by

Empat Ilusi Pertanyaan Komunitas untuk Jegal Ahok, KPUD Bermain Lagikah?

Saya mencium bau anyir yang sangat busuk. Jangan-jangan ini semua “mainannya” KPUD DKI? Jangan-jangan ini setting dan by designed dari KPU untuk mementahkan program petahana dengan menghadapkannya dengan orang lapangan atau kondisi kontradiktif di lapangan? Jangan-jangan… Ahhhh…. Sudahlah.

Tapi saya tidak menyerah. Saya mencoba untuk menggali lagi dan memang menemukan kejanggalan pada penampilan para anggota komunitas yang seolah pertanyaanya undian tapi kok aneh sekali.

Melalui tulisan ini, saya mencoba menggunakan analisis intertextual sederhana. Charles Bazerman mengungkapkan bagaimana menggunakan analisis intertekstual dengan menghubungkan suatu teks dengan teks lainnya. Juga memeriksa kedalaman teks tersebut dari pemilihan diksi, kata, dan teknik penyampaian.

Pertanyaan pertama saya adalah mengapa komunitas ini yang dipanggil? Mengapa tidak memanggil komunitas disable, komunitas anak muda, ibu-ibu PKK, atau komunitas pemulung yang sekarang diangkat derajadnya menjadi pasukan oranye? Mengapa yang dipanggil adalah komunitas yang “bermasalah” dengan program Ahok atau menguntungkan penjelasan Anies Sandi dari sisi transportasi dan UMKM? Bukankah katanya hadir 75 komunitas? Mana yang lain? Kenapa komunitas ini yang diminta mewakilkan?

Meskipun Ahok Djarot secara brilian dapat menjawab pertanyaan ini, tetapi saya tidak dapat mendiamkan teknik setting-an semacam ini. Kalau setting-an itu terbukti, maka ini adalah sebuah pengkhianatan besar atas sebuah proses demokrasi yang dilakukan oleh KPUD DKI (UNTUK KESEKIAN KALINYA).

Noam Chomsky pernah menunjukkan teknik ilusi kebebasan. Orang-orang seolah diberi kebebasan untuk makan apa saja di meja makan. Padahal koki yang mendesain makanan di meja makan itu sendiri sudah melakukan seleksi ketat sebelum makanan dihidangkan. Para undangan yang ada di meja makan merasa ada semacam “kebebasan” boleh makan apa saja. Padahal koki telah lebih dahulu melakukan seleksi dan agenda. Kebebasan itu menjadi sebuah ilusi, sebab mereka memang tidak makan apa saja. Mereka sebenarnya hanya makan yang dihindangkan oleh Sang Koki.

Demikian pula pertanyaan dari komunitas ini tampak hanya seperti sebuah ilusi yang di-setting oleh seorang koki di belakangnya. Apakah itu KPUD Sumarno? Entahlah. Tetapi, publik memang disediakan kebebasan keanekaragaman komunitas, padahal komunitas itu sendiri sudah diseleksi untuk menghantam calon tertentu atau membantu calon tertentu.

Perwakilan UMKM dengan tema: MENGADU PADA SANDIAGA
“Pak Cagub kami dari dulu pengusaha kecil, selalu memiliki masalah soal permodalan. Walaupun saat ini memang ada program KUR dengan bunga yang lebih rendah dan katanya bisa tanpa agunan. Tapi kenyataannya, kami tidak bisa mendapatkan KUR tersebut karena bank tetap minta agunan. Kalau bapak terpilih, kira-kira, terobosan apa yang Bapak bisa lakukan untuk membantu kami supaya masalah ini bisa diatasi?”

Pemilihan diksi pada pertanyaan ini berusaha menciptakan kontradiksi sehingga muncul drama sosial. Kata-kata yang dipakai adalah: “selalu memiliki,” “walaupun saat ini” “katanya bisa” dan “tapi kenyataannya.” Kata-kata ini menghubungkan kalimat sehingga menciptakan kontradiksi dan oposisi pada suatu situasi. Kata-kata ini dipakai dalam suatu kohesi paragraf untuk menciptakan framing konfrontasi antara masalah yang “selalu” ada, kebijakan kini, dan kenyataan yang tidak sejalan.

Tentu saja, dengan diucapkan oleh seorang anggota komunitas UMKM, maka pertanyaan yang entah dari siapa ini memiliki sebuah legitimasi yang mirip seperti testimonial atas suatu program. Tentu “katanya” yang dimaksud adalah kata petahana, dikuatkan dengan kata “saat ini” yang merujuk pada status quo.

Ini memberi angin segar bagi lawan, yakni Sandiaga, untuk selangkah lebih awal dari petahana. Sebab, ia tidak perlu menyampaikan masalah, tetapi masalah ini langsung datang sendiri dari pelaku usaha atau “orang lapangan.” Tentu ini membuat audiens akan bertanya-tanya, ah, ternyata program petahana tak berhasil juga. Wong, masih ada masalah.

Diksi yang memudahkan Sandiaga juga ada, misalnya adalah kata “terobosan” dan “membantu kami.” Ini jawaban yang sangat mudah untuk Sandiaga. Tentu OK OCE. Anehnya, di berbagai kesempatan di media massa, Sandiaga selalu menggunakan diksi “terobosan” untuk menyampaikan hal terkait dengan OK OCE.

Klop banget! Kebetulan? Saya rasa tidak!

Perwakilan transportasi dengan Tema: MEMPROMOSIKAN PROGRAM ANIES
“Pak, sekarang masih banyak warga yang penghasilan di bawah UMP. Jadi merencanakan tariff Rp 5000 untuk semua angkutan gabungan. Terus tariff transjakarta 3500, sementara online banyak menawarkan bonus potongan. Apakah dimungkinkan tariff yang lebih murah atau digratiskan sekalian Pak. Untuk membantu warga yang kurang mampu dan tertarik naik angkutan umum.”

Sebelum saya masuk ke analisis teks, silahkan pembaca perhatikan baik-baik bahasa tubuh bapak ini. Pada saat Anies berbicara, Bapak ini duduk tegak dan manggut-manggut, berusaha berinteraksi dengan Anies bahwa ia mendukung penjelasannya.

Pada saat Ahok yang bicara, cek lagi di Youtube, eh… Bapak ini melenggos, menghela nafas, memalingkan muka, duduk membungkuk, bersandar pada kursi, dan kemudian melipat tangan di dada. Setelah itu, kaki kirinya digoyang-goyang tanda dia malas mendengar Ahok.

Wat de pak!!!

Sekarang, kita lihat diksi dan paragrafnya yang menurut saya sangat mempromosikan program Anies.

“Jadi merencanakan tariff Rp 5000 untuk semua angkutan gabungan.” Kalimat tersebut, jelas merupakan program transportasi Anies-Sandi yang memang berusaha menyamakan semua harga 5000 untuk semua. Komentar saya, wah… fasih banget ya Bapak ini menjelaskan program Anies.

Untungnya kalimat terakhir tidak mendukung program tersebut, tetapi hanya bertanya sesuatu yang sudah ada di Jakarta, tetapi ditanyakan seolah itu tidak ada. Kalimatnya adalah “Apakah dimungkinkan tarif yang lebih murah atau digratiskan sekalian Pak?”

Saya bersyukur Ahok mampu menggunakan momentum di tengah ilusi ini dengan menajamkan programnya, bahwa gratisan itu sudah ada untuk orang-orang tertentu yakni yang di rumah susun, warga Kepulauan Seribu, dan lain-lain. Fiuf… Kalau ini bener-bener kelihatan warga yang pro-Anies.

3. Perwakilan Rumah Susun dengan tema PENDERITAAN DI RUMAH SUSUN

“Pak, kami ini perwakilan Tegal Rusun Jati Negara, yang direlokasi akibat normalisasi Kali Ciliwung. Kami menderita tidak saja secara ekonomi tapi juga secara mental. Kami benar-benar merasa drop. Saat ini kami tinggal di rusun yang sering bocor, padahal kami harus menanggung beban biaya bulanan terus menerus. Bila Bapak terpilih, Apakah Bapak tega untuk terus menerus membebani kami biaya rusun yang bocor ini?

Tentu, ini sangat merugikan dan memojokkan Ahok Djarot. Sebab, mereka selalu mengedepankan keuntungan tinggal di rumah susun. Untungnya, mereka berbesar hati untuk meminta maaf dan bersedia memperbaiki. Tetapi, tetap saja ini adalah sebuah TONE buruk yang muncul untuk menyerang paslon

Kalimat-kalimat pada paragraf tersebut menggunakan tiga teknik. Yakni: menciptakan drama sosial, menggunakan sumber otoriter, dan pertanyaan retoris yang sesuai dengan kelompok tertentu. Drama sosial itu diciptakan dengan kata “Kami menderita…” “secara ekonomi dan mental” “kami benar-benar merasa drop” “apakah bapak tega…” Ini jelas-jelas kata-kata yang mengandung unsur drama sehingga terdengar impresi penderitaan dari pengguna rumah susun.

Kalimat yang menggunakan sumber otoriter adalah “Kami menderita tidak saja secara ekonomi tapi juga secara mental. Kami benar-benar merasa drop.” Dengan menggunakan kata “kami,” kalimat ini memiliki kekuatan untuk mementalkan program Ahok Djarot yang selalu menunjuk pada komunitas rusunawa yang puas dengan program mereka. Bahkan dalam kalimat mereka, tidak ada sama sekali, pujian atau setidaknya hal baik dari rusunawa. Penanya ini menggambarkan hidupnya menderita sekali akibat kebijakan Ahok Djarot.

Saya tidak akan menyalahkan Bapak ini. Tetapi, saya hanya bertanya, siapa otak di balik pertanyaan ini dan setting-an ini, sehingga terlihat sekali memojokkan paslon 2, tanpa sedikit pun memuji prestasi yang sudah diraih??

Pertanyaan berikutnya cenderung retoris: “Bila Bapak terpilih, Apakah Bapak tega untuk terus menerus membebani kami biaya rusun yang bocor ini?” Teganyaaaa dirimu pak. Mana ada orang yang bisa menjawab, YA saya tega! Ahok harus putar otak dengan keras agar bisa terhindar dari malapetaka pertanyaan retoris yang janggal ini.

Saya bilang, ini bukan pertanyaan! Ini retorika untuk menggambarkan “kebengisan” Ahok, dengan mengkerdilkan diri, “apakah Bapak tega?”

Seperti kalau cewek marahan sama cowok. Ceweknya keluar dari mobil terus jalan. Cowoknya terus mengemudi, dan ceweknya bilang “Apakah kamu tega aku jalan terus?” Nah, ngerti kan, susahnya jadi cowok di posisi ini? Sama juga dengan Ahok.

Penonton dibawa secara emotif untuk bersimpati pada Bapak ini, tidak peduli jawaban Ahok yang rasional seperti apapun! Karena tujuannya memang pemilih emosional, bukan rasional!

4. Komunitas Nelayan dengan tema: MENGADU PADA ANIES SOAL NASIB NELAYAN

“Pak, kami nelayan sudah tinggal di pantai Jakarta turun temurun. Apakah kehidupan kami sebenarnya diakui atau tidak. Jika Iya, apakah kebijakan pemerintah DKI itu… masa depan kehidupan kami itu… saya merasakan hal ini. Karena merasa program lain kayaknya reklamasi lebih diperhatikan sementara kehidupan kami para nelayan diabaikan. Apakah kedua Gubernur akan memperbaiki kehidupan nelayan dan akan mensejahterakan dan apakah mau menghentikan atau reklamasi atau kesejahteraan nelayan. Tolong diperhatikan itu.”

Ini lagi. Super wagu kalau orang Jawa bilang. Sudah jelas, dalam program reklamasi, nelayan memang komunitas yang selama ini vokal. Kenapa tidak didatangkan komunitas guru honorer yang tidak selesai masalahnya waktu Anies jadi Mendikbud? Disini mereka bisa hadir untuk mengkonfrontasi Anies. Tapi yang dihadirkan adalah komunitas nelayan, yang bertanya pada Anies, untuk mengkonfrontasi Ahok. Drama!!!

Diksi yang dipakai dan problematis adalah seperti ini “turun temurun” “diakui atau tidak?” “reklamasi lebih diperhatikan” “kehidupan nelayan DIABAIKAN.” Apa ini? Kata-kata ini jelas digunakan untuk mengkonfrontasi Ahok secara tidak langsung, menggunakan mulut masyarakat kecil, dan mencari solusi melalui Anies. Ini secara tidak langsung menunjukkan bahwa saat ini reklamasi lebih diperhatikan dan nelayan diabaikan oleh petahana.

Maaf, saya tidak hendak memarahi yang bertanya. Saya hendak memarahi desainer yang bermain di belakang ilusi sampah ini. Menurut saya, orang yang bermain di belakang semua ini, sedang mempolitisir situasi, menggunakan mulut wong cilik untuk dijadikan pion bagi serangan kepada Ahok.

Sorry to say, anak pakai popok saja tahu, pertanyaan dari komunitas ini tidak adil. Mereka memojokkan salah satu paslon dan menguntungkan yang lain.

Dan…

Itu….

Busuk…

 

 

 

Foto; Detik

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed