by

DKI Terpaksa Berutang karena APBD Tekor

Sesuai otonomi Anggaran, maka Gubernur harus berusaha mencari kekurangan pendapatan itu untuk menutupi biaya operasional dan pembangunan daerah. Solusi ada dua, pertama mengurangi APBD. Itu sudah dilakukan oleh Anies, yaitu memangkas APBD hampir separuh, yaitu 47 persen. Dari angka total awal Rp87,9 triliun APBD, menjadi TA 2020 sebesar Rp47,1 triliun. Tetapi tetap saja walau sudah dipangkas hampir separuh, masih belum cukup menutupi belanja. Maka solusi kedua yaitu melalui talangan kepada Pemerintah Pusat. Tetapi secara UU tidak dibenarkan. Cara lain adalah meminjam.
Darimana saja sumber pinjaman itu? Pemda bisa pinjam ke Pemerintah Pusat lewat dana investasi pemerntah pusat, atau melalui pinjaman dari luar negeri yang diteruska melalui pemeirntah pusat. Kalau cara itu sulit, pemda juga bisa berhutang kepada Pemda lain yang duit cadangannya besar. Kalau pinjam ke Pemda lain sulit, Pemda bisa pinjam ke Bank atau lembaga keuangan non bank. Biasanya pinjaman kepada Bank, itu berjangka pendek untuk mengamankan arus kas. Jangkan panjang biasanya ke lembaga keuangan non bank. Namun biasanya ditindak lanjuti dengan exit penerbitan municipal bond atau Obligasi daerah.
Namun syarat agar pemda boleh pinjam juga engga mudah. Mereka harus mengikuti standar kepatuhan yang ditetapka oleh UU. Syarat pertama adalah total hutang tidak melebihi 75% dari Jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya. Apa itu penerimaan umum? adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai pengeluaran tertentu. Artinya kalau ada saldo hutang sebelumnya, maka jumlah yang bisa ditarik sisanya tanpa melewati maksimum 75% dari jumlah penerimaan umum. Khusus pinjama ke pemerintah pusat , tidak boleh ada saldo tunggakan hutang.
Apakah cukup syarat itu? Oh tidak. Masih ada lagi syarat, yaitu harus memenuhi Debt Service Coverage Ratio/DSCR) atau rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman. DSCR itu minimal 2,5 angsuran pokok + Bunga dan biaya lain. Artinya minimal leverage pemda itu sebesar 2,5x.
Nah dalam hal Pemrof DKI, pinjaman dilakukan melalui lembaga keuangan non Bank, yaitu SMI, PT Sarana Multi Infrastruktur. Pinjaman yang diajukan sebesar Rp 4,5 triliun untuk tahun 2020 dan Rp 8 triliun untuk tahun 2021. Anggaran tersebut akan digunakan untuk membiayai pembangunan infrastruktur yang terkendala dana, utamanya sektor pelayanan air minum, pengendalian banjir, pengolahan sampah, transportasi, pariwisata, dan olah raga. Karena Pinjaman ini jangka menengah, maka harus ada persetujuan dari DPRD.
Saya tidak yakin Anies berserta jajarannya bisa menggunakan dana pinjaman dari SMI. Walau plafond kredit sudah ada, akan mengalami kesulitan mencairkan. Mengapa ? karena syarat pencairan mengikuti standar perbankan. Harus memenuhi syarat kepatuhan perbankan yang ketat. Apalagi pinjaman tanpa collateral. Aparat Pemrof DKI di bawah Anies tidak punya culture menggunakan sumber pembiayaan dari luar APBD. Lah dana yang tersedia di APBD saja susah mereka cairkan, karena perencanaan yang tidak konkrit. Apalagi dana dari utang kepada lembaga keuangan non bank.
Saran saya daripada utang kepada SMI, lebih baik Anies manfaatkan skema pembiayaan non anggaran. Seperti pembangunan infrastruktur lakukan dengan skema KPBU atau PPP. atau lewat skema BOT. Sementara untuk dana pendamping pengendalian banjir dapat di dapat dari pajak tambahan atas kawasan reklamasi yang sudah dapat IMB. Atau bisa juga melakukan lelang atas kawasan yang sudah ditetapkan sebagai kawasan strategis kepada swasta, dengan kompensasi mereka harus menyediakan dana pendamping pengendalian banjir. Tirulah Ahok yang begitu besar dana SiLPA karena sebagian besar pembangunan dari luar APBD. Ingat, semakin kecil dana Pemda keluar, semakin besar peran serta swasta, semakin hidup demokrasi wilayah.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed