by

Evidence Based Medicine, Evidence Based “Dalil”

Berdasarkan kualitasnya, ulama mat’akhkhirin membagi hadis dalam tiga kategori yaitu: hadits shahih, hasan, dan dha’if.

Untuk masuk kategori shahih, hadits harus MELEWATI PENELITIAN KETAT: bersambung sanad-nya, rawinya adil dan dhabith (kuat hafalannya), tidak syadz (ganjil, menyimpang) dan tidak cacat.

Jika semua persyaratan di atas terpenuhi tapi rendah tingkat ke-dhabith-annya, maka turun sedikit tingkatnya menjadi hadits hasan (baik).

Jika diriwayatkan oleh perawi yang tidak adil, tidak dhobit, syadz, dan cacat, maka disebut hadis dha’if (hadits lemah).

Sedangkan hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang dikarang-karang oleh seorang lalu dinisbatkan kepada Rasulullah baik disengaja berdusta ataupun tidak.

Baik hadits dha’if maupun maudhu’ tidak boleh dijadikan hujjah dan tidak boleh diyakini kebenarannya. Inilah sebabnya BETAPA SANGAT BAHAYANYA MENISBATKAN ATAS NAMA RASUL.

Jadi defaultnya seorang muslim WAJIB SKEPTIK jika diperintahkan untuk mengerjakan suatu amalan ibadah berdasarkan hadits. Wajib memeriksa validitas hadits tersebut, apakah hadits shahih, hasan, dha’if atau justru maudhu’?

Dasar skeptik inilah yang diformulasikan dalam kaidah fiqih:

الأصل في العبادات التحريم

“Hukum asal ibadah adalah haram (sampai adanya dalil yang kuat).”

Begitu pula dalam pengobatan, nyawa manusia sangat berharga. Tidak boleh dijadikan coba-coba sebagai kelinci percobaan. Maka kita harus kembali ke kaidah skeptik ini.

Semua pengobatan TIDAK BOLEH DIPERCAYA, KECUALI TELAH DIBUKTIKAN MELEWATI PENELITIAN. Kaidah inilah yang disebut dengan EBM (Evidence Based Medicine).

Sama seperti ilmu musthalah hadits yang mengkategorikan tingkat kekuatan hadits, EBM juga mengkategorikan tingkat kekuatan penelitian sebagai rujukan.

Maka sebelum diuji-cobakan ke manusia harus dibuktikan keamanannya di level hewan. Terbukti di hewan TIDAK LANGSUNG MEMBUKTIKAN APAPUN dari sisi EBM, karena sistem tubuh hewan tidak sama dengan manusia, jadi tidak bisa dijadikan bukti ilmiah.

Hampir lebih dari 90% jurnal penelitian baru ada di tahap uji coba lab/hewan ini, artinya TIDAK BOLEH DIYAKINI MANFAATNYA. Jurnal ilmiah semacam ini yang banyak dimanfaatkan penjual, misal kangen water yang mengklaim punya 200 jurnal penelitian tapi sebagian besar di level hewan.

Apalagi klaim pengobatan berbasis testimoni yang levelnya dibawahnya lagi, hanya pengamatan individu yang bukan ahlinya tanpa PENELITIAN. Levelnya sama seperti hadits maudhu’ yang belum diperiksa. Karena tidak tercatat berapa yang gagal, yang dilaporkan hanya berhasil saja, itupun kita tidak tahu kebenarannya.

Jadi kalau anda nemu penjual bawa-bawa jurnal ilmiah dengan uji coba TIKUS, jangan diyakini kebenarannya. Jurnal seperti ini hanya konsumsi peneliti untuk melanjutkan uji coba ke tingkat manusia dan level selanjutnya,

Dalam hirarki/tingkatan EBM sama sebagaimana mutawatir, level tertinggi ada pada systematic-review dan meta-analisis, yaitu gabungan dari sejumlah penelitian PADA MANUSIA (human study) di seluruh dunia. Penelitian ini dilakukan oleh banyak peneliti dari berbagai universitas (akademisi bukan pabrik) yang masing-masing tidak saling kenal, jadi mustahil mereka bersepakat dalam kedustaan. PERSIS SEPERTI DERAJAT MUTAWATIR.

Jadi buang jauh-jauh teori konspirasi big farma! Karena semua penelitian dengan level terkuat justru datang dari level akademisi (universitas), tidak ada kepentingan dagang sama sekali!

Jadi kalau anda disodori jurnal ilmiah di bidang kesehatan, pastikan anda menemukan kata ‘systematic review’ atau ‘meta-analisis’. Beda keduanya adalah, meta-analisis setingkat lebih tinggi karena ‘kekuatan’ gabungan jurnal penelitian ini dihitung akurasinya dengan ilmu Statistic, sehingga didapatkan angka seakurat mungkin.

Banyak yang tidak benar-benar paham apa itu EBM dan kenapa kita Muslim WAJIB berpatokan pada EBM. Itu karena Islam adalah agama yang bisa dibuktikan dengan BERPIKIR DAN MENELITI.

Tentang beda case studies, randomized control tiral dll, kapan-kapan saya terangkan, intinya mirip sama ketatnya dengan klasifikasi hadits.

Dan EBM adlaah kaidah yang sebenarnya mirip dengan kaidah-kaidah penelitian dari ulama-ulama jaman dahulu dalam bidang apapun. Bahkan dalam ilmu ushul fiqih pasti akan anda temukan hirarki tingkatan dalil dalam mengistimbath hukum, sebagaimana dibukukan dan dirumuskan pertama kali oleh Imam Syafi’I rahimahullah dalam kitabnya yang fenomenal, Ar-Risalah.

Jadi masih mau coba-coba menjadikan nyawa anda tikus percobaan? Ummat siapa sih?

*TUMIT

Tulisan ini adalah bagian kedua, sambungan dari tulisan ini:

https://www.facebook.com/mila.anasanti/posts/10220577960775310

Sumber : Status Facebook Mila Anasanti

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed