by

The Forbidden to Question Ummah

 

Mempertanyakan atau mengritik pendapat ustadz dan pemuka agama sama dengan tersesat akidahnya dan hal ini akan menyebabkan mereka jatuh dalam kekafiran. Dan ini berlaku semakin kencang dan semakin massif saja di negara-negara Islam. Tak heran jika umat Islam di seluruh dunia semakin sulit untuk mengejar ketertinggalan mereka dalam segala hal yang membutuhkan kemampuan berpikir. Akal mereka dengan sengaja dan terstruktur dipasung oleh para guru-guru agama dan pemuka agama mereka sendiri. Umat Islam berhenti berpikir dan tidak mampu lagi menghasilkan pemikiran-pemikiran baru yang inovatif dan kreatif dan dipaksa untuk mengikuti saja pemikiran jumud para ustadz-ustadz mereka yang kebanyakan sebenarnya bukanlah pemikir. Kebanyakan dari para ulama mereka hanyalah para penghapal kitab-kitab secara tekstualis yang tidak memiliki kemampuan berinovasi apalagi menghasilkan pemikiran yang sesuai dan mengikuti zaman.

Ketinggalan zaman umat Islam tidak tanggung-tanggung. Ketika umat lain telah meneliti berbagai macam jenis pengobatan dengan teknologi nuklir dan nano yang canggih, umat Islam justru diajak untuk kembali ke Abad 7 dengan minum air kencing onta. Ketika teknologi pengobatan dengan sistem vaksin telah begitu maju dan berhasilnya, muncul ustadz yang tidak pernah belajar tentang medis yang tiba-tiba menjatuhkan fatwa makruhnya (yang kemudian berkembang menjadi haram) penggunaan vaksin untuk mencegah penyakit.

Sampai sekarang para ulama yang bahkan tidak pernah belajar tentang masalah keuangan dan ekonomi dengan gagah dan yakinnya mengharamkan praktek perbankan secara umum dan juga asuransi. Mereka bahkan tidak segan-segan mengharamkan perbankan syariah sekali pun. Munculnya para ustadz dengan kemampuan bisa memberi fatwa segala macam urusan semakin menggejala dan umat yang memang sudah terpasung kemampuan berpikirnya dan memang diharamkan untuk berpikir akhirnya lebih tunduk pada ustadz segala ilmu tersebut ketimbang mendengarkan para ahli yang memang benar-benar kompeten di bidangnya. Padahal bukankah ulama itu berarti orang-orang yang benar-benar alim atau memiliki ilmu di bidangnya masing-masing? Lalu mengapa umat Islam lebih mengikuti pendapat seorang ustadz yang tidak pernah belajar tentang medis atau pun keuangan untuk hal-hal tentang kesehatan dan perbankan? Mengapa para ustadz yang tidak pernah belajar tentang medis dan keuangan tiba-tiba dengan gagah dan penuh keyakinan mengajak umat untuk mendengarkan pendapatnya dan bukannya mengarahkan mereka untuk mendengar para ahli di bidangnya masing-masing?

Islam pernah mengalami masa kejayaan selama 500 tahun ketika para ilmuwan Islam bermunculan dengan berbagai bidang ilmu pengetahuan yang mereka miliki. Berdasarkan sejarah Zaman Kejayaan Islam (sek. 750 M – 1258 M) adalah masa ketika para filsuf, ilmuwan, dan insinyur di dunia Islam menghasilkan banyak pemikiran dan ilmu-ilmu baru dan memberikan kontribusi terhadap perkembangan teknologi dan kebudayaan. Mereka mengembangkan tradisi ilmiah pada semua ilmu pengetahuan dan bukan hanya pada ilmu agama dengan menjaga tradisi yang telah ada ataupun dengan menambahkan penemuan dan inovasi mereka sendiri. Para saintis Islam menguasai panggung dunia pada abad tersebut berkat tradisi dan budaya ilmiah yang mereka kembangkan. Beberapa nama saintis muslim yang sangat popular adalah Al-Khawarismi, Ibnu Sina, Abu Haytham, Al-Kindi, Al-Jazari, Ar-Razi, Al-Biruni, Abu Musa Jabir bin Hayyan, Ibnu Rushd, dll. Saat ini hampir tak ada lagi ilmuwan dari negara Islam yang mampu bersaing dengan para ilmuwan dari negara ‘kafir’.

Hal yang selalu membuat saya sedih adalah ironi bahwa sebenarnya Islam adalah agama yang paling rasional dan mewajibkan umatnya untuk selalu berpikir, merenungkan segala macam fenomena alam, bersikap kritis, dan bahkan agama yang paling demokratis. Perintah pertama bagi umat Islam adalah membaca dengan tujuan agar menjadikan manusia berubah dari kondisi tidak tahu menjadi tahu (allamal insana maalam ya’lam) yang artinya belajar dan belajar. Artinya pendidikan, yang bertujuan untuk menjadikan seseorang menjadi berilmu, adalah perintah paling utama dalam ajaran Islam.

Bersikap kritis dan mempertanyakan sesuatu kepada guru dan ulama bukanlah sesuatu hal yang terlarang apalagi diharamkan. Bukankah malaikat pun yang begitu patuh pada Tuhan juga pernah mempertanyakan mengapa Tuhan menciptakan Adam dan dijawab oleh Tuhan dengan sangat baik? Jika Tuhan saja pernah ‘digugat’ dan dipertanyakan kebijakannya oleh para malaikat yang tugasnya adalah mematuhi dan melaksanakan perintah Tuhan lantas mengapa para ustadz dan pemuka agama begitu alergi jika mendapatkan pertanyaan dan sikap kritis dari para para santrinya?

Saat ini umat Islam hanya didorong untuk menjadi penghapal teks belaka dan tidak didorong untuk menjadi pemilik ilmu. Para santri kebanyakan hanya didorong untuk menghapal Alquran dan hadist dan bukan untuk memahami ayat dan konteksnya. Padahal menghapal Alquran dan hadist bukanlah tujuan tapi sekedar cara. Tapi cara ini sekarang dijadikan tujuan dan umat Islam kehilangan esensi dari beriqra’yang bertujuan agar terjadi perubahan mental dari tidak tahu menjadi tahu (allamal insana maalam ya’lam). Itulah sebabnya mengapa umat Islam yang memilki berbagai ajaran mulia seperti kebersihan, kedisiplinan, kebermanfaatan, dan lain-lain justru sekarang menjadi umat yang tidak paham tentang apa itu kebersihan, apa itu disiplin, apa itu melindungi umat lain, dll.

Satu hal lagi adalah begitu sensitifnya umat Islam pada kritik. Saat ini memberikan pendapat seperti yang saya tulis ini akan mendapatkan ‘ganjaran’ pertanyaan yang sangat sering dilontarkan yaitu :

“Anda muslim…?!”

“Situ waras…?!”

Jadi sebelum ditanya demikian sebaiknya saya sampaikan bahwa Alhamdulillah saya seorang muslim dan dalam keadaan waras. Saya justru ingin mengajak saudara-saudara muslim saya yang lain yang mungkin sedang sakit agar ikut waras. 

 

(Sumber: Facebook Satria Dharma)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed