by

Filosofi Mitoni

”Megatruh kuwi Sekar, dudu Tembang”
Mbah Kakung berkata lirih dipembaringannya, meskipun kadang demensia merengut kesadaran beliau, tapi ada saat-saat dimana beliau kembali awas dan waras. Megatruh – Megat Ruh, memisahkan jiwa dari raga yang fana agar bisa bersatu dengan Sang Maha. Macapat itu Sekar, bukan tembang, sekar adalah puji-pujian untuk Sang Maha. Lalu meluncur kembali tembang dolanan kanak-kanak yang sering beliau dendangkan semasa saya kecil. Lir Ilir, Cublak Suweng, Gundhul Pacul, Sluku Bathok, tetapi kali ini beserta makna tersirat di dalamnya. Nasehat turun-temurun yang didapat Mbah Kakung dari para pendahulunya. Saya terhenyak, pria sepuh didepan saya mungkin tidak menjalani ritual Islam sesempurna saya, tetapi perilakunya, mana yang tidak Islami? Setiap saat mengingat Sang Maha, dan menjaga hubungan baik dengan sesama bahkan alam sekitar. Saya tertunduk malu, oleh teman-teman pengajian saya mungkin orang seperti Mbah Kakung layak disebut sesat, bahakan menghuni kerak neraka terdalam. Tapi pernahkah sedikit saja teman-teman saya yang selalu menyibukkan diri membangun relasinya dengan langit itu melakukan kebaikan seperti yang Mbah Kakung contohkan? Beliau selalu baik pada semua orang, tidak pernah membedakan. Teman saya, wah pada yang suka Tahlilan saja mereka sengitnya bukan main. Mbah Kakung berusaha memelihara setiap pohon dan sumber air agar tetap bisa dimanfaatkan oleh orang banyak, teman2 saya, menebangi pohon-pohon besar itu dengan alasan memberantas kesyirikan. Di masa mudanya Mbah Kakung mengangkat senjata membela negaranya, teman2 saya malah berkata negara ini thogut karena tidak sesuai dengan ajaran Islam versi mereka. Bersama Mbah Kakung, saya menemukan akar.
—-
Saya adalah perempuan Jawa, akar saya adalah Jawa. Dengan segala kearifan lokal yang dimiliki oleh orang-orang Jawa. Saya memilih Islam sebagai batang dan jalan untuk ranting saya tumbuh menjangkauNya. Makanya saya selametan, neloni, mitoni, brokohan, ziarah sambil membaca ayat-ayat suci Al Qur’an memujiNya, mengagungkanNya. Guru ngaji saya, sebelum saya mulai kuliah, seorang pria sederhana yang mungkin tidak sekeren murobbi di kampus dulu, ngaji tafsir per ayat dengan bahasa jawa halus, Tafsir Jalalain. Mengingatkan saya tentang para Wali dan Ulama masa lalu, jika budaya (Jawa) itu buruk apa mungkin akan mereka akomodasi, dipertahankan dengan warna yang Islami? Bukankah mereka juga orang yg mengerti agama? Kenali dirimu, cari hakikatmu dulu, lalu capailah ma’rifat. Laku yang sudah diajarkan turun-temurun melalui tembang-tembang sederhana itu.
—-
Saya paham agama adalah batang, jalan untuk tumbuh keatas agar ranting-ranting kita mampu menjangkau kuasaNya. Rahmat dan RahimNya. Batang itu tentu saja butuh akar yg kuat agar tidak mudah roboh. Akar itu adalah kearifan lokal dimana kamu dilahirkan. Tanpanya kamu hanyalah batang rapuh tanpa isi. Syariat hanyalah batang, akar itu hakikat siapa dirimu, dengan mengenali dirimu kau akan tahu apa tujuanmu. Tanpa hakikat kau hanya selongsong kosong tanpa isi, sehingga mudah sekali kau musuhi mereka yang terlihat berbeda, padahal sejatinya kita sama-sama biji yang sedang tumbuh.
—-
Ahh Akar, mungkin karena letaknya jauh di dalam tanah malah seringkali terlupakan, padahal tanpa akar yang kuat batang tubuh pohon keimanan kita bisa roboh berantakan saat badai sebelum pucuk ranting teratas menggapaiNya.

Sumber : Sicilia Sirhandinatha

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed