by

Diplomasi Nasgor 212

 

Dalam dunia kuliner se jagat raya, sudah dinyatakan rendang dan nasgor masakan terlezat di dunia. Kita tidak tahu, apakah itu gara-gara Obama, atau memang lezat beneran.

Kita bahas soal nasgor. Nasgor olahan Mas Misno di Gejayan, atau Madame Tan? Sama-sama nikmat, meski harganya bisa beda jauh. Nasgor di Ndhoring, atau langganan Pak Kayam di Brigjen Katamso Yogya? Bisa beda-beda lagi. Cuma, menurut saya, Nasgor 212 nggak ada yang cocok di lidah Jawa saya! Rasanya terlalu timteng.

Mengapa nasgor banyak disuka? Itu menunjukkan betapa lebih banyak orang terpepet daripada tidak. Sama dengan fast-food, kenapa disukai. Lihat saja iklan biscuit, yang mengatakan ‘mana sempat’ sarapan karena keburu telat?

Semua terburu-buru, gara-gara bangun telat. Kenapa bangun telat? Karena tidur lambat. Kenapa tidur lambat? Karena nglembur atau banyak kerjaan? Nggak juga. Lebih banyak waktu habis untuk sosialita. Rame-rame atau sendirian di kamar bergadget ria.

Whatsappan sampai nggak sadar mata capek, dan akumulasi penyakit ditabung sedikit demi sedikit. Tahu-tahu, sudah 74 tahun merdeka, jalan toll dan jembatan saja masih kayak jaman penjajahan Belanda dulu! Dan tiba-tiba, ada Ketua MPR yang bilang, “Belanda masih jauh!”

Nasgor adalah menu favorit, karena sebagaimana makanan, dia harus bisa menampilkan citarasa yang prima dari asal muasalnya. Secara historiografis dan sosiologis, nasgor dari nasi re-use, olah-ulang, didaur-ulang dengan cara menggoreng setelah sebelumnya ditanak.

Bagaimana matang itu dimatangkan lagi? Tentu saja dalam proses penggorengan, citarasa adalah soal bumbu juga minyak goreng. Topingnya, tentu juga harus diperhitungkan. Kayak ayam suwir, abon, telur, irisan kobis, timun, tomat, kacang, atau pete. Apanya yang tidak enak jika demikian?

Tetapi masakan daur ulang itu hanya bagus disantap selagi panas, atau anget. Begitu dingin, lagi-lagi hanya orang kelaperan yang doyan. Apalagi dengan minyak jenuhnya. Ia akan menjadi sponsor pengentalan darah yang efektif. Jadi, secara hygienis, nasgor tidak sangat dianjurkan sebagai makanan pokok, kecuali kepepet.

Makanya wajar, kepepet presidential threshold terpaksa deh ketemuan, pakai diplomasi nasgor dengan banyak toping sebagai pencitraan. Jangan mbayangin nasgor Cikeas. Bayangkan saja nasgor di sebuah wajan penggorengan. Apa yang bisa dihasilkan dari sebuah diplomasi nasi goreng, jika bukan BAB hasil ramuan nasi goreng?

Nah, lihat saja hasil dari diplomasi nasgor, entah karena berasnya beras kamuflase yang maknyus sudah dikorupsi, oplosan, atau nasi bulukan, kita tidak tahu. Tapi menyatakan situasi ekonomi Indonesia buruk, jauh lebih lucu daripada penilaian bahwa presidential threshold 20-25% itu lelucon paling membodohi rakyat.

Jokowi berpidato cukup futuristic di Balairung UGM belum lama lalu. Pidato untuk generasi Y yang bukan generasi alay karena terkena minyak oplosan dalam nasgor. Bahwa 5-10 tahun mendatang, gadget atau smartphone akan mengendalikan kita. Jika ramalan Jos Stein benar, dusta apalagi yang bisa kau gelapkan? Semua data gampang diunggah dan diakses, tetapi artinya juga yang asal njeplak akan dipermalukan.

Kita nggak tahu, bagaimana tiba-tiba dengan pertemuan diplomasi nasgor itu, yang muncul adalah; Bahwa kini rakyat tidak perlu cemas, karena ada kekuatan moral baru, yang akan membela mereka. Lha, selama ini kemana saja, Bapak? Memang bisa puyeng jika melihat apa yang dituliskan oleh Rhenald Kasali, apalagi bagi kelas menengah atas yang mulai kegeser karena ekonomi biaya tinggi dan koruptifnya.

Berubah itu memang sulit. Tidak mau atau tak mampu berubah, jadinya puna-puni, tipu sana tipu sini. Di jaman ini, hanya orang bodoh yang berpendapat pemerintahan bisa berkuasa secara absolut. Senyatanya, presiden masa kini adalah presiden yang tersandera oleh demokrasi tanpa batas. Lihat misalnya, Natalius Pigai, komisioner Komnas HAM, pun ikut demo di atas bak truk komando Alumni 212, menuntut kebebasan berserikat dan berkumpul. Kita tidak tahu, apakah Pigai ini kebanyakan hamburger atau kebanyakan nasgor?

Maka, jaga kesehatanmu, jangan terlalu banyak makan nasgor. Apalagi yang pencitraan rasanya berlebihan. Bagaimana pun juga, nasgor bukan nasfresh. Kita tidak membutuhkan lagi yang bau-bau baheula; macam soehartoisme, militerisme, atau orbaisme yang jadulisme. Kita tidak butuh Indonesia yang bulukan. Apalagi Indonesia yang digoreng pakai minyak jelantah.

 

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed