti, dalil, dan riset itu bisa diajukan belakangan.

 

(Sumber: Facebook Wahyudi Akmaliah)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed