by

Duluan Mana: Ayam atau Telur, Hukum atau Keadilan?

Oleh: K. El-Kazhiem

Hukum sebagai panglima. Demikianlah jargon yang sering kita dengar soal penegakan hukum di Indonesia. Namun, ternyata hukum lebih mirip seperti pisau dapur; tajam ke bawah, tumpul ke atas. Bahkan, politik-lah yang sering berperan sebagai panglima. Kasus-kasus hukum yang menjerat kalangan elite politik justru diselesaikan secara politis. Kalaupun hukum benar-benar ditegakkan, tapi mengundang kritik publik tentang hilangnya rasa keadilan. Sialnya, hukum sendiri adalah produk dari konsensus politik, yakni hasil dari berbagai rapat, sidang, debat, dan voting yang terjadi di parlemen.

Sampai sekarang, masih banyak perbincangan mengenai esensi penyelenggaraan pemerintahan. Dalam hal ini, penegakan hukum. Seperti apakah negara kita; negara hukumkah, negara berkeadilankah, negara kesejahteraan, atau apa? Jika memang negara hukum, lalu mana yang perlu diprioritaskan; hukum atau keadilan. Sedangkan realitas di masyarakat kita menunjukkan penegakan hukum yang timpang. Kerap diilustrasikan seperti ini; kalau maling ayam dihukum seberat-beratnya, sedangkan maling anggaran malah divonis ringan. Maka dari itu, ada baiknya kita merunut ke belakang mengenai pemikiran-pemikiran tentang negara dan penegakan hukum.

Plato, misalnya, banyak menulis tentang negara. Yang terkenal dan bayak orang tahu mungkin seperti Republic. Plato berpendapat bahwa yang harus memerintah suatu negara lebih baik ialah orang yang arif bijaksana dan bukannya hukum. Alasan yang dikemukannya ialah bahwa hukum tidak memahami secara sempurna apa yang paling agung dan paling adil untuk semua orang dan karenanya tidak dapat melaksanakan apa yang terbaik bagi negara dan rakyat. Orang yang bijaksana menjadi penguasa atau penguasa yang bijaksana adalah seseorang dalam memimpin negara, dan negara harus menerapkan keadilan bagi warganya. Keadilan adalah kebajikan tertinggi dari negara yang baik. Orang yang adil adalah orang yang mampu mengendalikan hasrat dirinya oleh penalaran.

Bagi Plato keadilan dan hukum merupakan substansi dari suatu masyarakat yang membuat dan menjaga kesatuannya. Dalam suatu masyarkat yang adil setiap orang menjalan pekerjaan yang menurut sifat dasarnya paling cocok baginya. Pendapat Plato itu merupakan suatu konsepsi tentang keadilan moral yang dasarnya adalah keselarasan. Keadilan timbul karena pengaturan atau penyesuaian yang memberi tempat yang selarasa kepada aspek-aspek yang membentuk masyarakat. Keadilan terwujud dalam masyarakat bilamana setiap anggota melakukan yang terbaik menurut kemampuan dan fungsi yang selaras untuk dirinya. Adapun penguasa bertugas mendistribusikan fungsi-fungsi kepada masing-masing orang sesuai dengan asas keserasian tersebut. Setiap orang tidak mencampuri tugas dan urusan yang tidak sesuai untuknya. Intervensi pihak lain yang tidak berkompeten dengan fungsi akan menciptakan pertentangan dan ketidakselarasan. Dua hal itu (pertentangan dan ketidakselarasan) adalah inti dari ketidakadilan. Di samping keadilan moral, Plato juga membincangkan keadilan prosedural.

Keadilan prosedural seperti halnya keadilan hukum yang merupakan sarana untuk melaksanakan keadilan moral. Kedudukan keadilan moral lebih tinggi daripada hukum positif dan adat istiadat serta kebiasaan. Pemikiran Plato ini mendasari ungkapan yang terkenal “berikan kepada setiap orang haknya, dan serahkan kepemimpinan kepada ahlinya.” Masyarakat yang adil adalah masyarakat yang di dalamnya setiap orang mendapatkan haknya, dan seseorang memperoleh haknya bilamana ia diberi kedudukan dan fungsi menurut kemampuannya yang paling sesuai.

Pendapat lain yang agak berbeda datang dari Aristoteles, murid Plato, yang juga sering mengkritik pemikiran gurunya itu. Menurutnya, keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia. Kelayakan merupakan titik tengah di antara kedua ujung ekstrim yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Keadilan terletak pada distribusi yang berimbang, jika tidak maka akan terjadi ketimpangan. Sedangkan ketidakadilan adalah yang melanggar proporsi tersebut. Sebagia contoh, misalnya pemerintah menetapkan bahwa, setiap warga yang telah bekerja 4 tahun pada negara diberi tanah 2 are untuk membangun rumahnya. A yang telah bekerja 4 tahun diberi 2 are tanah. Bila B juga memenuhi syarat itu maka ia harus diberi 2 are. Namun bila B baru bekerja 2 tahun dan kemudian perlu diberi tanah, maka luasnya harus 1 are. Ini yang dimaksudkan adil menurut Aristoteles. Jadi, teori keadilannya berdasarkan pada prinsip kesetaraan. Keadilannya bersifat distributif sehingga disebut keadilan distribusi. Dalam distribusi selalu ada keuntungan dan kerugian, maka diperlukan perbaikan ketika terjadi ketimpangan, yaitu dengan mengembalikan pada kesetaraan ketika ada pihak yang merasa mendapat perlakuan tidak adil. Ada pula yang disebut keadilan komutatif yang banyak terjadi dalam hal perniagaan. Secara umum keadilan komutatif adalah keadilan yang memberikan pada setiap orang yang sama banyaknya dengan tidak mengingat jasa-jasa perseorangan. Ia memegang peranan dalam tukar-menukar; pada pertukaran barang-barang dan jasa-jasa,dalam sebanyak mungkin harus terdapat persamaan antara apa yang dipertukarkan. Bila distribusi keadilan tidak setimbang, akan banyak kecurangan, kekacauan, dan ketidakadilan.

Plato menekankan keselarasan sedangkan Aristoteles menitikberatkan pada proporsi kesetimbangan. Melompat ke masa sekarang, tampaknya perdebatan soal keadilan masih berlangsung. Antara aliran Plato dan Aristoteles. Sebenarnya banyak sekali, tapi ada yang cukup sering dibahas, yaitu antara John Rawls dan Robert Nozick.

Dalam bukunya, A Theory of Justice, John Rawls bermaksud mengembangkan suatu konsep dan praktik yang menghasilkan asas-asas keadilan. Persoalan keadilan, dalam pandangannya, akan timbul jika suatu masyarakat menilai lembaga-lembaga dan praktik-praktiknya dengan tujuan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan yang sah saling bersaing, dan juga ketika tuntutan-tuntutan yang diajukan masyarakat saling bertentangan. Untuk menyelesaikan pertentangan itu perulah ditetapkan serangkaian aturan yang adil sehingga hasilnya juga adil. Hasil itu berupa asas-asas untuk pranata dan praktik yang adil.

Asas-asas keadilan menurut Rawls dapat ditentukan dengna semacam proses perjanjian di antara anggota-anggota masyarakat dengan mengindahkan antara lain kerja sama manusia, moralitas, pilihan rasional, dan apa yang disebut primary goods atau hal-hal utama yang ingin diperoleh setiap orang. Untuk mewujudkan proses perjanjian kesepakatan atau common ground itu diperlukan posisi orisinal (the original position) dan selubung ketidaktahuan (veil of ignorance). Suatu kerja sama antarsesama terjadi jika orang-orang tidak mengetahui dan belum dapat mempertimbangkan kedudukan atau posisi mereka yang khusus dalam masyarakat. Posisi orisinal dan selubung ketidaktahuan itu menjamin bahwa, dalam melakukan suatu pilihan rasional, orang-orang tidak berada dalam posisi untuk membuat pengecualian demi keuntungan mereka pribadi atau menyelewengkan keputusan menurut kepentingan pribadi/golongan sendiri.

Asas atau prinsip keadilan harus berpijak pada;

  1. Setiap orang hendaknya memiliki suatu hak yang sama atas sistem menyeluruh yang luas mengenai kebebasan-kebebasan yang mendasar (basic liberties).
  2. Perbedaan sosial dan ekonomi hendaknya diatur sedemikian rupa sehingga memberikan manfaat bagi mereka yang berkedudukan paling tidak beruntung, dan juga harus bertalian dengan jabatan serta posisi yang terbuka bagi semua orang berdasarkan kesetaraan kesempatan yang layak.

Prinsip keadilan yang pertama menyangkut distribusi dari kebebasan-kebebasan dasar yang perlu disebarkan secara merata untuk setiap orang. Kebebasan-kebebasan itu termasuk dalam pengertian primary goods, artinya ada pemenuhan hak seluruh warga negara tanpa terkecuali. Sedangkan prinsip keadilan yang kedua berkenaan dengan kekuasaan jabatan, kedudukan, sosial, penghasilan dan kekayaan. Menurut Rawls, bukan suatu ketidakadilan apabila ada manfaat-manfaat lebih besar yang diperoleh kelompok yang termarjinalkan asal dengan itu keadaan mereka yang tidak beruntung bisa menjadi lebih baik.

Praktik dari prinsip-prinsip keadilan ini adalah dengan penyusunan pranata-pranata masyarakat, seperti sosial, ekonomi, politik, dan hukum. Tugas dari pranata-pranata ini adalah memelihara dan meningkatkan kebebasan dan kesejahteraan individu. Itulah hak utama setiap orang, primary goods, yang harus dijamin dalam konstitusi, undang-undang, dan peraturan hukum yang berlaku di suatu negara.

Robert Nozick menanggapi pandangan Rawls dalam bukunya Anarchy, State, and Utopia. Tanggapan yang diberikan olehnya adalah tentang perbedaan antara prinsip-prinsip historis keadilan dan prinsip-prinsip non-historis tentang keadilan. Keadilan tidak cukup dilihat dari segi kemanfaatan distribusi. Keadaan-keadaan atau tindakan-tindakan orang pada masa lampau secara historis dapat menciptakan kepemilikan hak yang berbeda. Dalam hubungannya dengan distribusi kemanfaatan, harus terdapat sebuah aturan atau standar umum yang berlaku bagi semua pihak agar dapat dikatakan adil. Pada kenyataannya, ketika keadilan didistribusikan, ada keadilan yang terpolakan dan ada juga yang tidak terpolakan.

Suatu prinsip keadilan menjadi terpolakan bilamana ada serangkaian ciri yang menetapkan sacara pasti bagaimana distribusi itu harus dijalankan. Prinsip keadilan yang terpolakan begini, tidak dapat disetujui Nozick sebab pembagian seperti itu merupakan pelanggaran terhadap kebebasan orang. Oleh karena itu, ia mengembangkan prinsip tak terpolakan yang merupakan teorinya tentang kepemilikan hak. Suatu distribusi dikatakan adil kalau setiap orang memiliki apa yang ia berhak atasnya. Pemilikan hak itu ditentukan menurut perolehan hak milik semula, pemindahan hak milik, dan pengakuan hak milik. Dalam konsepsi Nozick, setiap orang berhak atas apa yang telah dikerjakannya atau yang secara bebas diterima dari orang lain berdasarkan pemindahan hak milik. Sebagai contoh, seseorang menggarap sebidang tanah bebas yang tidak pergunakan dan tidak dimiliki orang lain. Dari jerih payahnya mencangkul tanah, menanam bibit, dan mengairi tanamannya, ia berhak atas buah-buahan hasil panenannya.

Namun dalam suatu masyarakat, keterbatasan sumber daya atau kelangkaan benda sangat mungkin terjadi sehingga asas historis dan pemilikan hak saja tidak menciptakan keadilan. Dalam hal ini, ia menyatakan bahwa setiap orang memiliki suatu hak terhadap suatu benda yang telah dimiliki selama pemilikan orang itu tidak memperburuk situasi dari orang lain. Selanjutnya, apa yang seseorang telah peroleh secara adil dapat diserahkan kepada orang lain. Setiap orang pun berhak atas sesuatu jika ia memperolehnya tanpa mengganggu orang lain, atau kalau ia menerimanya sebagai suatu pelimpahan hak milik dari orang lain tanpa mengganggu situasi orang lain.

Lantas bagaimana kaitannya antara hukum dan keadilan? Ada yang berpendapat bahwa hukum adalah keadilan. Ada juga yang berpendapat bahwa hukum dapat mencederai keadilan. Setiap hari kita berhadapan dengan banyak situasi yang kurang/tidak adil, mulai dari komunitas yang paling kecil dalam keluarga sampai dengan komunitas umum di di dunia, baik itu terjadi dalam kehidupan masyarakat umum maupun yang terlihat dalam kehidupan berbagai komunitas dan organisasi masyarakat. Mereka yang memangku wewenang untuk menjaga keadilan justru menjadi pelopor utama yang melakukan ketidakadilan, mereka yang berkotbah memberantas ketidakadilan justru menjadi pencipta ketidakadilan. Intinya, masyarakat sebagai konsumen hukum tidak lagi dapat menikmati cita rasa keadilan sehingga masyarakat hanya mendapatkan ketidakadilan.

Hukum dianggap bukan lagi tempat yang kondusif untuk menciptakan keharmonisan dan keserasian sosial, bahkan hukum telah menjelma menjadi neo-imperium (penjajah baru) di mana keadilan telah tereliminasi dan hukum menjadi oposisi dari keadilan. Ketika masyarakat menuntut keadilan, hukum begitu reaktif dengan melakukan rasionalisasi prosedural hukum, kualitas kepastian dan alasan-alasan lainnya. Masyarakat begitu apatis terhadap hukum karena hukum telah kehilangan kepercayaan. Masyarakat lebih memilih jalan sendiri untuk menyelesaikan konflik yang mengganggu kepentingan sosial. Persoalan ini mungkin dikarenakan supremasi hukum tidak lagi dijiwai roh keadilan.

Hukum positif negara pun bisa saling tumpang tindih dan bertabrakan. Seseorang bisa terjerat suatu kasus oleh karena sesuatu yang tidak diperbuatnya. Misalnya, pejabat dinas pendidikan di sebuah kota yang melakukan pengadaan buku secara langsung. Ia merujuk pasal X Permendiknas, tapi aparat pengawas menyalahkan dengan merujuk pasal Z Permendiknas sehingga menuduh pejabat itu melakukan korupsi karena melanggar pasal Z. Padahal, dia tidak mencuri atau “makan” uang negara sama sekali, karena dia menggunakan uang sesuai dengan pasal X yang juga diatur dalam Permendiknas atau pejabat berwenang yang lain dan buku yang dibeli memang ada serta dapat dijadikan barang bukti. Artinya, pejabat itu dijerat kasus korupsi bukan karena kesalahan dia, tapi kesalahan yang ada pada pasal yang berbeda sehingga persoalan sebenarnya bukan pada pejabat, tapi persoalan ada pada peraturan yang bertentangan. Apakah itu adil bagi si pejabat yang tertuduh korupsi itu. Antara kepastian hukum dengan keadilan berjalan saling mendesak berebut tempat untuk mencapai tujuan pergerakannya, dan ketika kita bicarakan lagi soal keadilan maka kita kembali merunut ke belakang ibarat duluan mana; ayam atau telur. Lebih prioritas mana; keadilan atau hukum?

ps. Mungkin lebih baik ayamnya dipotong dan telurnya didadar, gitu aja kok repot.
 

Sumber: kupretist.wordpress.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed