by

Demokrat Di Persimpangan Jalan

Bukan hanya Presiden Jokowi dianggap tak terlibat, SBY juga meyakini bahwa sejumlah pejabat pemerintah seperti Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan Mahfud MD, Menkumham Yasonna Laoly, Kapolri hingga Kepala Bin hanya dicatut saja namanya oleh Moeldoko.
Moeldok disebut dalam benderang. Pantaskah Moeldoko marah?
Anehnya, kabar terakhir datang dari Kader Muda Demokrat (KMD) Aswin Ali Nasution yang berujar ingin membuat KLB di mana Moeldoko dicalonkan sebagai Ketua Umum dan gilanya, Ibas ,anak bungsu sekaligus adik sang Ketua Umum AHY, dijagokan untuk menjadi Sekjend.
“Loh pak Moel kan bukan kader, emang boleh?”
“Tidak ada satu klausul pun yang AD/ART partai Demokrat calon ketua umumnya itu harus memiliki KTA artinya ruang itu memang terbuka,” demikian kata Aswin.
“Serius sudah separah itu? Apakah gak sayang Partai Nasionalis sebesar itu harus runtuh dari dalam?”
Seharusnya selesaikan saja dari dalam. Cari solusi dengan berbicara tanpa berisik dan tetangga dengar. Penyebutan nama Moeldoko apalagi dengan narasi dialah seolah kambing hitam atas semua kegaduhan itu justru bencana. Itu sama artinya mengundang orang luar masuk.
Dan pak SBY pasti sangat tahu bagaimana cerita sebuah Partai Polititk dengan mudah bisa berpindah tangan. Adanya dualisme, ribut dan terakhir undang Pemerintah melalui Kemenkumham.
Dulu, sewaktu pak SBY berpangkat Brigadir Jendral dan menjabat sebagai Kasdam Jaya, beliau tahu persis bagaimana proses berpindah tangannya kepemimpinan Partai PDI dari Megawati ke Soerjadi.
Dualisme kepemimpinan Partai di PDI tahun 1996 mengundang Pemerintah untuk melakukan intervensi. Sejarah mencatat bahwa 27 Juli 1996, menjadi salah satu lembaran hitam dalam perpolitikan di Indonesia.
Sebab, peristiwa yang dikenal dengan sebutan “Kudatuli” atau Kerusuhan 27 Juli itu menjadi pengingat bahwa dualisme partai politik yang terjadi di Indonesia dapat berujung perebutan pimpinan partai.
Bukan hanya itu, terkhusus pada peristiwa kudatuli bahkan telah terjadi tragedi yang mengakibatkan korban jiwa.
Peristiwa Kudatuli berawal dari upaya pengambilalihan kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro Nomor 58, Jakarta.
Saat itu, kantor DPP PDI yang dikendalikan oleh pendukung Megawati Soekarnoputri berusaha dikuasai oleh pendukung Soerjadi.
Megawati adalah merupakan ketua umum PDI berdasarkan hasil Kongres Surabaya pada 1993 untuk kepengurusan 1993-1998. Sedang Soerjadi terpilih berdasarkan hasil Kongres Medan pada 22 Juni 1996 untuk periode 1996-1998, sebulan sebelum Peristiwa 27 Juli terjadi.
Pemerintahan Orde Baru saat itu merasa berhak untuk ikut masuk guna menyelesaikan permasalahan tersebut. Siapa yang menang, tentu yang lebih dekat pada pemerintah. Dalam hal ini Soerjadi.
Bahwa itu mengakibatkan munculnya korban jiwa yang tak sedikit, tahu sendiri kan jaman itu jaman semua diselesaikan dengan kekuatan senjata?
Pak SBY sangat paham bagaimana cerita ini bergulir.
Ketika SBY telah menjadi Presiden, peristiwa dualisme kepemimpinan partai kembali terjadi. Kali ini PKB.
Tahun 2008 muncul dua bersi PKB yakni PKB hasil MLB Parung di bawah GusDur dan PKB hasil MLB Ancol di bawah Muhaimin.
Keduanya sama-sama menggelar Muktamar Luar Biasa (MLB). 30 April-1 Mei 2008, kubu Gus Dur menggelar MLB di Parung, Bogor, dan kubu Muhaimin menggelar MLB pada 2-4 Mei 2008 di Ancol.
Kubu siapa yang menang dan akhirnya diakui legalitasnya, di sana peran pemerintah sangat besar. Ini politik. Bukan soal benar dan salah, seringkali ini hanya soal kemana si pemimpin partai yang sedang ribut itu menampakkan keberpihakannya. Semua tahu bagaimana akhir cerita itu.
Dan PKB pada 2009-2014 masuk menjadi partai koalisi pemerintah dimana sang Ketum menjadi Menaker.
Ini juga bukan tentang siapa lebih baik, SBY sebagai Presiden atau Jokowi, ini adalah cerita tentang politik.
Demikian pula peristiwa yang sama pun juga terjadi pada pemerintahan Jokowi. Kali ini PPP. Dualisme partai berlambang kabah ini memunculkan nama Romahurmuziy di satu sisi dan Djan Faridz pada sisi yang lain.
Dualisme itu sekali lagi mengundang sekaligus memberi celah bagi pemerintah untuk terlibat. Siapa yang menang, adalah dia yang lebih bisa diterima oleh pemerintahan saat itu.
Romahurmuziy memamg terlihat sangat dekat dengan Jokowi. Bahwa dia akhirnya tumbang dan diangkut ileh KPK, itu cerita berbeda.
Ketika Tommy Soeharto demikian yakin akan kembali bangkit karena memiliki kendaraan Partai yakni Berkarya, itu jelas sikap yang memunjukkan bahwa dirinya belum terlalu matang dalam berpolitik.
Siapa di belakang Muchdi PR sehingga mampu menyelenggarkan munaslub partai Berkarya dimana Ketuanya yang terdahulu adalah orang yang sangat kuat, sekaligus duitnya sangat banyak, tak seorang pun yang tahu. Itu akan tetap menjadi rahasia Muchdi.
Dualisme kepengurusan pun muncul setelah Partai Berkarya menyelenggarakan Munaslub pada 11 Juli 2020. Sekali lagi, pemerintah harus memilih karena itulah salah satu tugas mereka.
Lewat putusan Kementerian Hukum dan HAM pada 30 Juli 2020, pemerintah memutuskan Muchdi PR sebagai ketua umum partai menggantikan Tommy Soeharto.
Bagaimana dengan Tommy, dia tak lagi punya kendaraan dalam aksi politiknya. Dia hanya Tommy yang duitnya banyak namun sulit baginya maju dalam ranah politik.
“Apa hubungannya dengan Partai Demokrat?”
Partai Demokrat itu aset negara. Aset bagi demokrasi kita. Sangat disayangkan bila partai sebesar itu harus jatuh. Tak mungkin partai sebagus dan sebesar itu akan dibiarkan tenggelam. Bahwa di dalamnya kini sedang terjadi riak-riak dan sedkit gelombang yang tampak makin besar, partai itu pasti selamat.
Dia masih kendaraan yang sangat bagus bagi mereka yang ingin ngebut dalam politik. Bukan kendaraan itu kini yang sedang bermasalah, pengemudi di dalamnya sedang tak enak badan.
Akan terus mengeluh dan orang bosan dengar keluhannya dan kemudian dijadikan polemik dan kemudian pemerintah diundang masuk ke dalamnya, itu pasti bencana bagi dia yang saat ini menjadi pengemudi berikut seluruh crew-nya.
Moeldoko dan Ibas sudah mulai terdengar disandingkan. Bisa saja ini “guyon” tak lucu karena yang menarasikannya bukan mereka yang profesional. Namun menyepelekan suara itu dan masih sibuk mencari kambing hitam atas tak kompak warganya di dalam, itu adalah awal mereka yang di dalam sana terbuang dan tergusur.
Tommy Soeharto pernah. Gus Dur dan bu Megawati juga merasakan pahitnya skenario jahat itu. Djan Faridz bisa tertawa karena rasa marahnya telah diobati dengan fakta bahwa Romahurmuziy diangkut KPK.
Lantas, impossible-kah seorang SBY mendapat derita yang sama?
.
.
RAHAYU
.
Sumber : Status Facebook Karto Bugel

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed