by

Ekonomi Berbagi ditengah Pandemi

Bagaimana memahami nalar membangun ketahanan pangan (sekaligus kemiskinan), ketika yang dilakukan adalah pembukaan lahan baru dari pembukaan areal hutan seluas 500 ribu hektar oleh pelaku ekonomi besar (termasuk korporasi negara alias BUMN), alih2 mengintensifkan strategi adaptasi dan bertahan di level rumah tangga atau petani skala kecil. Atau yang terbaru, revisi UU Minerba yang justru berpotensi melegitimasi pengerukan sumber daya alam pertambangan dengan birokrasi dan prosedur yang lebih longgar.

Atau mungkin justru cara berpikirnya yang perlu diubah: berbagai inisiatif berbagi di tingkat terbawah, bisa jadi dilakukan sejak awal, sebagai bentuk ketidakpercayaan pada negara? Sebagai ekspresi keraguan karena negara tidak akan hadir pada masa krisis seperti masa pandemi sekarang ini? Memang hal ini bukan hal baru, karena dalam krisis seperti berbagai bencana yang terjadi sebelum pandemi, sayangnya memang bukan negara yang hadir pertama sebagai penyelamat. Justru penyelamat pertama adalah jejaring informal seperti paseduluran dan pertemanan, organisasi keagamaan dan sosial, dan jejaring informal lainnya. Negara, seperti inspektur vijay di film India, sering datang terlambat justru ketika sungguh dibutuhkan.

Tapi kalau boleh menawar, bolehkah inisiatif-inisiatif warga ini tidak diganggu dengan kebijakan yang membuat daftar embuh menjadi semakin panjang? Supaya banyak warga bisa bertahan hidup dengan terus berbagi, dan menata nafas supaya tidak makin pendek dan makin terengah-engah di tengah pandemi?

Sumber : Status Facebook Dati Fatimah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed