by

Demokrasi Mengembalikan Politik Islam ke Jalur yang Benar

Ciri lain dari kerajaan adalah pengganti penguasa berasal dari keluarganya sendiri. Mu’awiyah mengangkat Yazid, anaknya, sebagai penggantinya. Menurut Ibn Khaldun, itu dilakukan Mu’awiyah demi menjaga stabilitas negara, meski Mu’awiyah tahu anaknya seorang fasik. Sejak itu jabatan khalifah bergilir turun temurun berdasarkan jalur nasab, bukan memilih orang yang terbaik. Itu sebabnya, karakter khilafah telah berganti menjadi kerajaan.

Sadar bahwa akan ada penolakan dari para sahabat Nabi yang masih hidup, Mu’awiyah datang ke Madinah dan melobi anak Abu Bakar dan Umar bin Khattab. Pertama dia datangi Abdurrahman bin Abu Bakar. Mu’awiyah mengklaim bahwa pemilihan khalifah berdasarkan penunjukan khalifah sebelumnya adalah tradisi khalifah pertama Abu Bakar yang menunjuk Umar sebagai penggantinya. Abdurrahman menjawab kalem, “Tapi Abu Bakar tidak menunjuk anaknya, kan?”

Lantas Mu’awiyah melobi Abdullah bin Umar, kemudian Abdullah bin Zubair. Ketiganya menolak memba’iat Yazid sebagai putra mahkota pengganti Mu’awiyah. Namun yang disampaikan Mu’awiyah berbeda lagi. Beliau berkhutbah bahwa Yazid, anaknya, telah didukung oleh ketiga sahabat besar itu. Demikian yang dikisahkan Imam al-Suyuthi dalam kitab Tarikh al-Khulafa secara detail dan terang benderang.

Sejak itu berdirilah Dinasti Umayyah selama 90 tahun (661-750). Kemudian digantikan oleh Dinasti Abbasiyah dan lainnya. Dalam masa khilafah yang berganti wujud menjadi kerajaan itu kesalahannya tetap sama: menjadikan khalifah sebagaimana layaknya seorang raja yang berkuasa turun temurun berdasarkan jalur nasab tanpa melibatkan aspirasi rakyat.

Ketika khilafah bubar tahun 1924, sebagian negara-negara Muslim yang telah berubah menjadi negara bangsa (nation state) mengadopsi demokrasi, di mana rakyat dilibatkan memilih pemimpinnya, baik langsung maupun tidak langsung.

Proses bai’at yang natural seperti yang terjadi pada 30 tahun pertama khalifah Islam, bukan berdasarkan pemaksaan seperti periode dinasti Umayyah dan Abbasiyah, dimodifikasi menjadi sistem pemilu oleh demokrasi. Proses penjaringan kandidat melalui panitia enam orang yang dibentuk Khalifah Umar terwakili dalam proses di parlemen, sebagaimana kita lihat di sejumlah negara modern.

Kita mengenal beraneka ragam mekanisme pemilu maupun sistem parlemen di negara yang berbeda: semuanya itu bertujuan mengembalikan kekuasaan pada jalur yang hakiki, yaitu mencari pemimpin terbaik yang dipilih oleh rakyat. Inilah tradisi khilafah ‘ala minhajin nubuwwah (khilafah berdasarkan apa yang digariskan oleh ajaran Nabi Muhammad). Demokrasi telah mengembalikan umat Islam ke jalur yang benar. Demokrasi adalah bagian dari khilafah ‘ala minhajin nubuwwah.

Untuk apa mengejar kemasan khilafah yang isinya telah berubah menjadi kerajaan, sementara kini kita telah memiliki kemasan demokrasi, yang isinya justru lebih islami? Anda memilih minyak babi cap unta, atau minyak samin cap babi? Anda lebih suka kemasan, atau substansinya, sih? Mikirrr!**

Sumber: facebook Nadirsayh Hosen

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed