by

Film 212, Cuma Cari Sensasi Kaum Intoleran

Sampai Monas sholat bareng.
Ditutup adegan Rahmat dan Yasna di jembatan. Seharusnya kalau film India penutupnya Rahmat dan Yasna nari dan menyanyi lagu cinta, tapi ngga mungkinlah, ini film mau nunjukkin syariah.
 
Kesimpulan saya ini film drama keluarga + percintaan biasa, low budget tapi mau menaikkan jumlah penonton makanya menempelkan ke 212.
Padahal adegan 212 sedikit banget dan dengan teknik short crowd shot (artinya orang yang main sedikit, bukan kolosal).
 
Ada cameo beberapa orang di antaranya Neno Warisman beberapa detik.
Di penutup ada foto-foto dari acara 212. Ada foto Rizieq, Jokowi dll.
 
Kalau ‘alumni’ 212 berharap banyak cerita terkait 212, berhak kecewa.
 
Di tempat saya menonton mayoritas perempuan berjilbab. Yang sekeluarga bawa anak penampilan si bapak yaa tipikal.
Teater terisi 30-40 orang saja. Di pertunjukkan berikutnya (lebih siang) kelihatannya lebih ramai.
 
Ada yang nonton kelihatannya ngga pernah nonton bioskop. Beli tiket untuk kursi paling depan. Kasir sampai nanya dua kali dan nunjuk-nunjuk denah ‘Ini paling depan loh, Pak, tengah masih kosong’. Si bapak mungkin biasa nonton di misbar apa di kerumunan, kalau posisi di belakang ngga melihat apa-apa 
 
Bapak yang nonton di sebelah saya tidur ngorok hampir di sepanjang film. Sempat kebangun kemudian tidur lagi 
 
Artinya film 212, Power of Love ngga nyambung. Cuma meneruskan tradisi membuat film percintaan yang syari.
 
Muatan politiknya hampir ngga ada. Yang diulang-ulang adalah ‘Islam itu damai, tidak mungkin 212 itu ribut (bahkan menginjak rumputpun tidak)’.
 
Akting Fauzi Baadilla cukup bagus (meski tampil berhari-hari dengan kaos oblong, celana jeans dan sepatu yang sama dan sebagai wartawan di lapangan naiknya Ford Everest baru, apa ada?)
 
Layak tonton? Terserah, tapi sudah saya ceritakan beda bungkus dan isi.
 
Sumber : Status Facebook Wening Susilo

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed