by

Field Trip Report : PT IMIP Morowali Sulteng

Keempat syarat itulah yang dibutuhkan dalam suatu kawasan industri modern. Kawasan industri lainnya di Indonesia jarang ada yang menerapkan demikian.

Jadi jangan heran investor memilih negara lain dibandingkan dengan Indonesia.

Itu sebabnya Presiden Jokowi heran tahun lalu. Mengapa sedikit sekali investor yang memindahkan perusahaan mereka ke Indonesia.

Seharusnya masalah _living space_ di atas bagian dari kebijakan pemerintah. Paling tidak dalam hal menyiapkan lahannya.

*_Di Indonesian Morowali Industrial Park ( IMIP) mereka membuatnya sendiri._*

Ini agaknya harus menjadi catatan khusus pemerintah jika ke depan hendak mendirikan _industrial park_.

*Keempat syarat di atas menjadi mutlak.*

2. Dengan kondisi pelayanan seperti di atas, ternyata masih banyak karyawannya yang tidak betah. Khususnya yang berasal dari Indonesia.

Mengapa bisa terjadi demikian?

Barangkali cerita dibawah ini bisa menjelaskannya.

3. Ketika sampai di lobby penginapan. Saya terkagum-kagum. Semua ruangan sangat simpel. *Gedung hotel sekelas bintang lima tersebut sengaja didisain tidak rumit.* Namun tetap menarik. Sepertinya mereka memikirkan dalam hal memudahkan perawatan.

Meja resepsionis clear dari barang-barang yang tidak perlu. Semacam pernak pernik hiasan dan ukiran. Hanya ada bel kecil dan balpoint serta kertas.

Model kursi dan sofa nya juga tidak rumit dan penuh ukiran. Tentu sangat memudahkan untuk dibersihkan pula.

Demikian juga dengan struktur bangunannya. Semuanya memudahkan untuk dibersihkan. Tapi tetap memenuhi estetika sebuah hotel berbintang secara arsitektural.

Tidak ada ukiran dan lukisan mewah. Tapi tetap menarik. Petugas resepsionisnya hanya satu orang. Lobby yang lapang dan lega serta langit-langitnya yang tinggi membuat sirkulasi udara menjadi bebas. Tidak ada patung mewah dan lukisan mahal terlihat.

Memasuki restoran ketika sarapan semua tampak sederhana dan lengang. Menunya pagi itu ada ala western, chinese, dan Indonesia.

Saya heran, kok lengang dan tidak ada yang sarapan?
Ketika saya tanya mengapa sepi. Dijawab oleh petugas restoran, bahwa semua sudah sarapan dan berangkat kerja. Ok

Siangnya ketika saya datang sekitar jam satuan untuk makan juga begitu. Restoran itu juga terlihat sepi. Jawabannya sama. Semua sudah makan dan berangkat kerja.

Esok paginya saya sengaja datang lebih awal. Jam setengah tujuh. Baru terlihat para ekspatriat makan.

Semua tertib. Tidak ada yang ngobrol sambil makan. Selesai mengambil sarapan, makan. Selesai makan langsung ke luar restoran.

Sementara saya selesai sarapan ngobrol-ngobrol dulu dengan rekan satu team. Ngalor ngidul sebelum berangkat survey. Giliran mereka yang heran melihat saya demikian.

Oh ya, di tiap meja restoran hotel sekelas bintang lima itu tidak ada pernak pernik hiasan semacam bunga cantik kecil dalam vas unik.
Begitu efisiennya mereka dalam hidup. Buat apa lukisan mahal, patung berkelas, bunga hidup dan vas cantik? Bukankah semua itu pemborosan?

Trus mengapa saya bisa mengatakan hotel itu sekelas bintang lima?
Memasuki kamar hotel dan melihat fasilitas di dalamnya baru terasa.

Sorenya saya ke _living space_. Semua terlihat rapi. Ada kantor pengelola di sebelah kanan lobby dan kantin/mini market di sebelah kirinya. Semua yang masuk melepaskan alas kaki. Itu sebab lantainya licin dan mengkilap. Jauh dari kesan hunian buruh pabrik.

Kemudian dijelaskan oleh pengelola mengenai aturan tinggal di sana. Antara lain yang jualan kue dari penduduk setempat tidak boleh masuk ke areal tempat tinggal. Hanya boleh di luar pagar. Begitu juga dengan laundry. *Tempat olah raga hanya dibuka pada sore hari dan diwaktu libur.* Di luar itu tidak boleh.

Melihat “mini marketnya” saya jadi ingat KPK dengan program nya _kantin jujur_. Silahkan ambil barang. Catat dibuku yang sudah disediakan. Kemudian masukan uang pada kotak disebelahnya sesuai jumlah harga yang kita beli.

Aturan lainnya, dilarang juga bergerombol dan ngobrol di luar apartemen. Ada ruangan yang disediakan. Serba tertib dan penuh aturan.

Pantesan suatu sore ketika saya menuruni hotel menuju kolam renang dan pantai tidak ada satupun yang berenang dan main di pantai. Baik pagi maupun sore hari. *Jangan-jangan peraturan yang berlaku di apartemen ini juga berlaku buat direksi.*

Saya yang tadinya mau berenang di hari biasa jadi mengurungkan niat.

Dugaan saya benar. Ketika saya tanya kepada petugas yang berkeliling, mengapa sepi dan tidak ada yang berenang. Kan bukan hari libur pak, jawabnya. Demikian juga di pinggir pantai. Tidak ada satupun yang terlihat.

Sorenya ketika hendak kembali ke Jakarta via Kendari, saya berkesempatan naik pesawat Cessna barengan dengan beberapa direksi.

*Menuju ke private bandara (mereka memiliki lapangan udara sendiri) saya melewati beberapa bangunan pabrik.* Dari luar terlihat sepi.

Saya membayangkan yang bekerja di dalam tentu sangat sibuk sekali.

*Hampir 40 ribu tenaga kerja dalam tiga shift (35 ribu orang Indonesia, 5000 ekspatriat Cina).* Karena menggunakan teknologi tinggi (konon pertambangan nikel yang diolah langsung menjadi lembaran lembaran nikel itu menggunakan teknologi moderen dan canggih) , maka semua harus disiplin. Jika tidak tentu hasil akhir yang akan jadi taruhan. *Dan disiplin itu harus dimulai dari kehidupan sehari-hari.* Mulai dari cara hidup di _living space_. Memanfaatkan _public health_ dengan benar. Dan tentunya makan tertib dengan menu yang sudah disediakan. Termasuk mengikuti jadwal olah raga yang sudah ditetapkan.

Sore yang cerah itu pesawat Cessna berpenumpang 10 orang itu terbang dengan tenang. Setenang laut biru teluk Morowali dibawahnya. Mengantarkan rombongan ke Bandara di Kendari. Kembali ke Jakarta dengan pesawat berikutnya.

Semoga anak-anak muda dari sekitar Sulawesi dan beberapa wilayah lainnya di Indonesia yang bekerja di sana dapat beradaptasi dengan model kerja dan kehidupan di pabrik canggih tersebut, sembari menyerap ilmunya.

*Kuncinya hanya satu: DISIPLIN.*

Konon kabarnya sebentar lagi akan berdiri pula pabrik battery yang bahan utamanya nikel. Tentu membutuhkan pekerja yang banyak dan harus memiliki kedispilinan yang tinggi pula.

Karena dari teknologi yang hanya menghasilkan bijih nikel, tentu berbeda dengan teknologi yang menghasilan nikel dalam bentuk lembaran. Apalagi kalau sudah berubah menjadi battery. Tentu lebih tinggi lagi teknologi dan kedisiplinan yang diperlukan.

Sumber : Status Facebook Buntoro Sutanto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed