by

Dongeng tentang Yang Hilang

 

Dengan berat hati, para hewan jantan melepas kelaminnya. Ditaruh di lemari pendingin, agar tetap fresh jika banjir telah surut. 
“Dinosaurus,” berkata panitia kelamin yang barusan dibentuk, “karena punya kamu paling besar, letakkan paling atas!”
Dinosaurus dengan lemas mencopot kelamin, dan meletakkannya di rak paling atas. 
“Selanjutnya, Gajah, letakkan di bawahnya,” seru panitia lagi, yang agaknya menetapkan aturan mulai dari yang berkelamin terbesar hingga terkecil. Di situ tak diatur ukuran terpanjang atau terpendek.
Begitu seterusnya. Hingga kemudian Semut mendapatkan giliran.

Hatta, banjir pun surut. Kapal Nabi Nuh kandas di sutau tempat. Entah di mana, mungkin di pulai Jawa, di puncak gunung Padang ‘ngkali.
Panitia kelamin belum mengatur soal pengambilan kelamin, tapi Gajah sudah mendahului diam-diam. Ia mengambil kelamin Dinosaurus. Bisa jadi karena mendengar keluhan isterinya, karena kelaminnya kecil dan pendek. Bisa jadi lho, nggak usah sensi sampai mesti lari ke Mekkah, nggak pulang-pulang.
Tentu saja akibatnya terjadi kekacauan. Dinosaurus kehilangan kelamin. Yang lain pun khawatir, jangan-jangan kelaminnya hilang. Maka terjadilah saling dorong, berebutan, untuk segera mendapatkan kelamin masing-masing.
Semut, binatang yang terkecil di situ, tak menemukan dimana kelaminnya. Mungkin ketendang, keinjek, atau hancur karena kekacauan tadi. 
Sebagai hewan yang berjiwa besar, bersumbu panjang, dan bukan penghuni bumi datar, Semut jantan tetap mencari dimana alat kelaminnya berada. Bahkan hingga kini. Walau pun teknologi sudah bisa membuat kelamin tiruan, dan bayi tabung atau kawin suntik, Semut tetap mencari kelamin aselinya.

Itulah sebabnya, dan sejarahnya, kenapa para semut selalu berciuman jika papasan. Bukan sejarah yang dikarang-karang, terus dibikin film, dengan membeli sutradara kondang. Dialog mereka khas. “Sudah ketemu belum?” tanya semut yang satu. “Belum,” jawab lainnya. Semut yang satu pun menukas, “Ya, udah, cari terus sampai ketemu,…!”

 

(Sumber: Sunardian Wirodono III)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed