by

Diantara Sekolah dan Covid 19

Karenanya yang harus difikirkan terkait dengan karakter anak-anak adalah tentang protokol kesehatan yang belum tentu mudah diterapkan kepada anak-anak. Terlebih kebiasaan anak yang lebih suka bergerombol, yang itu artinya satu poin untuk menjaga jarak akan sulit dikontrol, apalagi selepas dari sekolah.

Selain itu setiap sekolah membutuhkan biaya yang tidak kecil untuk menerapkan protokol kesehatan. Risiko terburuknya adalah, ketika ada satu saja yang terpapar, sangat mungkin menulari kawan atau gurunya, utamanya sekolah-sekolah yang menggunakan AC.

Oleh sebab itu, penulis cenderung menyikapi kemungkinan terburuk, sambil menunggu vaksin siap pakai. Setidaknya hingga Januari 2021. Tentu saja tanpa mengabaikan betapa beratnya tugas tambahan para ibu bangsa yang kini mulai banyak mengeluh betapa repotnya menjadi guru pendamping di rumah.

Proses belajar daring itu tidak mudah dan banyak kelemahannya, selain risiko yang mungkin tidak diketahui pihak terkait, semisal ketikaanak-anak bergerombol di tempat yang ada Wifi gratisnya. Yang pasti bagi penulis, jauh lebih terhormat mereka yang silang pendapat tentang sekolah tapi percaya dan peduli sehat serta percaya adanya Covid-19, ketimbang mereka yang tidak percaya Covid-19. Apalagi kepada mereka yang ikut gerakan “Tidak Pakai Masker.”

Karena yang anti dan nyeleneh inilah yang ikut menghambat penanganan Covid-19. Pemerintah dan tenaga medis tentu menjadi semakin repot, sebab bukan saja harus menyiapkan vaksin untuk Covid-19, tapi juga negeri ini butuh vaksin kebodohan, vaksin mental ndableg, dan vaksin sok tau.

Salam NKRI Sehat

Sumber : Status Facebook Wahyu Sutono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed