Oleh : Ahmad Sarwat
Bangsa Arab mendapatkan kehormatan menjadi perwakilan umat manusia dalam menerima wahyu samawi. Dampaknya bukan hanya kitab suci Al-Quran berbahasa Arab, tetapi juga syariah Islam pun diproyeksikan lewat perspektif bangsa Arab.
Salah satu buktinya dalam urusan hukum waris. Yang dikoreksi oleh Al-Quran dalam hal pembagian waris adalah kekeliruan hukum waris yang ada di bangsa Arab saja. Sedangkan kekeliruan hukum waris yang terdapat pada bangsa-bangsa lain di luar Arab, tidak secara eksplisit tercantum dalam Al-Quran.
Contoh nyata adalah surat An-Nisa’ ayat 11 yang mengoreksi budaya Arab karena tidak memberi harta warisan kepada anak perempuan.
Bagi bangsa Arab, anak perempuan itu tidak punya hak waris dengan alasan karena perempuan itu tidak punya hak kepemilikan. Perempuan itu dimiliki bukan memiliki. Perempuan itu tidak bisa berperang dan mempertahankan harta benda. Dan blablabla alasan lainnya.
Budaya Jahiliyah bangsa Arab itu kemudian dikoreksi total dalam Al-Quran. Turunlah surat An-Nisa ayat 11 yang dengan tegas menjamin anak perempuan pasti mendapat harta warisan.
Kalau ada anak laki-laki maka sama-sama menjadi ashabah dengan mereka, dengan perbandingan anak laki dua kali lipat dari anak perempuan. Tapi kalau hanya ada anak perempuan saja, mendapat 1/2 kalau sendirian atau 2/3 kalau lebih dari satu.
* * *
Namun yang unik ketika bicara tentang hukum Kewarisan antara suami istri di dalam ayat selanjutnya yaitu ayat 12.
Di ayat itu Allah SWT tidak perlu menegaskan pemisahan harta milik suami dan istri dalam sebuah pernikahan. Soalnya bangsa Arab memang sudah menganut pemisahan harta suami istri sejak awal pernikahan.
Harta suami adalah harta suami, baik sebelum menikah atau pun selama pernikahan, bahkan setelah usai pernikahan. Sebaliknya, harta istri adalah harta istri, baik sebelum pernikahan maupun selama pernikahan.
Falsafah Bangsa Arab sejak awal tidak pernah mengenal istilah harta bersama suami istri. Sejak awal dan sampai kapan pun harta suami tidak pernah dicampur-campur dengan harta istri dan berlaku juga sebaliknya.
Makanya ketika turun ayat 12 surat An-Nisa yang mengatur pembagian waris antara suami istri, isi ayatnya langsung saja menjelaskan bahwa suami mendapat 1/2 atau 1/4 harta istrinya yang meningggal. Begitu juga sebaliknya, istriendapat 1/8 atau 1/4 harta dari suaminya yang meninggal.
Al-Quran sama sekali tidak menyebut pemisahan harta suami istri karena sejak masih hidup harta milik kedua memang sudah terpisah.
Karena ayat ini turun di tengah bangsa Arab yang sejak awal sudah menganut paham pemisahan harta suami istri, sama sekali tidak jadi masalah buat mereka. Tinggal mereka praktekkan saja.
Namun ayat 12 ini jadi masalah besar buat bangsa kita yang beda falsafah. Secara falsafah bangsa, budaya dan hukum kolonial yang kita anut disini sama sekali tidak mengenal pemisahan harta milik suami dan milik istri selama pernikahan.
Falsafah bangsa kita menganut sistem bahwa semua harta yang didapat baik oleh suami maupun istri semenjak perkawinan menjadi harta bersama dan melebur jadi satu.
Baru dipecah dua sama besar bila terjadi perpisahan, entah karena cerai atau kematian. Kita sering menyebutnya dengan istilah harta gono-gini.
Saya kurang tahu pasti, apakah sebelum Belanda menginjakkan kaki di bumi Pertiwi ini, bangsa ini sudah menganut paham harta bersama atau belum.
Yang jelas sistem ini dianut oleh Belanda yang jadi penjajah kita. Walaupun sebenarnya hukum Belanda hanya berlaku buat mereka dan keturunan Cina saja dan bukan buat kita yang pribumi.
Namun justru ketika kita merdeka dan punya Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), hukum yang asalnya berlaku buat orang Belanda itu malah diresmikan jadi hukum positif disini. Maka ditetapkan adanya harta bersama suami istri sebagai aturan resmi bangsa kita.
Hukum perdata di Indonesia pada dasarnya bersumber pada Hukum Napoleon kemudian berdasarkan Staatsblaad nomor 23 tahun 1847 tentang Burgerlijk Wetboek voor Indonesiƫ (disingkat BW) atau disebut sebagai KUH Perdata.
BW sebenarnya merupakan suatu aturan hukum yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda yang awalnya di masa itu ditujukan bagi kaum golongan warga negara bukan asli yaitu dari Eropa dan Tionghoa.
Uniknya justru ketika Belanda pulang kampung, warisan hukum mereka justru masih diberlakukan di negeri kita. Setelah Indonesia merdeka, berdasarkan aturan Pasal 2 aturan peralihan Undang-Undang Dasar 1945, KUH Perdata Hindia Belanda tetap dinyatakan berlaku.
Maka bangsa Indonesia, punya masalah besar dengan Al-Quran, khususnya surat An-Nisa’ ayat 12. Sebab ayat ini sangat bertentangan dengan falsafah bangsa yang selama ini dipraktekkan.
Bangsa kita jelas-jelas tidak akan bisa menjalankan hukum Kewarisan Islam seusai ayat 12 surat AnNisa’. Soalnya mana harta suami dan mana harta istri, sama sekali gelap. Harta mereka melebur jadi satu selama ini, tidak pernah dipisah.
Apa akibatnya?
Pembagian warisan pasti ditunda-tunda, bahkan kita nyaris membuang jauh-jauh pembagian waris antara suami istri.
Itulah kenapa kita hampir tidak pernah membagi warisan orang tua kita, kecuali setelah dua-duanya meninggal.
Kalau Ayah kita wafat tapi ibu kita masih hidup, bisa dipastikan kita tidak pernah melaksanakan pembagian harta warisan.
Ibu kita tidak pernah merasa berkewajiban memimpin pembagian waris harta ayah kita. Malah cenderung merasa sebagai pemilik tunggal harta berdua.
Padahal ibu kita seorang wanita shalihah, hobi ibadah, doyan umrah, rajin ikut pengajian. Tapi konsep hukum waris Islamnya NOL BESAR.
Semua anak diam tidak berani sama ibu mereka untuk berbagi harta warisan. Takut ibu tersinggung kalau beliau masih hidup sudah minta warisan harta ayah.
Dalam benak mereka, harta keluarga hanya bisa dibagi waris kalau ayah dan ibu sudah tidak ada. Kalau salah satunya masih hidup, tidak ada bagi waris.
Dan kita sebangsa dan setanah air sama-sama menginjak-injak ayat 12 surat An-Nisa’ secara berjamaah.
Naudzubillah tsumma naudzubillah.
Sumber : Status Facebook Ahmad Sarwat
Comment