by

Fiqh Pendiri Muhammadiyah Disalahkan Pengikutnya

Muhammadiyah selalu terbuka dan terus berkembang, termasuk dalam hal keputusan Tarjih. Hal ini karena dalam penentuan sebuah keputusan Tarjih diambil dengan cara mencari yang paling kuat dasarnya, bahkan bisa terjadi tidak sejalan dengan praktik yang dilakukan pendirinya, Kyai Haji Ahmad Dahlan. Demikian dikatakan Dr. Yunahar Ilyas ditengah Pengajian Mahasiswa, kamis (7/02/2008) di Kantor PP Muhammadiyah, Jl Cik Di Tiro Yogyakarta.

Menurut Ketua PP Muhammadiyah , Kyai Haji Ahmad Dahlan pada masa hidupnya banyak menganut fiqh mahzab Syafi’i, termasuk mengamalkan qunut dalam shalat subuh dan shalat tarawih 23 rakaat. Namun, setelah berdiriya Majelis Tarjih pada masa kepemimpinan Kyai Haji Mas Mansyur, terjadilah revisi –revisi setelah melakukan kajian mendalam, termasuk keluarnya Putusan Tarjih yang menuntunkan tidak dipraktikkannya do’a qunut di dalam shalat subuh dan jumlah rakaat shalat tarawih yag sebelas rakat. “ Ini wujud keterbukaan Muhammadiyah yang tidak fanatik” tegas Yunahar. “Karena ini Muhammadiyah bukan Dahlaniyah” ungkapnya setengah berkelakar.
****** akhir kutipan ******

Begitupula berikut kutipan tulisan yang berjudul “Kitab Fiqh Muhammadiyah karya KH Ahmad Dahlun tahun 1925” dari http://www.fiqhmenjawab.net/…/kitab-fiqh-muhammadiyah-kary…/

***** awal kutipan ******
BUKU KITAB FIQH JILID TELU, yang dikarang dan diterbitkan oleh MUHAMMADIYYAH bagian TAMAN PUSTAKA Djokjakarta, terbit tahun 1343 Hijriyyah.

Setelah membaca buku tersebut…. DAPAT DISIMPULKAN antara NU dan Muhammadiyyah, dari sisi amaliyahnya itu dulunya sama. antara lain : 1. bacaan iftitah, 2. sholawat yang menggunakan SAYYIDINA, 3. dzikir setelah sholat, DLL

1. Dalam bab WACAN SHOLAT LAN MA’NANE halaman 25, bacaan IFTITAH-nya KABIROWWALHAMDULILLAHI KATSIRO…. bukan ALLOHUMMA BAA’ID….

2. Pada halaman 26 Fatihah menggunakan BASMALAH….

3. Dalam halaman 29, sholawat yang dibaca dalam tahiyyat menggunakan SAYYIDINA

Semua itu dipertegas dalam BAB PIRANGANE RUKUNE SHOLAT halaman 31-33. kecuali masalah sholawat. di bab ini dijelaskan sholawat adalah allohumma sholli ‘ala Muhammad. hemat saya, penjelasan itu sekedar menunjukkan bahwa bacaan sholawat itu cukup dengan ALLOHUMMA SHOLLI ‘ALAA MUHAMMAD, bukan membid’ahkan sayyidina….

Dipertegas lagi dalam rukun hutbah halaman 57, membaca sholawat menggunakan sayyidina.

4. Di halaman 27 dijelaskan adanya QUNUT dengan Doa ALLOHUMMAHDINII…..

5. Halaman 57 khutbah jum’at, dua kali.

6. Dzikir ba’da sholat pada halaman 40-42, dengan bacaan sbb:

– astaghfirullohah adziim alladzii paar ilaaha illa huwal hayyul qoyyuum waatuubu ilaiih… 3 Kali
– allohumma antassalam…. 3 Kali
– subhaanalloh 33 Kali
– allohu Akbar 33 Kali
– alhamdulillah 33 kali
***** akhir kutipan ******

Namun setelah berdiriya Majelis Tarjih, organisasi kemasyarakatan (ormas) Muhammadiyah tidak lagi mengikuti apa yang telah diteladani oleh pendirinya Kyai Haji Ahmad Dahlan.

Sehingga mereka dapat terjerumus menjadi sebuah firqah dalam Islam karena mereka menetapkan untuk mengikuti pemahaman seseorang atau pemahaman sebuah majlis dari kelompok tersebut terhadap Al Qur’an dan Hadits namun mereka tidak berkompetensi sebagai ahli istidlal apalagi sebagai imam mujtahid mutlak atau mufti mustaqil.

Para mufti atau para fuqaha yakni para ulama yang faqih (ahli fiqih) dalam berfatwa atau berkompeten dalam menggali hukum dari Al Qur’an dan Hadits selalu merujuk kepada pendapat Imam Mazhab yang empat sehingga kita kenal dengan mufti mazhab dari kalangan empat mazhab

Bahkan salah satu pendukung majelis tarjih, dengan sombongnya mengatakan bahwa pakar-pakar ilmu hadits di Muhammadiyah telah menunjukkan hadits-hadits yang meralat kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu.

Mereka dengan sombongnya mengatakan bahwa Kyai maupun Imam Mazhab yang empat bukanlah patokan namun yang menjadi patokan adalah Al Qur’an dan Hadits, sumber yang juga dipakai oleh para imam-imam mazhab.

Mereka menambahkan bahwa terlebih imam-imam Mazhab tidak mengikat dan tidak pernah menuntut pengikutnya untuk mengikutinya.

Mereka mengatakan bahwa tidak pernah ada keterangan dari Al Quran dan Hadits kalau tidak mengikuti mazhab adalah sesat sebagaimana yang mereka uraikan panjang lebar pada http://kudapanule.wordpress.com/…/pelecehan-sejarah-dan-ta…/

Jadi karena mereka tidak mau lagi bermazhab dengan Imam Mazhab yang mumpuni sehingga mereka menyalahkan kebiasaan-kebiasaan yang dahulu dilakukan oleh KH Ahmad Dahlan karena mereka sekarang tampaknya pengikut MAZHAB OTODIDAK yang menemukan, membaca dan menterjemahkan hadits-hadits shahih secara dzahir sehingga dapat “meralat” kesalahan KH Ahmad Dahlan masa lalu.

Akibat lain dari MAZHAB OTODIDAK dapat dibaca tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/akibat-bermazhab-otodi…/ dan tulisan pada http://mutiarazuhud.wordpress.com/…/menemukan-hadits-shahih/

Contohnya qunut Subuh yang biasa diamalkan oleh KH Ahmad Dahlan mereka salahkan karena mereka menemukan, membaca dan menterjemahkan hadits shahih secara dzahir seperti,

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Al Mutsanna telah menceritakan kepada kami Abdurrahman telah menceritakan kepada kami Hisyam dari Qatadah dari Anas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melakukan doa qunut (melaknat) selama sebulan, beliau mendo’akan kebinasaan terhadap sejumlah penduduk dusun arab, setelah itu beliau meninggalkannya. (HR Muslim 1092)

Hadits tersebut kita akui sebagi hadits yang sahih dan terdapat dalam kitab Bukhari dan Muslim. Akan tetapi yang menjadi permasalahan sekarang adalah kata “thumma tarakahu” tidak cukup dipahami dengan arti bahasa saja yakni “setelah itu beliau meninggalkannya”

Apakah yang ditinggalkan oleh Nabi itu ?

Untuk menjawab permasalahan ini marilah kita perhatikan baik-baik penjelasan para ulama sebagai berikut,

Imam Baihaqi meriwayatkan dan Abdur Rahman bin Madiyyil, bahwasanya beliau berkata, maksudnya: “Hanyalah yang ditinggalkan oleh Nabi itu adalah melaknat.” Tambahan lagi pentafsiran seperti ini dijelaskan oleh riwayat Abu Hurairah ra yang berbunyi, maksudnya: “Kemudian Nabi menghentikan doa kecelakaan ke atas mereka.”Dengan demikian dapatlah dibuat kesimpulan bahwa qunut Nabi yang satu bulan itu adalah qunut nazilah dan qunut inilah yg ditinggalkan, bukan qunut pada waktu sholat subuh.

Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ jld.3, hlm.505 maksudnya: “Adapun jawaban terhadap hadits Anas dan Abi Hurairah r.a dalam ucapannya dengan (thumma tarakahu) maka maksudnya adalah meninggalkan doa melaknat kepada orang-orang kafir itu saja. Bukan meninggalkan seluruh qunut atau meninggalkan qunut pada selain subuh. Pentafsiran seperti ini mesti dilakukan karena hadits Anas di kesempatan yang lain adalah ’senantiasa Nabi qunut di dalam solat subuh sehingga beliau meninggal dunia’ adalah shahih lagi jelas maka wajiblah menggabungkan di antara kedua-duanya.”

Jadi para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan metode penggabungan dua dalil atau lebih (thariqatul-jam’i) bila ada dalil-dalil yang sama shahihnya, tetapi secara dzhahir nampak agak bertentangan yakni “meninggalkan qunut” dengan “senantiasa Nabi qunut di dalam sholat subuh sehingga beliau meninggal dunia”

Kemudian para fuqaha (ahli fiqih) menggunakan salah satu kaidah ushul fiqih yakni

المثبت مقدم على النافى

Artinya: “ Yang menetapkan ada didahulukan atas yang meniadakan “

Dari Abi Hurairah ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bila bangun dari ruku’-nya pada shalat shubuh di rakaat kedua, beliau mengangkat kedua tanggannya dan berdoa: Allahummahdini fii man hadait…dan seterusnya.” (HR Al-Hakim dan dishahihkan)

Dari Ibnu Abbas ra. berkata bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengajari kami doa untuk dibaca dalam qunut pada shalat shubuh. (HR Al-Baihaqi)

Dengan adanya beberapa hadits ini, maka para ulama salaf seperti Imam Asy-Syafi’i, Al-Qasim, Zaid bin Ali dan lainnya mengatakan bahwa melakukan doa qunut pada shalat shubuh adalah sunnah.

Tersebut dalam Al majmu’ syarah muhazzab jilid III/504 sebagai berikut :“Dalam madzab Imam Syafi’i disunnatkan qunut pada waktu shalat subuh baik ketika turun bencana atau tidak. Dengan hukum inilah berpegang mayoritas ulama salaf dan orang-orang yang sesudah mereka. Dan diantara yang berpendapat demikian adalah Abu Bakar as-shidiq, Umar bin Khattab, Utsman bin affan, Ali bin abi thalib, Ibnu abbas, Barra’ bin Azib – semoga Allah meridhoi mereka semua. Ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang shahih. Banyak pula orang tabi’in dan yang sesudah mereka berpendapat demikian. Inilah madzabnya Ibnu Abi Laila, Hasan bin Shalih, Malik dan Daud.”

Imam Jalaluddin al-Mahalli berkata dalam kitab Al-Mahalli jilid I/157 :“Disunnahkan qunut pada I’tidal rekaat kedua dari shalat subuh dan dia adalah “Allahummahdinii fiman hadait….hingga akhirnya”.Demikian keputusan hukum tentang qunut subuh dalam madzab Imam Syafi’i.

Jadi jelaslah yang ditinggalkan (thumma tarakahu) oleh Rasulullah bukan qunut Subuh tapi qunut melaknat.

Dahulu Rasulullah pernah melaknat suatu kaum namun setelah itu turun firman Allah Ta’ala yang artinya

“Tak ada sedikitpun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim.” (QS Ali Imran [3]:128)

Telah menceritakan kepadaku Abu At Thahir dan Harmalah bin Yahya, keduanya berkata; telah mengabarkan kepada kami Ibnu Wahb telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab katanya; telah mengabarkan kepadaku Said bin Musayyab dan Abu Salamah bin Abdurrahman bin ‘Auf, keduanya mendengar Abu Hurairah berkata; Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam shalat fajar (subuh), yaitu setelah membaca, bertakbir dan mengangkat kepalanya, beliau membaca Sami’allahu liman hamidah. Rabbanaa walakal hamdu. Kemudian beliau membaca lagi dan beliau masih berdiri, yaitu; ALLAAHUMMA ANJI ALWALID BIN WALID WA SALAMAH BIN HISYAM, WA AYYASY BIN ABU RABIAH, WAL MUSTADH’AFIINA MINAL MUL’MINIINA, ALLAAHUMMASY DUD WATH’ATHAKA ‘ALAA MUDHARR WAJ’ALHAA ‘ALIHIM KASINII YUUSUFA, ALLAAHUMMAL’AN LIHYAANA WARI’LAN WADZAKWAAANA WA’USHAYYAH ASHATALLAAHA WARASUULAHU (Ya Allah, selamatkanlah Walid bin walid, Salamah bin Hisyam, Ayyasy bin Abu Rabiah dan orang-orang mukmin yang lemah, Ya Allah, perkuatlah hukumanmu kepada Mudharr dan jadikanlah untuk mereka masa-masa paceklik sebagaimana paceklik Yusuf, Ya Allah, laknatilah Lihyan, Ri’l, dan Dzakwan, mereka yang telah membangkang Allah dan Rasul-Nya. Kemudian sampai berita kepada kami, bahwa beliau meninggakan doa (qunut melaknat) tersebut, tepatnya ketika turun ayat Tidak ada urusanmu entah Allah mengampuni mereka atau menyiksa mereka, sesungguhnya mereka orang-orang yang zhalim (QS. Ali Imran 128), Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin Abu Syaibah dan ‘Amru An Naqid, keduanya berkata; telah menceritakan kepada kami Ibn ‘Uyainah dari Az Zuhri dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam hingga sabdanya: Ya Allah, jadikanlah untuk mereka tahun-tahun paceklik sebagaimana tahun-tahun paceklik Yusuf. Dan ia tidak menyebutkan kalimat sesudahnya. (HR Muslim 1082)

Begitupula ayahanda dari Buya Hamka yakni Haji Rasul yang membuka cabang Muhammadiyah untuk daerah Minangkabau tahun 1925 dalam bukunya berjudul “al-Syir’ah fi Radd ‘ala man Qala alQunut fi al-Shubh Bid’ah wa anna al-Jahr bi al-Basmallah Bid’ah aidhan” (Bukittinggi: Drukkerij Tsamaratul Ikhwan, 1938) sebagaimana kabar dari http://surautuo.blogspot.co.id/…/pembawa-muhammadiyah-ke-mi…

Secara sederhana judul ini bermakna: “al Syir’ah (pengumuman) penolak orang yang mengatakan Qunut Subuh bid’ah dan menjaharkan Bismillah bid’ah.”

Dalam karyanya ini Haji Rasul mengupas dalil-dalil, berupa hadis-hadis dan qaul Fuqaha mengenai Qunut Subuh dan menjaharkan Bismillah.

Kesimpulannya Qunut Subuh tidak bid’ah, malah sebaliknya, Qunut Subuh ialah sunnat diamalkan.

Begitu pula mengenai menjaharkan Bismillah dalam shalat Jahar (Shalat Maghrib, Isya dan Subuh berjama’ah) bukan merupakan Bid’ah, malah menjaharkan Bismillah disyari’atkan, terbentang dalam dalil-dalil yang sharih.

Begitupula dalam masalah men-jahar-kan Bismillah , Buya Hamka dalam buku tafsirnya membahas masalah Jahr dan Sirr ini secara panjang lebar pada halaman 122-131 (10 halaman).

****** awal kutipan *****
Dalil-dalil golongan yang memilih (Madzhab) jahar.

Hadis 1, (Hadis fi’li). Dirawikan oleh jama’ah dari pada sahabat-sahabat, di antaranya Abu Hurairah dan Ibnu Abbas, Anas bin Malik, Ali bin Abi Thalib, Samurah bin Jundab dan isteri Rasulullah shallallahu alaihi wasallam Ummu Salmah. Bahwasanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam men-jahar-kan membaca Bismillahir Rahmanir Rahim.

Hadis fi’li adalah hadis yang menceritakan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam

Hadis 2, (bukan Hadis Nabi tetapi Atsar sahabat). Ada pula satu riwayat dari Na’im bin Abdullah Al-Mujmar. Dia berkata: “Aku telah sembahyang di belakang Abu Hurairah. Aku dengar dia membaca Bismillahir Rahmanir Rahim, setelah itu dibacanya pula Ummul Qur’an.

Setelah selesai sembahyang diapun, mengucapkan salam lalu berkata kepada kami: “Sesungguhnya akulah yang lebih mirip sembahyangku dengan sembahyang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam.

Hadits ini dirawikan oleh An-Nasai dan oleh Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya. Lalu disambungnya; “Adapun jahar Bismillahir Rahmanir Rahim itu maka sesungguhnya telah tsabit dan sah dari Nabi shallallahu alaihi wasallam

Hadits ini dirawikan pula oleh Ibnu Hibbaan dan Al-Hakim atas syarat Bukhari dan Muslim. Dan berkata Al-Baihaqi: ‘Shahih isnad-nya”.

Hadis 3, (Hadis fi’li). Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi senantiasa memulai sembahyangnya dengan men-jahar-kan Bismillah.

Tentang ini ada riwayat dari Ad-Daruquthni, dan ada juga riwayat dari Al-Hakim.

Adapun yang me-NAFI-kan Jahar dan yang memandang lebih baik SIRR saja, mereka berpegang pula kepada Hadits:

Hadis 4, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis sahabat). “Dari pada Ibnu Abdullah bin Maghfal: “Aku dengar ayahku berkata; padahal aku membaca Bismillahir Rahmanir Rahim. Kata ayahku: “Hai anakku. Sekali-kali jangan engkau mengada-ada. Dan kata Ibnu Abdullah tentang ayahnya itu:

“Tidak ada aku melihat sahabat-sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersama Abubakar, bersama Umar dan bersama Utsman, maka tidaklah pernah aku mendengar seorangpun di antara mereka membaca. Sebab itu janganlah engkau baca akan dia. Kalau engkau membaca, maka baca sajalah Alhamdulillahi Rabbil Alamin”. (Dirawikan oleh yang berlima, kecuali Abu Daud). Hadits ini di Hasankan oleh At-Turmudzi.

Definisi Hadis Hasan menurut Ibnu Hajar Al-Asqalani adalah : “Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hapalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung cacat, dan tidak janggal.”

Kemudian Hamka menguraikan kelemahan Hadis ini sebagai berikut:

Hadits inipun diperkajikan orang karena Al-Jariri merawikannya seorang diri, dan setelah tua, fikirannya kacau, sebab itu Hadits yang dirawikannya diragukan. Kemudian Abdullah bin Maghfal, yang jadi sumber pertama Hadits ini. Setengah ahli Hadits mengatakan bahwa dia itu Majhul (seorang yang tidak dikenal).

Kontroversi Hadis Anas bin Malik r.a.

Anas bin Malik r.a. adalah pelayan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam selama 10 tahun dan juga sahabat Nabi yang banyak meriwayatkan Hadis. Beliau meriwayatkan masalah Bismillah ini di 2 Hadis yang saling bertentangan

(1) Hadis Anas r.a. yang men-jahar-kan :

Hadis 5, (Hadis fi’li). “Ditanyakan orang kepada Anas, bagaimanakah bacaan Nabi shallallahu alaihi wasallam maka diapun menjawab: “Bacaan Nabi adalah panjang”

Kemudian beliau baca Bismillahir Rahmanir Rahim; dipanjangkannya pada Bismillah dan dipanjangkannya pula pada Ar-Rahman, dan Ar-Rahim” (Dirawikan oleh Bukhari).

Menurut pendapat yang menjahar : tidak mungkin Anas berkata sejelas itu kalau tidak didengarnya.

(2) Hadis Anas r.a. yang men-sirr-kan.

Hadis 6, (Hadis fi’li). “Dari pada Anas bin Malik, berkata dia: “Aku telah sembahyang bersama Rasululah shallallahu alaihi wasallam, Abubakar, Umar dan Utsman, maka tidaklah saya mendengar seorangpun dari pada mereka yang membaca Bismillahir Rahmanir Rahim”. (Dirawikan oleh Ahmad dan Muslim).

Karena kontroversi ini maka ditanyakan kepada Anas r.a. diwaktu beliau sudah tua sebagai berikut:

Hadis 7, (Bukan Hadis Nabi tetapi Hadis Sahabat). Hadits yang dirawikan oleh Ad-Daruquthni dari Abi Salmah, demikian bunyinya. “Aku telah tanyakan kepada Anas bin Malik, apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam membuka sembahyang dengan Alhamdulillah, atau dengan Bismillahi Rahmanir Rahim? Beliau menjawab: “Engkau telah menanyakan kepadaku satu soal yang aku tidak ingat lagi, dan belum pernah orang lain menanyakan soal itu kepadaku sebelum engkau”. Lalu saya tanyakan pula: “Apakah ada Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sembahyang dengan memakai sepasang terompah; Beliau jawab: “Memang ada!”.

Setelah membahasnya secara panjang lebar (10 halaman), Hamka menyimpulkan:

(1) Kedua pihak yang men-jahar-kan dan men-sirr-kan tidak membawa Hadis qauli (dimana Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menyuruh membaca atau tidak membaca Bismillah) melainkan hanya Hadis fi’li (menyaksikan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam dan/atau sahabat membaca / tidak membaca Bismillah), atau bukan Hadis Nabi melainkan Hadis Sahabat saja.

(2) Karena Hadis Anas bin Malik r.a. adalah Hadis Sahih yang kontroversi maka dipakai Qaidah Ushul Fiqh dan Ilmu Hadits bahwa :

“Yang menetapkan lebih didahulukan dari pada yang menidakkan (meniadakan)”.

(3) Maka sandaran pihak yang men-sirr-kan tinggal Hadis Sahabat saja (Hadis nomor 7).

Akhirnya Hamka menganggap bahwa yang dalilnya lebih kuat adalah dari pihak yang MEN-JAHAR-KAN Bismillah.
**** akhir kutipan ****

Jadi Hadis Anas bin Malik r.a. yang men-sirrkan , menurut Buya Hamka adalah hadits shahih yang kontroversi

Begitupula para fuqaha (ahli fiqih) berpendapat bahwa perkataan orang yang menyebutkan bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam kadang-kadang melirihkan dan kadang-kadang menjaharkan (bacaan basmalah), itu tidak benar. Karena mereka juga berdalil dengan hadits-hadits mu’allal yang ditolak.

Bahkan sebagiannya hanya disimpulkan dari hasil pemahaman (al-mafhum) yang berlawanan dengan hadits al-manthuq, yang jelas menyatakan adanya menjahar bacaan basmalah. Sedangkan yang manthuq itu harus didahulukan atas yang mafhum, sebagaimana ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih.

Ada pun hadits Anas ra. yang antara lain mengatakan: “Aku melakukan shalat dibelakang Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam., Abu Bakar, Umar dan ‘Utsman. Mereka membuka (bacaan Alquran) dengan Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan mereka tidak menyebut (membaca) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim baik di awal pembacaannya mau pun di akhirnya”.

Dalam riwayat lain disebutkan: “Maka aku tidak mendengar salah satu di antara mereka membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim, yang diriwayatkan Imam Muslim dalam shohih-nya [I:299 no.50 dan 52].

Hadits tersebut mu’allal (hadits yang mempunyai banyak ‘ilat atau yang menurunkannya dari derajat shohih).

Diantara ‘ilat atau penyakit yang melemahkan derajat hadits itu adalah, ungkapan terakhir dalam hadits tersebut ‘Mereka tidak menyebut atau membaca Bismillah’.

Sebenarnya itu bukan dari perkataan (hadits) Anas, tetapi hanya perkataan salah seorang perawi yang memahami kata-kata Alhamdulillah Rabbil ‘Aalamiin dan tidak bermaksud untuk meniadakan basmalah dari Al-Fatihah.

Perkara hukum mengucapkan Bismillah dalam shalat adalah perkara yang cukup penting untuk dipahami karena tidak mengucapkannya akan membatalkan shalat

Imam Ishak bin Rahuwiyah pernah ditanya tentang seseorang yang meninggalkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim. Maka dia menjawab; “Siapa yang meninggalkan ba’, atau sin, atau mim dari basmalah, maka shalatnya batal, karena Al-hamdu (Al-Fatihah) itu tujuh ayat”. (Hal ini akan ditemukan pada kitab Sayr A’lam Al-Nubmala’ [XI:369] karangan Ad-Dzahabi).

Diriwayatkan dari Ummu Salamah ra. bahwa, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim dalamn shalat, dan beliau menganggapnya sebagai satu ayat…”. (HR.Abu Dawud dalam as-Sunan [IV:37], Imam Daraquthni [I:307], Imam Hakim [II:231], Imam Baihaqi [II:44] dan lain-lainnya dengan isnad shahih).

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas dan Abu Hurairah [ra] serta yang lainnya: “ Bahwa sesungguhnya Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam menjaharkan (bacaan) Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim”. (Hadits dari Ibnu ‘Abbas, diriwayatkan oleh Al-Bazzar dalam Kasyf Al-Atsar [I:255]; Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubra [II:47] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:308] dan lain-lainnya ; Al-Haitsami dalam Mujma’ Al-Zawaid [II:109] mengatakan, hadits tersebut di riwayatkan oleh Al-Bazzar dan rijal-nya mautsuuquun (terpercaya)

Diriwayatkan oleh Abu Nu’aim Al-Mujmir seorang Imam, Faqih, terpercaya termasuk periwayat hadits Shohih Enam sempat bergaul dengan Abu Hurairah ra. selama 20 tahun : “Aku melakukan sholat dibelakang Abu Hurairah ra., maka dia membaca Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim lalu dia membaca Ummu Alqur’an hingga sampai kepada Wa laadh dhaalliin kemudian dia mengatakan amin. Dan orang-orang pun mengucapkan amin. Setiap (akan) sujud ia mengucapkan Allahu Akbar. Dan apabila bangun dari duduk dia meng ucapkan Allahu Akbar. Dan jika bersalam (mengucapkan assalamu‘alaikum). Dia kemudian mengatakan, ‘Demi Tuhan yang jiwaku ada pada kekuasaan-Nya, sesungguhnya aku orang yang lebih mirip shalatnya dengan Rasulallah shallallahu alaihi wasallam daripada kalian”. (Imam Nasa’i dalam As-Sunan II:134);

Imam Bukhori mengisyaratkannya hadits tersebut dalam shahihnya [II:266 dalam Al-Fath] ;
Ibnu Hibban dalam shohihnya [V:100] ;
Ibn Khuzaimah dalam shohihnya I:251 ;
Ibn Al-Jarud dalam Muntaqa halaman 184 ;Al-Daraquthni [I:300] mengatakan semua perawinya tsiqah ;
Hakim dalam Al-Mustadrak [I:232] ;
Imam Baihaqi dalam As-Sunan [II:58] dan dalam kitab Ma’rifat As-Sunan wa Al-Atsar [II:371] dan mengatakan isnadnya shahih. Dan hadits itu dishahihkan oleh sejumlah para penghafal hadits seperti Imam Nawawi, Ibn Hajar dalam Al-Fath [II:267] bahkan dia mengatakan bahwa Imam Nawawi membuat bab khusus ‘Menjaharkan Bismillahi Ar-Rahmaan Ar-Rahiim’, itulah hadits yang paling shahih mengenai hal tersebut)

Jadi kalau bermakmum dengan Imam yang tidak terdengar mengucapkan Bismillah maka kita berprasangka baik bahwa dia mengucapkan Bismillah secara sirr (pelan atau dalam hati)

Sahkan sholat bermakmum dengan Imam yang meninggalkan ucapan Bismillahi sama sekali (tidak sirr maupun jahar) ?

Berikut penjelasan tentang sahkah sholat bermakmum kepada imam yang dianggap makmum tidak sah ?

Berikut contoh kutipan penjelasan dari Buya Yahya Zainul Ma’arif, pengasuh Lembaga Pengembangan Da’wah Al Bahjah – Cirebon sebagaimana kutipan gambar di atas yang bersumber dari http://buyayahya.org/buya-menj…/apa-syarat-menjadi-imam.html

***** awal kutipan *****
Adapun jika solatnya sah menurut Imam dan tidak sah menurut makmum, maka dalam Madzhab Syafi’i ada dua pendapat yang keduanya bisa diambil.

Pendapat pertama: (Al’ibroh bi’tiqodil makmum), maksudnya jika solat Imam menurut makmum tidak sah seperti jika bacaan imam tidak fasih atau imam tidak membaca bismillah dalam fatihah, maka bagi makmum yang fasih atau biasa dengan bismillah tidak sah solatnya jika bermakmum dengan imam tersebut.

Pendapat kedua: (Al’ibroh bi’tiqodil imam), maksudnya jika imam sudah sah menurut imam, maka siapapun boleh bermakmum denganya, maka solat makmum tetap sah biarpun dia biasa membaca bismillah dan imamnya ternyata tidak membacanya. Pendapat yang kedua inilah yang lebih layak dihadirkan saat ini untuk meredam perdebatan.

Ada beberapa tatakrama jadi imam yang harus diperhatikan diantarnya adalah tahu diri.

Jika bacaan Anda tidak bagus sementara ada orang yang lebih bagus atau anda ikut pendapat Imam Malik yang mengatakan bismillah tidak wajib dibaca sementara makmum ikut pendapat yang mewajibkan bismillah, maka janganlah Anda memaksakan diri jadi imam, sebab hal itu hanya membuat gundah para makmum yang kebanyakan orang awam.

Sebaliknya jika anda menemukam imam yang tidak bijak, maka anda jangan ikut-ikut tidak bijak, ambilah pendapat kedua dan sahlah solat anda.

Anak muda boleh jadi imamnya orang yang sudah tua, asalkan jangan wanita jadi imamnya orang laki-laki. Wallahu a’lam bissawab.
***** akhir kutipan ******

Jadi untuk menghindari perpecahan maka boleh pergunakan pendapat kedua yakni Al’ibroh bi’tiqodil imam artinya sholatnya makmum tetap sah walaupun imam sholat dianggap keliru seperti pertanyaan di atas tidak membaca bismillah sama sekali (tidak sirr maupun jahar)

Intinya kekeliruan imam tidak ditanggung oleh makmum.

Begitupula untuk menghindari perpecahan maka tidak masalah bermakmum dengan imam sholat yang mazhabnya berbeda karena diriwayatkan oleh Umamah al Bahiliy dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,”Ikatan-ikatan Islam akan lepas satu demi satu. Apabila lepas satu ikatan, akan diikuti oleh lepasnya ikatan berikutnya. Ikatan islam yang pertama kali lepas adalah pemerintahan (kekhalifahan) dan yang terakhir adalah shalat.” (HR. Ahmad)

Wassalam

Zon di Jonggol, Kabupaten Bogor 16830

Sumber : Yulizon Amansyah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed