by

Fitnah : Rahmat Atau Laknat?

“Biar saja saya difitnah. Kalau mau naik kelas memang harus melalui tahapan ini. Bahkan, kalau mau jadi wali fitnahnya semakin keras”, katanya dalam perbincangan sebuah WAG.

Saya tidak tahu, apakah fitnah itu menjadi rahmat atau laknat? Semoga menjadi rahmat bagi yang difitnah dan menjadi laknat bagi yang menfitnah. Kalau soal keimanan dan keislaman ulama-ulama NU gak usah diragukan.

Kalau Anda mengatakan NU mau merevisi iman hanya karena ajakan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara untuk tidak menyebut non-muslim sebagai kafir, jalas itu tuduhan ngawur. Yang dibahas ulama-ulama NU bukan soal teologi. Mengapa? Karena soal teologi sudah tidak ada yang perlu dibicarakan. Sudah muttafaq alaih. Yg dibahas adalah statusnya sebagai warga negara.

Saya tahu, meskipun sudah dijelaskan, para penfitnah NU tetap tidak mau paham, karena pahamnya terhadap NU memang sudah begitu dari oroknya. Yang aneh justru orang NU –bahkan pengurus NU–yang ikut-ikutan terlarut dalam semburan fitnah yang ditiupkan para pembenci NU. Mereka menari dalam musik yang ditabuh para pembenci NU.

Teruslah engkau fitnah NU. Bersekutulah dengan aktivis-aktivis HTI (alm) yang kebenciannya pada NU sampai ke ubun-ubun. Karena NU-lah aktor penting di balik pembubaran HTI. Bahkan, untuk melawan NU sekarang ini, kabarnya mereka akan ikut mencoblos dalam pilpres, padahal ikut pemilu selama ini mereka haramkan. Mungkin eks HTI menganggap sekarang ini dalam kondiri darurat, sehingga boleh melakukan hal yang mereka haramkan sebelumnya. Terserah!

NU sudah biasa difitnah, dan biasanya orang-orang yang menfitnah NU akan bergelimpangan sendiri.

Bagaimana dengan fitnah kepada Abdul Moqsith Ghazali? Dia pasti menikmati. Bukan karena menaikkan popularitas, tapi bisa mempercepat menjadi wali seperti yang dicita-citakan…… Kalau yang terakhir ini jangan diatanggapi serius.

Ciputat, 4 Maret 2019

Rumadi Ahmad

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed