by

Fenomena Perda Syariat Islam di Daerah

Oleh: Hamdan Zoelva

Tidak bisa dipungkiri bahwa sejak Soeharto jatuh dari kekuasaannya dan kran kebebasan mulai terbuka, arus deras dinamika sosial politik masyarakat kian hari kian bergerak cukup panjang. Berbagai agenda dan aspek kehidupan bernegara mulai dari penegakan hukum, kebebasan media hingga penerapan otonomi daerah kini direspon secara masif oleh masyarakat.
 

Terlihat kemudian, bahwa mass euphoria tersebut tidak hanya menimbulkan konstruksi yang positif bagi arah dan perkembangan kehidupan sosial politik masyarakat, tapi juga muncul dalam bentuk yang kurang diinginkan bagi pencapaian cita-cita bernegara dan bermasyarakat. Hal ini muncul antara lain karena selain akibat dari nature response masyarakat dalam mengakhiri era rezim yang tertutup dan menindas di masa Orde Baru, juga karena perubahan yang dicita-citakan tidak pernah memiliki konsep dan disain yang jelas baik konsepsi pelaksanaan maupun evaluasi penerapannya.

Akibatnya, muncul berbagai opini yang tidak sepenuhnya benar tentang kekacauan dan kondisi bahwa Orde Baru lebih kondusif ketimbang Orde Reformasi.

Syariat Islam Sebagai Agenda
Di tengah hiruk pikuknya dinamika keterbukaan di era reformasi ini, berbagai kelompok Islam kembali menyuarakan syariat Islam sebagai sebuah agenda yang harus mendapat perhatian. Tidak hanya itu, tuntutan yang mengusung syariat Islam juga telah sampai pada upaya positifikasi syariat kedalam perundang-undangan nasional baik di pusat maupun daerah. Disyahkannya Undang-Undang Perbankan Syariah oleh DPR beberapa waktu lalu adalah bentuk dari semakin munculnya Syariat Islam sebagai agenda nasional.

 Tidak hanya dipusat, peletakan syariat Islam sebagai agenda pemerintahan daerah juga cukup marak dilakukan oleh masyarakat. Berbagai lembaga dan kegiatan yang ditujukan untuk mengkampanyekan ‘pelembagaan’ syariat Islam dalam ruang-ruang publik terus dikumandangkan. Dengan berbagai kekurangan dan kelebihannya lembaga-lembaga masyarakat yang memfokuskan diri dalam kegiatan kampanye dan penerapan syariah didirikan.

Walaupun begitu, upaya-upaya masyarakat dalam mempublikasi penerapan syariah Islam tidak menemui jalan yang bebas hambatan. Berbagai kontroversi dan penolakan juga muncul dari dalam kelompok dimasyarakat itu sendiri dengan argumen yang berbeda-beda. Namun begitu tidak juga sedikit yang meragukan bahkan menolak penerapan syariah sebagai hukum.

Tidak hanya terjadi di Indonesia, dibeberapa Negara muslim di Afrika dan Asia juga masih memperdebatkan tentang pelaksanaan syariat Islam didalam kehidupan mereka. Kontroversi ini sesungguhnya bukanlah suatu kejutan. Lebih dari itu, Abul A’la Al-Maududi, pemikir muslim Pakistan sudah memprediksi bahwa ketika diskursus tentang penerapan syariah ini muncul maka sesungguhnya pertanyaan dan protes bukan hanya muncul dari kalangan non muslim tapi juga dari elit muslim yang terdidik.[1]

Tetapi ramainya kontroversi tersebut seakan tetap menyertai upaya pemerintah dalam menjadikan syariah sebagai salah satu kerangka yang ingin diterapkan dalam kebijakan terutama dalam perundang-undangan. Keadaan ini semakin terwujud lebih cepat lagi, ketika rezin pemerintah memasuki era Reformasi. Dengan posisi UUD 1945 yang telah diamandemen, kekuasaan membentuk undang-undang yang semula ada di tangan Presiden dengan persetujuan DPR diubah menjadi sebaliknya, maka makin banyak lagi norma-norma hukum baru yang dilahirkan. Burgerlijk Wetboek atau KUH Perdata peninggalan Belanda telah begitu banyak diubah dengan berbagai peraturan perundang-undangan nasional terutama sekali pada ketentuan-ketentuan di bidang hukum dagang dan kepailitan, yang kini dikategorikan sebagai hukum ekonomi.

Pemerintah juga pernah mempersiapkan Rancangan Undang-Undang tentang Hukum Terapan Pengadilan Agama. RUU ini merupakan upaya untuk mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat menjadi hukum positif. Cakupannya adalah bidang-bidang hukum yang menjadi kewenangan dari Peradilan Agama. Tentu saja subyek hukum dari hukum positif ini nantinya berlaku khusus bagi warganegara yang beragama Islam, atau yang secara sukarela menundukkan diri kepada hukum Islam. Presiden dan DPR juga telah mensahkan Undang-Undang tentang Wakaf, yang mentransformasikan kaidah-kaidah hukum Islam ke dalam hukum positif. Berbagai undang-undang yang terkait dengan hukum 
bisnis juga telah memberikan tempat yang sewajarnya bagi kaidah-kaidah hukum Islam yang berkaitan dengan perbankan dan asuransi.

Syari’ah Islam dan Sejarah Hukum
Sebagai suatu sistem hukum yang diyakini paling lengkap, syariah kemudian menjadi sebuah daya tarik tersendiri bagi para tokoh, pemerhati, peneliti dan komunitas diberbagai belahan dunia tidak hanya dijadikan sebagai code yang mengatur kehidupan tapi lebih jauh telah menjadi bagian dari diskursus global dan tarik menarik ideologisasi yang dihubungkan dengan datangnya tata dunia baru. Kecenderungan tersebut tak terkecuali terjadi di Indonesia saja, negeri yang secara faktual dihuni oleh mayoritas muslim terbesar di dunia. Berbagai kelompok masyarakat berlomba-lomba mengkaji dan menyebarkan gagasan bahkan mengajak tentang perlunya menjadikan syari’ah sebagai system kehidupan baru yang layak dipilih.

Dalam peta system hukum global, syariah telah menempatkan dirinya sejajar dengan dua system hukum lainnya yaitu: Roman Law (hukum Romawi) dan Common Law (hukum kebiasaan tak tertulis yang berasal dari Inggris). Sistem Roman Law[2] yang mulai berkembang abad 12 dan 13 melahirkan system hukum dibeberapa Negara Eropa seperti Prancis (French Civil Code/Napoleon Code) 1804, Jerman (German Civil Code) abad 17 dan Itali (Italian Civil Code) juga ikut melahirkan system hukum Belanda yang selama tiga setengah abad menerapkan system hukum tersebut di Indonesia. Aksi kolonisasi ini juga membawa system hukum Roman Law ke beberapa Negara jajahan di luar Eropa seperti di benua Asia dan Afrika. Ciri utama system hukum Romawi ini mendasarkan pada ketersusunan peraturan perundang-undangan dalam suatu kitab undang-undang yang tertulis. Berbeda dengan system Common Law yang mendasarkan pada ketentuan hukum yang lebih dulu (judicial precedent), yang berasal dari hukum tidak tertulis bukan pada undang-undang. Salah satu pengaruh System Roman Law yang memperkaya khazanah terminologi hukum antara lain stare decisis, culpa in contrahendo atau pacta sunt servanda.[3]

Begitu juga dengan system Common Law Inggris yang mulai berproses sekitar abad 11 (1154). Raja Henry II menjadi orang yang berperan melembagakan Common Law dalam sebuah unifikasi sistem hukum Common Law antara lain melalui: [1] penggalian tradisi lokal menjadi aturan nasional, [2] memberdayakan sistem juri pada kasus warga negara untuk menyelidiki tuduhan kriminal yang lebih realistis dan klaim publik. Sistem ini menyebar ke seantero dunia melalui penjajahan dan ekspansi politik negeri kerajaan tersebut. Akibatnya system hukum ini dianut tidak hanya dinegeri bekas jajahannya yang umumnya menjadi persemakmuran (Common wealth) Inggris Raya, seperti Wales (Irlandia Utara, Republik Irlandia) Malaysia, Brunei, Hong Kong, Singapura, Australia dan lain-lain, tapi juga di anut oleh sebagian besar Amerika Serikat (Kanada kecuali Quebec, Hukum Federal Amerika kecuali Lousiana). Walaupun didasarkan pada bentuk hukum tak tertulis, namun Common Law tetap menekankan pada keberadaan kaidah-kaidah hukum yang bersumber dari pengalaman-pengalaman empirik akan tetapi antara Roman Law dan Common Law sempat bertemu dalam satu garis yaitu sama-sama menekankan akal, nalar dan rasionalitas.[4]

Bila akal, nalar dan rasio menjadi ciri dua sistem hukum tersebut, syariah selain juga logika, menambahkan kekhasannya dengan unsur-unsur immanent yang tidak sekedar berdiri sebagai sebuah system aturan kehidupan tapi juga merupakan wahyu yang diturunkan (revealed). Namun demikian menurut George Abraham Makdisi[5], hukum Islam juga memiliki kesamaan dengan system Common Law pada awal perkembangnya pada pertengahan abad, yaitu sama-sama terletak pada: keaslian (Indigenous), hukum nasional (National Laws), berdasarkan pengalaman (based on custom) antara lain berupa yurisprudensi hakim dengan system pengadilan juri dan saksi yang disumpah. Itulah mengapa hukum Islam lebih dekat dengan system Common Law daripada Roman Law. Perbedaan utama keduanya terletak pada sumber utama yaitu wahyu pada hukum Islam dan logika manusia murni pada Common Law dan Roman Law.[6]

Pengakuan syariah sebagai salah satu sistem hukum dunia bukanlah suatu hal yang di ada-adakan. ketua Mahkamah Agung Amerika Serikat ke 14 (1953-1969), Earl Warren (1891-1974)[7] pernah menjelaskan dengan lugas di depan peserta pertemuan ahli-ahli hukum dunia (World Peace Through Law) 1963 di Athena Yunani bahwa:

“di dinding ruang tempat kami menyidangkan perkara-perkara yang di putus oleh Mahkamah Agung, terpahat lukisan/lambang para tokoh pembangun hukum dunia. Kami susun sedemikan rupa, sehingga di sebelah kiri dinding ada nama-nama seperti Menes (mesir), Hammurabi (Babylon), Musa dan Salomon (Israel), Lycurgus, Solon dan Draco (Yunani), Confius (Cina) dan Augustus (Roma) sebagai sembilan tokoh pembangun hukum yang hidup sebelum masehi. Sedangkan nama-nama seperti Justisianus (Roma), Muhammad (Islam), Charlemagne (Jerman), King Jhon dan Black Stone (Inggris), Saint Louist dan Napoleon (Prancis), Hugo Grotius (Belanda) dan Marshall (Amerika Serikat) berada disebelah kanannya yang diletakan sebagai sembilan tokoh pembangun hukum dunia yang hidup sesudah masehi. Dan selalu setiap ketika kami bersidang termasuk ketika mendengarkan argumen-argumen para pengacara dan memutuskan perkara-perkara, tokoh-tokoh pembangun hukum dunia itu seakan-akan memandang kebawah sedang memperhatikan kami dan tak jarang kami yang menengadah ke atas kepada mereka untuk mencari ilham dalam memutus perkara”[8]

Dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang hidup di masyarakat ke dalam sebuah tatanan hukum, tokoh-tokoh tersebut tak jarang saling mengadopsi bahkan ‘mencuri’ konsep-konsep asli yang telah di rumuskan oleh tokoh lainnya seperti yang di lakukan Napoleon Bonaparte ketika melakukan ekspedisi ke Mesir. Dengan segala taktik dan strateginya, Napoleon mampu memboyong naskah dan manuscript berbagai ilmu pengetahuan Islam termasuk ilmu hukum yang tersimpan di Musium Iskandariah ke Prancis untuk dipelajari para cendikiawan di sana.[9] Oleh karena itu, paska kepulangan Napoleon dari Mesir, penguasa Prancis menerbitkan sebuah kitab kodifikasi hukum perdata yang disebut sebagai Code Napoleon.[10]

Tak lama setelah kitab kodifikasi itu lahir, lewat proses kolonialisme yang panjang kitab tersebut kemudian diadopsi menjadi inspirasi Belanda untuk membuat Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata Belanda yang selanjutnya di akui dengan asas konkordansi sehingga Indonesia memiliki Kitab Undang-undang Hukum (KUH) Perdata sendiri. Maka tak berlebihan bila bagaimanapun juga Code Napoleon sangat dipengaruhi oleh hukum Islam yang berlaku di Mesir pada saat itu.

Harus diakui bahwa konkordansi KUH Perdata Belanda menjadi KUH Perdata Indonesia merupakan klimaks pilihan hukum dari Eklektisime[11] antara berbagai hukum yang ada dan berkembang di Indonesia. Sudah menjadi bagian dari perjalanan sejarah pemberlakuan hukum nasional bahwa antara Hukum Islam dan Hukum Belanda pada waktu itu saling mengisi ‘berebut posisi’ sebagai hukum yang mengatur masyarakat Indonesia. Namun begitu, jauh sebelum Belanda menjajah Indonesia, hukum adat antar suku-suku di Indonesia yang kebanyakan tidak tertulis mulai di warnai oleh Hukum Islam.

Sejak kurun waktu tahun 1400-1500 Masehi, para ahli hukum kerajaan Islam Malaka sering datang ke Kerajaan Samudera Pasai di 
Aceh untuk memecahkan permasalahan hukum yang sering muncul di Malaka. Karena perkembangan hukum Islam yang sangat pesat, pada abad ke XIV Kerajaan Samudera Pasai dibawah Sultan Malikul Zahir menyebarkan Hukum Islam ke kekerajaan Islam di nusantara lainnya. Karya Nuruddin ar-Raniri yang berjudul as-sirath al-mustaqim yang ditulis sekitar tahun 1628 menjadi buku panduan hukum Islam pertama yang mulai diperkenalkan ke wilayah-wilayah kerjaaan Islam lain di nusantara. Buku ini kemudian di urai kembali oleh Syekh Arsyad al-Banjari dalam karyanya yang berjudul Sabil al-Muhtadi yang pada gilirannya menjadi pegangan berbagai penyelesaiaan sengketa di kesultanan Banjar.[12]

Setelah dua karya fenomenal tersebut, beberapa kerajaan Islam di Palembang, Banten, Demak, Gresik, Ngampel, Tuban, Kutai, Sumbawa, Jepara, Butuni (Buton) dan 
Mataram mulai menerbitkan beberapa produk panduan hukum bagi kerajaan dan rakyatnya. Tapi yang lebih unik lagi beberapa buku tentang aturan-aturan yang berdasarkan hukum Islam terbit atas prakarsa dan inisiatif penguasa Belanda untuk dijadikan pegangan oleh para hakim dan pejabat pemerintah kolonial seperti Compendium der Voornaamste Javaanisch Wetten Nauwkeuring Getrokken uit het Mohammedaansgh Wetbok Mogharraer (Mogharraer Code) yang diterbitkan untuk Landraad Semarang pada tahun 1750. Di Cirebon terdapat Cirbonsch Rechtboek yang di susun atas usul Residen cirebon, P. C. Hosselaar (1757-1765), Compendium Indlansch Wetten bij de Hoven van Bone en Goa yang diterbitkan Gubernur Jenderal VOC di Sulawesi, Jan Dirk Van Clootwijk dan kitab hukum perkawinan dan kewarisan Islam oleh pengadilan VOC (Compendium Freijer) yang terbit pada 25 Mei 1760.[13]

Atas beberapa fakta tersebut Lodewijk Willem Christian Van den Berg (1845-1927) menyimpulkan beberapa fenomena tersebut dalam sebuah teori yang di sebut reception in complexu yang bermakna bahwa orang Islam Indonesia telah melakukan resepsi hukum Islam dalam keseluruhannya dan sebagai satu kesatuan atau dengan kata lain berarti bagi rakyat pribumi berlaku hukum agamanya. Teori Van den Berg ini juga dibenarkan oleh Solomon Keyzer (1823-1868) penulis buku pedoman hukum Islam dan hukum pidana Islam untuk masyarakat Islam Jawa.[14]

Selain beberapa kodifikasi hukum yang dilakukan penguasa Belanda di berbagai tempat di Indonesia, banyak ahli hukum dan pejabat Belanda termasuk pada era kekuasaan Raffles yang berpendirian bahwa hukum yang berlaku di Jawa adalah hukum Islam (The Kor’an Noerm General Law of Java) dan Deandles yang menginspirasi Van den Berg untuk melahirkan teori pengakuan pemerintah kolonial terhadap berlakunya hukum Islam bagi masyarakat setempat. Karya JEW van Nes yang fokus bahasannya tertuju pada madzhab Syafi’I (1850) berjudul Boedelsscheidingen of Java Volgens de Kitab Saphi’i dan A. Meurenge yang mengeluarkan saduran Handboek van het Mohammedaansche Recht (1884) adalah dorongan nyata bagi ahli hukum Belanda yang tertarik pada hukum Islam tersebut untuk terus mencermati hukum yang hidup di masyarakat Indonesia.[15]

Posisinya yang juga merangkap sebagai pemangku kebijakan dibidang hukum penguasa Belanda pada waktu itu membuat Van den Berg tidak segan-segan membuat pengakuan terhadap kewenangan badan-badan peradilan agama untuk menjalankan yurisdiksi hukumnya berdasarkan hukum Islam berdasarkan staatsblaad 1882 No.152. Ia juga aktif melakukan pengkajian dan pengumpulan beberapa bahan tertulis tentang asas-asas hukum Islam (Mohammedaansche Recht, 1882) menurut madzhab Syafi’i dan Hanafi, kajian tentang hukum keluarga dan hukum waris Islam di Jawa dan Madura (1892) dan menerjemahkan beberapa kitab fiqh berbahasa arab seperti Fath al-Qarib dan Minhaaj ath-Thalibin ke dalam bahasa Prancis.[16]

Melihat akomodasi Van den Berg yang cukup luas terhadap penerapan hukum Islam di daerah jajahannya, penguasa kolonial Belanda mulai berpikir ulang dan mencoba mengevaluasi kembali kebijakan tersebut. Keputusan tersebut diambil karena upaya mengakomodasi hukum Islam menjadi hukum masyarakat di anggap hanya akan menumbuhsuburkan ideologi dan gerakan yang semakin menguatkan kekuatan perlawanan di masyarakat terhadap pemerintah Belanda. Terlebih pada waku itu sedang berlangsung pengaruh keislaman yang juga cukup kuat dari pihak eksternal yang masuk ke Indonesia.[17] Oleh karena itu, untuk memutus segala pengaruh dan timbulnya akibat yang merugikan pemerintah Belanda, penasihat pemerintah Belanda yang juga ahli hukum Islam, Prof. Christian Snouck Hurgronje (1857-1936) memunculkan kebijakan Islam Policy yang pada intinya hukum Islam harus dijauhkan dari masyarakat Indonesia yang mayoritas Islam dan menarik rakyat pribumi agar lebih mendekat dengan tradisi dan budaya pemerintah kolonial Belanda dan Eropa lainnya. Kebiijakan tersebut akhirnya di rinci oleh Hurgronje menjadi teori Receptie seperti yang tertuang dalam pasal 134 ayat 2 Indische Straaftregeling (IS) dimana hukum Islam hanya dapat diterima sebagai hukum apabila telah dilaksanakan oleh masyarakat adat.[18]

Dengan kebijakan tersebut, bandul eklektisisme hukum nasional Indonesia bergerak menuju hukum adat yang mulai menggeser peran hukum Islam sebagai sistem hukum yang banyak berlaku di masyarakat disamping hukum Belanda. Tidak kurang dari 19 wilayah di Indonesia mulai mengembangkan hukum adatnya. Kekuasaan Peradilan Agama mulai dibatasi oleh sebuah komisi bentukan pemerintahan kolonial yang dipimpin oleh Bertrand Ter Haar Barn (1892-1941). Kewenangan Peradilan Agama di Jawa dan
Kalimantan Selatan untuk memutus soal-soal kewarisan mulai di tanggalkan dan diserahkan ke Landraad.

Keberlakuan Hukum Islam di Indonesia
Kalau kita melihat kepada hukum-hukum di bidang peribadatan, maka praktis hukum Islam itu berlaku tanpa perlu mengangkatnya menjadi kaidah hukum positif, seperti diformalkan ke dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Bagaimana hukum Islam mengatur tatacara menjalankan sholat lima waktu, berpuasa dan sejenisnya tidak memerlukan kaidah hukum positif. Bahwa sholat lima waktu itu wajib fardhu ‘ain menurut hukum Islam, bukanlah urusan negara. Negara tidak dapat mengintervensi, dan juga melakukan tawar menawar agar solat lima waktu menjadi sunnah mu’akad misalnya. Hukum Islam di bidang ini langsung saja berlaku tanpa dapat diintervensi oleh kekuasaan negara. Apa yang diperlukan adalah aturan yang dapat memberikan keleluasaan kepada umat Islam untuk menjalankan hukum-hukum peribadatan itu, atau paling jauh adalah aspek-aspek hukum administrasi negara untuk memudahkan pelaksanaan dari suatu kaidah hukum Islam.

Ambillah contoh di bidang hukum perburuhan, tentu ada aturan yang memberikan kesempatan kepada buruh beragama Islam untuk menunaikan solat Jum’at misalnya. Begitu juga di bidang haji dan zakat, diperlukan adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur penyelenggaraan jemaah haji, administrasi zakat dan seterusnya. Pengaturan seperti ini, berkaitan erat dengan fungsi negara yang harus memberikan pelayanan kepada rakyatnya. Pengaturan seperti itu terkait pula dengan falsafah bernegara kita, yang menolak asas “pemisahan urusan keagamaan dengan urusan kenegaraan” yang dikonstatir ole Professor Soepomo dalam sidang-sidang BPUPKI, ketika para pendiri bangsa menyusun rancangan undang-undang dasar negara merdeka.

Adapun hal-hal yang terkait dengan hukum perdata seperti hukum perkawinan dan kewarisan, negara kita menghormati adanya pluralitas hukum bagi rakyatnya yang majemuk, sejalan dengan prinsip Bhinneka Tunggal Ika. Bidang hukum perkawinan dan kewarisan termasuk bidang hukum yang sensitif, yang keterkaitannya dengan agama dan adat suatu masyarakat. Oleh sebab itu, hukum perkawinan Islam dan hukum kewarisan diakui secara langsung berlaku, dengan cara ditunjuk oleh undang-undang. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 misalnya, secara tegas menyebutkan bahwa perkawinan adalah sah dilakukan menurut hukum agamanya masing-masing dan kepercayaannya itu. Di sini bermakna, keabsahan perkawinan bagi seorang Muslim/Muslimah adalah jika sah menurut hukum Islam, sebagai hukum yang hidup di dalam masyarakat. Sebagaimana halnya di zaman VOC telah ada Compendium Frijer, maka pada masa
Orde Baru juga telah dirumuskan Kompilasi Hukum Islam, walau dasar keberlakuannya hanya didasarkan atas Instruksi Presiden.

Hasil telaah akademis ini sedikit-banyak mempengaruhi kebijakan politik kolonial, ketika Pemerintah Hindia Belanda harus memastikan hukum apa yang berlaku di suatu daerah jajahan, atau bahkan juga di seluruh wilayah Hindia Belanda. Dukungan kepada hukum Adat ini tidak terlepas pula dari politik devide et impera kolonial. Hukum Adat akan membuat suku-suku terkotak-kotak. Sementara hukum Islam akan menyatukan mereka dalam satu ikatan. Dapat dimengerti jika Belanda lebih suka kepada hukum Adat daripada hukum Islam. Dari sini lahirlah ketentuan Pasal 131 jo Pasal 163 Indische Staatsregeling, yang tegas-tegas menyebutkan bahwa bagi penduduk Hindia Belanda ini, berlaku tiga jenis hukum, yakni Hukum Belanda untuk orang Belanda, dan Hukum Adat bagi golongan Tmur Asing -– terutama Cina dan India — sesuai adat mereka, dan bagi Bumiputra, berlaku pula hukum adat suku mereka masing-masing. Di samping itu lahir pula berbagai peraturan yang dikhususkan bagi orang bumiputra yang beragama Kristen.

Hukum Islam, tidak lagi dianggap sebagai hukum, terkecuali hukum Islam itu telah diterima oleh hukum Adat. Jadi yang berlaku sebenarnya adalah hukum Adat, bukan hukum Islam. Inilah teori resepsi yang disebut Profesor Hazairin sebagai “teori iblis” itu. Belakangan teori ini menjadi bahan perdebatan sengit di kalangan ahli-ahli hukum Adat dan Hukum Islam di Indonesia sampai jauh di kemudian hari. Posisi hukum Islam yang keberlakuannya tergantung pada penerimaan hukum Adat itu tetap menjadi masalah kontroversial sampai kita merdeka.

Karena merasa hukum Islam dipermainkan begitu rupa oleh Pemerintah Kolonial Belanda, maka tidak heran jika dalam sidang BPUPKI, tokoh-tokoh Islam menginginkan agar di negara Indonesia merdeka nanti, negara itu harus berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, seperti disepakati dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945, walau kalimat ini dihapus pada tanggal 18 Agustus 1945, sehari setelah kita merdeka. Rumusan penggantinya ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana dapat kita baca dalam Pembukaan UUD 1945 sekarang ini. Debat mengenai Piagam Jakarta terus berlanjut, baik dalam sidang Konstituante maupun sidang MPR di era Reformasi. Ini semua menunjukkan bahwa sebagai aspirasi politik, keinginan untuk mempertegas posisi hukum di dalam konstitusi itu tidak pernah padam, walau tidak pernah mencapai dukungan mayoritas.[19]

Patut kita menyadari bahwa Republik Indonesia yang diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 itu, dilihat dari sudut pandang hukum, sebenarnya adalah “penerus” dari Hindia Belanda. Jadi bukan penerus Majapahit, Sriwijaya atau kerajaan-kerajaan Nusantara di masa lalu. Ketentuan Pasal I Aturan Peralihan UUD 1945 yang mengatakan bahwa “segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”. Dalam praktek yang dimaksud dengan peraturan yang ada dan masih langsung berlaku itu, tidak lain ialah peraturan perundang-undangan Hindia Belanda. Bukan peraturan Kerajaan Majapahit atau Sriwijaya, atau kerajaan lainnya. Bukan pula meneruskan peraturan pemerintah militer Jepang, sebagai penguasa terakhir negeri kita sebelum kita membentuk negara Republik Indonesia.[20]

Setelah kita merdeka, tentu terdapat keinginan yang kuat dari para penyelenggara negara untuk membangun hukum sendiri yang bersifat nasional, untuk memenuhi kebutuhan hukum negara yang baru. Keinginan itu berjalan seiring dengan tumbuhnya berbagai kekuatan politik di negara kita, di samping tumbuhnya lembaga-lembaga negara, serta struktur pemerintahan di daerah. Pembangunan hukum di bidang tatanegara dan administrasi negara tumbuh pesat.

Di manapun di dunia ini, kecuali negaranya benar-benar sekular, pengaruh agama dalam merumuskan kaidah hukum nasional suatu negara, akan selalu terasa. Konstitusi India tegas-tegas menyatakan bahwa India adalah negara sekular, tetapi siapa yang mengatakan hukum Hindu tidak mempengaruhi hukum India modern. Ada beberapa studi yang menelaah pengaruh Buddhisme terhadap hukum nasional Thailand dan Myanmar. Hukum Perkawinan Pilipina, juga melarang perceraian. Siapa yang mengatakan ini bukan pengaruh dari agama Katolik yang begitu besar pengaruhnya di negara itu.[21] Dengan berbagai penjelasan tersebut, perlu diingatkan kembali bahwa hukum Islam itu adalah hukum yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka negara tidak dapat merumuskan kaidah hukum positif yang nyata-nyata bertentangan dengan kesadaran hukum rakyatnya sendiri. Demokrasi harus mempertimbangkan hal ini. Jika sebaliknya, maka negara kita akan menjadi negara otoriter yang memaksakan kehendaknya sendiri kepada rakyatnya.

Syariat Islam di Berbagai Daerah
Sejak awal sejarah Indonesia, perkembangan penerapan syariat Islam di Indonesia telah dimulai dengan keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara di masa lampau. Upaya untuk melaksanakan ajaran-ajaran Islam, termasuk hukum-hukumnya, nampak mendapat dukungan yang besar, bukan saja dari para ulama, tetapi juga dukungan penguasa politik, yakni raja-raja dan para sultan.

Kita masih dapat menyaksikan jejak peninggalan kehidupan sosial keagamaan Islam dan pranata hukum Islam di masa lalu di Kesultanan 
Aceh, Deli, Palembang, Goa dan Tallo di 
Sulawesi Selatan, Kesultanan Buton, Bima, Banjar serta Ternate dan Tidore. Juga di 
Yogyakarta, 
Surakarta dan Kesultanan Banten dan Cirebon di Jawa. Semua kerajaan dan kesultanan ini telah memberikan tempat yang begitu penting bagi hukum Islam. Berbagai kitab hukum ditulis oleh para ulama. Kerajaan atau kesultanan juga telah menjadikan hukum Islam – setidak-tidaknya di bidang hukum keluarga dan hukum perdata – sebagai hukum positif yang berlaku di negerinya. Kerajaan juga membangun masjid besar di ibukota negara, sebagai simbol betapa pentingnya kehidupan keagamaan Islam di negara mereka.

Pelaksanaan hukum Islam juga dilakukan oleh para penghulu dan para kadi, yang diangkat sendiri oleh masyarakat Islam setempat, kalau ditempat itu tidak dapat kekuasaan politik formal yang mendukung pelaksanaan ajaran dan hukum Islam. Di daerah sekitar Batavia pada abad ke 17 misalnya, para penghulu dan kadi diakui dan diangkat oleh masyarakat, karena daerah ini berada dalam pengaruh kekuasaan Belanda. Masyarakat yang menetap di sekitar Batavia adalah para pendatang dari berbagai penjuru Nusantara dengan aneka ragam bahasa, budaya dan hukum adatnya masing-masing. Di sekitar Batavia ada pula komunitas “orang-orang Moors” yakni orang-orang Arab dan India Muslim, di samping komunitas Cina Muslim yang tinggal di kawasan Kebon Jeruk sekarang ini.[22]

Berbagai suku yang datang ke Batavia itu menjadi cikal bakal orang Betawi di masa kemudian. Pada umumnya mereka beragama Islam. Agar dapat bergaul antara sesama mereka, mereka memilih menggunakan bahasa Melayu. Sebab itu, bahasa Betawi lebih bercorak Melayu daripada bercorak bahasa Jawa dan Sunda. Mereka membangun mesjid dan mengangkat orang-orang yang mendalam pengetahuannya tentang ajaran Islam, untuk menangani berbagai peristiwa hukum dan menyelesaikan sengketa di antara mereka. Hukum Adat yang mereka ikuti di kampung halamannya masing-masing, agak sukar diterapkan di Batavia karena penduduknya yang beraneka ragam. Mereka memilih hukum Islam yang dapat menyatukan mereka dalam suatu komunitas yang baru.[23]

Pada awal abad ke 18, Belanda mencatat ada 7 masjid di luar tembok kota Batavia yang berpusat di sekitar pelabuhan Sunda Kelapa dan Musium Fatahillah sekarang ini. Menyadari bahwa hukum Islam berlaku di Batavia itu, maka Belanda kemudian melakukan telaah tentang hukum Islam, dan akhirnya mengkompilasikannya ke dalam Compendium Freijer yang terkenal itu.

Compendium Freijer itu sendiri ditulis dalam bahasa Belanda dan bahasa Melayu tulisan Arab, diterbitkan di Batavia tahun 1740. Kompilasi ini tenyata, bukan hanya menghimpun kaidah-kaidah hukum keluarga dan hukum perdata lainnya, yang diambil dari kitab-kitab fikih bermazhab Syafii, tetapi juga menampung berbagai aspek yang berasal dari hukum adat, yang ternyata dalam praktek masyarakat di masa itu telah diadopsi sebagai bagian dari hukum Islam. Penguasa VOC di masa itu menjadikan kompendium itu sebagai pegangan para hakim dalam menyelesaikan perkara-perkara di kalangan orang pribumi, dan diberlakukan di tanah Jawa.

Di pulau Jawa, masyarakat Jawa, Sunda dan Banten mengembangkan hukum Islam itu melalui pendidikan, sebagai mata pelajaran penting di pondok-pondok pesantren, demikian pula di tempat-tempat lain seperti di Madura. Di daerah-daerah di mana terdapat struktur kekuasaan, seperti di Kerajaan Mataram, yang kemudian pecah menjadi Surakarta dan  Yogyakarta, masalah keagamaan telah masuk ke dalam struktur birokrasi negara. Penghulu Ageng di pusat kesultanan, menjalankan fungsi koordinasi kepada penghulu-penghulu di kabupaten sampai ke desa-desa dalam menyelenggarakan pelaksanaan ibadah, dan pelaksanaan hukum Islam di bidang keluarga dan perdata lainnya.

Di Jawa, kita memang menyaksikan adanya benturan antara hukum Islam dengan hukum adat, terutama di bidang hukum kewarisan dan hukum tanah. Namun di bidang hukum perkawinan, kaidah-kaidah hukum Islam diterima dan dilaksanakan dalam praktik. Benturan antara hukum Islam dan hukum Adat juga terjadi di Minangkabau. Namun lama kelamaan benturan itu mencapai harmoni, walaupun di Minangkabau pernah terjadi peperangan antar kedua pendukung hukum itu.

Fenomena benturan seperti digambarkan di atas, nampaknya tidak hanya terjadi di Jawa dan Minangkabau. Benturan itu terjadi hampir merata di daerah-daerah lain, namun proses menuju harmoni pada umumnya berjalan secara damai. Masyarakat lama kelamaan menyadari bahwa hukum Islam yang berasal dari “langit” lebih tinggi kedudukannya dibandingkan dengan hukum adat yang lahir dari budaya suku mereka. Namun proses menuju harmoni secara damai itu mula terusik ketika para ilmuwan hukum Belanda mulai tertarik untuk melakukan studi tentang hukum rakyat pribumi. Mereka “menemukan” hukum Adat. Berbagai literatur hasil kajian empiris, yang tentu didasari oleh pandangan-pandangan teoritis tertentu, mulai menguakkan perbedaan yang tegas antara hukum Islam dan Hukum Adat, termasuk pula falsafah yang melatarbelakanginya serta asas-asasnya.

Syari’at Islam Dalam Era Otonomi Daerah
Genderang otonomi daerah merupakan pintu masuk utama munculnya seluruh peraturan lokal sebagai wujud dari titah regulasi baik yang kewenangannya bersifat atributif (melekat) maupun yang bersifat delegatif (turunan). Dari peluang transfer kewenangan ini, arus balik sentralisasi kekuasaan antara lain dimaknai dengan membuka seluas mungkin upaya memandirikan daerah dengan segenap kemunculan kebijakan lokal dalam kondisi yang serba transisi dan terbatas. Dengan segala keterbatasan tersebut lahirlah berbagai produk hukum daerah berupa peraturan dan keputusan pejabat daerah.

Tidak ada catatan yang rinci untuk memastikan kapan perda-perda yang bernuansa syariat itu muncul di Indonesia. Namun melihat perkembangannya Perda syari’ah mulai tumbuh ketika perdebatan panjang tentang perubahan UUD 1945 1999-2002 yang juga terjadi perdebatan tentang berlakunya syari’at islam di Indonesia. Kemudian diterapkan di daerah khusus NAD. Hal ini menjadi lebih semarak dengan seiring menguatnya dorongan atas pelaksanaan otonomi daerah di awal-awal 1999. Ditahun-tahun tersebut, bisa dikatakan sebagai era dimana pemerintahan daerah seperti burung yang mendapati kebebasannya hingga ia bisa melakukan apapun yang dibutuhkan dan disukainya. Dalam konteks kebebasan tersebut, pemerintah lokal tidak hanya mulai membenahi diri secara struktural tapi juga melengkapi birokrasinya dengan berbagai produk peraturan daerah.

Seperti juga berbagai isu dan permasalahan yang terus datang timbul tenggelam, wacana perda bernuansa syariat menggelinding begitu saja ditengah keramaian perdebatan nasionalisme dan tuduhan terorisme terhadap umat Islam. Walau dengan definisi dan batasan yang tidak begitu jelas mengenai apa sesungguhnya indikator yang tepat bagi penamaan sebuah kebijakan syariat Islam, perda-perda tersebut pada akhirnya lebih dikenal sebagai perda syariat. Karena, sekalipun tak disebut secara eksplisit sebagai Perda Syariat Islam, tak bisa disangkal bahwa dalam kebijakan daerah itu ada ideologi keislaman yang hendak ditegakkan melalui perda tersebut. Yaitu, menegakan kebenaran, memberantas kezaliman dengan asumsi-asumsi keislaman. Tentu saja itu sebuah tujuan yang mulia.

Penutup
Terlepas dari sekeranjang kontroversi tersebut, perlu kiranya kita ketahui bersama bahwa syariah mau tidak mau memang telah menjadi sebuah sistem hukum yang amat mempengaruhi khazanah hukum secara global. Walaupun secara lokal, naik turunnya hukum Islam sangat dipengaruhi oleh kondisi politik dan kebijakan penguasa, tapi seiring dengan arus deras tren global, sistem yang dibawa nabi Muhammad 15 abad yang lalu mulai dilirik dan dikembangkan sebagai satu solusi oleh masyarakat dan menjadi kajian dan perdebatan utama forum hukum dunia. Karena itu para sarjana barat seperti Matthew Lippman, Sean Mc Coville dan Mordechai Yerushalmi kembali mengakui bahwa Hukum Islam kini telah menjadi salah satu dari tiga tradisi hukum yang utama terkait dengan dunia hukum dan filosofi dari mayoritas bangsa-bangsa di dunia.[24]

Harus diakui sebagai sebuah sistem hukum yang sangat komprehensif, subtansi doktrin hukum yang bersumber khususnya dari Al-Qur’an memang amat sulit untuk dibantah ke universalannya. Namun sangat sering ditemukan bahwa problem syariat selalu terletak pada penafsiran, pengelolaan dan penerapannya yang banyak dilakukan oleh Negara dan birokrasi pemerintahan. Sebagai sebuah sumber dari kebenaran hukum, subtansi-subtansi yang dikandung oleh syariat juga sering mulai memudar di mata masyarakat terutama dikalangan yang sejak awal tidak mau memahami dan cenderung memberikan stigma negatif terhadap syariat.

Tumbuhnya Perda Syari’ah merupakan fenomena yang menarik untuk dikaji dari berbagai sisi, baik sisi politik, budaya, hukum maupun agama. Perda syari’at mencuat ketika otonomi luas diberikan kepada daerah dan pada saat yang sama dialog dan perdebatan tenetang syari’at islam dalam perubahan undang-undang dasar terus menghiasi pemberitaan media. Pada sisi lain terdapat perkembangan yang menakjubkan atas kesadaran keagamaan yang muncul di seluruh Indonesia seperti sebuah gelambang yang terus menarik hati masyarakat muslim Indonesia yang sebelumnya mayoritas abangan (sebagaima pengelompokan oleh Geertz). Kesadaran inilah nampaknya yang memberikan dorongan kuat bagi pembentukan Perda Syariah di Indonesia, walaupun disadari ditemukan banyak sekali kelemahan dan kesalahan definisi atas Perda Syari’ah itu, yang ternyata sebagian besarnya adalah Perda mengenai ketertiban umum.

Perlu ada pemahaman yang benar tentang penyusunan perda yang bersumber dari syari’ah ini, termasuk tehnik penyusunan Perda secara umum, sehingga tidak menimbulkan salah pengertian dan dianggap keluar dari prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia. Lahirnya Perda-perda yang bersifat khusus di daerah-daerah termasuk Perda yang bersumber dari nilai-lai syari’ah, seharusnya dipahami sebagai bentuk penghormatan terhadap keragaman daerah di Indonesia sebagai sebuah Negara yang plural, tentu dengan memperhatikan kekompakan hirarkis dengan perundang-undangan yang ada di atasnya.

Wallahu al’lam bissawab.

Footnote:

[1] Abul A’la Al-Maududi, Islamic Law and Constitution, Karachi: Jama’at al-Islami Publication, 1995, hal.13

[2] Prof. Satjipto Rahardjo menyebut system hukum yang berlaku di Indonesia sebagai system Romawi-

Jerman atau Civil Law System. Prof. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 2000.

[3] http://en.wikipedia.org/wiki/Roman_law

[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Common_law

[5] George Makdisi, Ph.D, professor emeritus bahasa arab dan kajian Islam pada Universitas Pennsylvania. Kuliahnya yang terkenal antara lain “Church, Classical Islam, and University”. Makdisi meraih bachelor’s degree dalam hubungan luar negeri dan master’s degree sejarah dari Universitas Georgetown Washington, D.C. ia juga mendapatkan docteur es-lettres dari Universitas Paris, Sorbonne, dengan konsentrasi bahasa arab dan kajian Islam. Aktif berpartisipasi pada berbagai masyarakat profesional, Makdisi banyak menerima berbagai scholastic awards termasuk dua kali mengikuti Guggenheim Fellow. Makdisi juga menerima penghargaan prestisius Giorgio Levi Della Vida Award untuk prestasinya dalam melakukan kajian Islam California selama tahun 1993. http://www.loyno.edu/newsandcalendars/loyolatoday/1998/03/makdisi.html

[6] http://www.questia.com/library/book/ibn-aqil-religion-and-culture-in-classical-islam-by-george-makdisi.jsp

[7] Earl Warren adalah seorang Ketua Mahkamah Agung Amerika (Chief Justice) yang selama jabatannya, Mahkamah Agung sering berhadapan dengan kasus-kasus kontroversial berkaitan dengan hukum kewarganegaraan dan politik ketatanegaraan. Lahir di Los Angeles dan dibesarkan di Bakersfield, California dimana ayahnya berprofesi sebagai mekanik kereta api. Bakersfield telah menjadi tempat belajar yang berharga bagi Warren, ia mengatakan “crime and vice of all kinds countenanced by a corrupt government.” Warren menjadi penegak hukum Amerika yang sangat anti-rasisme terutama perlakuan orang Amerika terhadap orang asia yang pada waktu itu sering terjadi di West Coast. http://www.landmarkcases.org/brown/warren.html

[8] Prof. Busthanul Arifin, S.H, Hukum Pidana (Islam) dalam Lintasan Sejarah, dalam Pidana Islam di Indonesia: Peluang, Prospek dan Tantangan, Pustaka Firdaus, Jakarta, 2001, Hal. 34

[9] Dalam soal non hukum, dunia barat menurut Watt Montgomary banyak berhutang budi pada para pemikir dan cendikiawan Islam seperti dalam bidang sains, teknologi, perdagangan dan disiplin keilmuan lainnya. Watt Montgomary, The Influence of Islam on Medieval Europe, Edinburgh, Edinburgh University Press, 1987. D. De Santillana secara khusus malah menyebut bahwa beberapa system dan institusi dagang seperti perkongsian terbatas yang dikembangkan oleh Islam memberikan kontribusi positif bagi system hukum dagang barat. Kontribusi tersebut telah memberikan standar etika yang luhur bagi pengembangan konsep-konsep dagang yang modern. Menurutnya, itulah sebagian kebaikan jasa yang abadi dari hukum Islam kepada hukum eropa. D. De Santillana, The Legacy of Islam, Oxford, Oxford University Press, 1931 hal 310.

[10] Untuk mengetahui lebih dalam tentang Code Napoleon bisa dilihat dalam E. A. Arnold, ed. and trans., A Documentary Survey of Napoleonic France, Lanham, MD: University Press of America, 1993, hal. 151-164, dan Laura Mason and Tracey Rizzo, eds., The French Revolution: A Document Collection, (New York: Houghton Mifflin, 1999, hal.340-347.

[11] Eklektisisme ialah suatu system yang dibentuk secara kritis dengan memilih dari bermacam-macam sumber dan doktrin hukum. Prof. DR. Busthanul Arifin, S.H, Prolog buku DR. Qodry Azizy, MA, Eklektisisme Hukum Nasional: Kompetisi Antara Hukum Islam dan Hukum Umum, 
Yogyakarta, Gama Media, 2002, hal. viii

[12] DR. Rifyal Ka’bah, MA, Hukum Islam di Indonesia, Jakarta, Universitas Yarsi, 1999 hal. 122-123

[13] DR. Rifyal Ka’bah, MA, Sejarah Hukum Adat, Bahan Kuliah Magister Hukum UIJ, Jakarta, TT, hal. 2-3

[14] Pidato pengukuhan Prof. Dr. Thohir Luth sebagai guru besar hukum Islam Universitas Brawijaya, Kewarisan Islam, Satu Renungan untuk Orang-orang Beriman, http://www.brawijaya.ac.id/id/8_directory/staf.php?detail=131573967

[15] Drs A. Rahmat Rosyadi, S.H, M.H, H.M. Rais Ahmad, S.H, M.C.L, Formalisasi Syariat Islam di Indonesia dalam Perspektif Tata Hukum Indonesia, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2006, hal. 75

[16] Sayuti Thalib, Receptio A Contrario (Hubungan Hukum Adat dan Hukum Islam), Bina Aksara, Jakarta, 1982 hal.121

[17] Mengenai ini, Anthony Reid menjelaskan adanya arus kuat pan-islamisme pada waktu itu yang antara lain berhembus dari Turki. Anthony Reid, The Contest of North Sumatra, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, 1969, hal. 3, 65, 66 dan 109. sedangkan istilah PAN-ISLAMISME sendiri diciptakan oleh Sultan Abdul Hamid II untuk melawan kekuasaan barat yang akhirnya mendorong kekhawatiran kolonialis Belanda dan Inggris pada tanah jajahan mereka di Melayu. Snouck Hurgronje menyebut Pan Islamisme ini sebagai tindakan yang berbahaya tapi sia-sia, Snouck Hurgronje, Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje jilid IX, Jakarta: INIS, 1994, hal. 102

[18] Peristiwa paling penting yang mengubah pemikiran Snouck adalah ketika ia bertemu dengan Habib Abdurrachman Az-Zahir, seorang keturunan Arab yang pernah menjadi wakil pemerintahan 
Aceh, yang “dibeli” Belanda dan dikirim ke Mekkah, sehingga mengubah minat Snouck dari sekedar menjadi akademisi berlanjut menjadi pejuang kolonial Belanda. Atas bantuan Zahir dan Konsul Belanda di Jeddah JA Kruyt, dia mulai mempelajari politik kolonial dan upaya untuk memenangi pertempuran terhadap orang Aceh. Ketika Habib Zahir tak lagi ‘dipakai’ Gubernur Belanda di Nusantara, semua naskah penelitian Zahir di serahkan pada Snouck yang saat itu, 1886, telah menjadi dosen di Leiden. Snouck seperti mendapat durian runtuh, naskah itu kemudian dia berikan pada kantor 
Menteri Daerah Jajahan Belanda (Ministerie van Kolonieën). Snouck bahkan secara berani menawarkan diri sebagai tenaga ilmuwan yang akan dapat memberikan gambaran lebih lengkap tentang Aceh. Pada 1889, dia menginjakkan kaki di pulau Jawa, dan mulai meneliti pranata Islam di masyarakat pribumi Hindia-Belanda, khususnya Aceh hingga ia menjadi orang Belanda yang ahli tentang Aceh. Setelah Aceh dikuasai Belanda, 1905, Snouck mendapat penghargaan yang luar biasa. Setahun kemudian dia kembali ke Leiden, dan sampai wafatnya,26 Juni 1936, dia tetap menjadi penasehat utama Belanda untuk urusan penaklukan pribumi di Nusantara. http://id.wikipedia.org/wiki/Snouck_Hurgronje.

[19] 
Yusril Ihza Mahendra, “Hukum Islam dan Pengaruhnya Terhadap Hukum Nasional di Indonesia,” , 19 Juni 2008.

[20] Yusril, ibid.

[21] Yusril, ibid.

[22] Yusril, ibid

[23] Yusril, ibid

[24] Topo Santoso, Menggagas Hukum Pidana Islam: Penerapan Syariah dalam Konteks Modernitas, Bandung, Asy-Syamil, 2000, hal. 15

Penulis: Dr. Hamdan Zoelva, SH, MH, Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi Opini TokohIndonesia.com 

(Sumber: tokohindonesia.com)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed