by

Daripada Bermusuhan Lebih Baik Tidak Berteman

Sumpah, saya kaget banget membaca messagenya. Kok tiba-tiba anak ini bisa berubah 180 drajat? Apa yang terjadi dengan Akhmad? Karena penasaran akhirnya saya ajak Akhmad untuk ngopi bareng di sebuah coffee shop di Citos.

“Kok lo mendadak bisa berubah begitu, Mad? Bukannya selama ini lo Jokower?” tanya saya sambil menghirup Hot Cappucinno kesukaan saya.

“Kita selama ini tertipu, Bud. Jokowi itu ternyata serigala berbulu domba,” jawab Akhmad.

“Berbulu domba gimana?” tanya saya kebingungan.

“Selama ini Jokowi cuma pencitraan doang, Bud. Dia berlagak sederhana, berlagak mencintai rakyat, berlagak membangun infrastruktur untuk kesejahteraan rakyat.”

“Membangun infrastruktur kok bisa belagak?” Makin puyeng nih kepala gue.

“Sebetulnya dia pengen ngejual negeri ini ke China, Bud. Semua proyek yang dia bangun semua dikasih ke kontraktor China. Dari perusahaan sampe tenaga buruhnya didatangkan dari China. Emang lo gak tau udah jutaan buruh China menyerbu negeri kita? Padahal rakyat butuh lapangan kerja.”

“Heh? Lo jangan fitnah, Mad. Gue juga denger semua berita itu tapi semuanya datang dari media abal-abal. Dan berita itu semuanya hoax!” kata saya agak keras.

“Hoax gimana? Semua ada datanya. Dan lo tau gak kenapa Jokowi mau ngejual negeri ini ke China?”

“Kenapa?”

“Karena dia keturunan PKI. Lo tau kan China itu negara komunis.” Akhmad bicara sambil berteriak keras sehingga tamu-tamu lain menengok ke arah meja kami.

“Ngaco, lo!!!” kata saya.

“Lo yang ngaco!” bentak Akhmad dengan suara garang! “Gue bersyukur banget akhirnya bisa mengetahui belangnya Jokowi. Dia itu antek Aseng! Bahkan untuk ngejual negeri ini pun dia tega-teganya sampa memusuhi Islam. Sadar, Bud. Sadaaaar!!!”

Suasana mendadak jadi panas. Kami berdebat dengan hebatnya tapi Akhmad justru emosinya semakin tinggi. Saya heran bukan main. Selama ini Akhmad selalu bersikap lemah lembut pada saya. Dia adalah orang yang sangat sabar. Biasanya dia mau ngedengerin pendapat orang lain. Tapi kali ini dia bersikap sangat garang sepertinya siap mengajak berkelahi.

Saya berusaha mendebat Akhmad dengan data-data yang saya peroleh dari media mainstream namun Akhmad semakin murka.

“Goblok! Manusia goblok! Lo gak sadar selama ini diboongin sama Jokowi?” Dia memaki saya dengan kata kasar yang belum pernah sekalipun dia lontarkan ke saya.

“Mad, lo jangan kasar, ya, ngomong sama gue! Jangan bikin gue marah.” Saya memperingatkan.

“Lo yang bikin gue marah! Goblok boleh tapi jangan diborong semua. Insyaf, Bud! Insyaf!”

Saking murka saya berdiri dan mencengkram kerah baju Akhmad dengan tangan kiri sementara tangan kanan siap memukul karena gak tahan dihina seperti itu. Akhmad diam tidak bergerak tapi parasnya juga tidak menunjukkan rasa takut. Dia melotot ke arah saya tanpa mengucap sepatah kata.

Saya masih memegang kerah baju Akhmad. Orang-orang di kafe semua menatap kami dan berharap ada drama yang terjadi di antara kami. Saya mengambil napas berkali-kali untuk meredakan amarah yang bergolak di dada. Alhamdulillah saya berhasil menahan diri untuk tidak nonjok mukanya.

Saya lepaskan Akhmad hingga terduduk kembali di bangkunya. Dengan perasaan gondok saya berjalan ke kasir dan membayar bill kami berdua. Sebelum pergi, saya menghampiri Akhmad yang masih duduk memandang saya dengan pandangan aneh.

“Gue cabut dulu, Mad. Gue gak tau apa yang terjadi tapi lo udah jadi orang aneh sekarang.”

“Gue dapet hidayah, Bud. Dan gue mau membimbing elo ke jalan Surga tapi lo malah marah ke gue. Jadi sebenernya yang aneh itu siapa?”

“Dapet hidayah? Jangan-jangan lo juga percaya, ya, kalo bumi itu datar,” tanya saya.

“Memang bumi itu datar. Lo kira bumi itu bulat? Dasar thogut!”

“Hah??? Mad, dari mana lo dapet info bumi itu datar?”

“Al-Hijr ayat 19. ‘Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran.’”

Kembali saya terpaku mendengar omongannya Akhmad.

“Surat Al-Baqarah 22: Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap…’” kata Akhmad lagi.

Saya shock mendengar omongan temen saya ini. Dia sarjana S1 dan salah satu lulusan terbaik di kampusnya dulu tapi bisa punya pendapat seperti itu.

“Surat Qaaf 7: Dan Kami hamparkan bumi itu dan Kami letakkan padanya gunung-gunung yang kokoh dan Kami tumbuhkan padanya segala macam tanaman yang indah dipandang mata…”

“Mad, dengerin omongan gue…”selak saya tapi Akhmad masih mengoceh terus.

“Surat An-Naba’ ayat 6-7, Surat Al Gasyiah ayat 20. Semua mengatakan telah kuhamparkan bumi. Hampar itu seumpama sejadah jadi pasti datar. Kalo lo masih ngotot mengatakan bumi itu bulat berarti lo emang thogut.”

“Mad, tafsir itu cuma dipake untuk sesuatu yang belum diketahui. Karena belom diketahui makanya manusia menafsirkan. Jaman sekarang udah ada foto-foto dan video sebagai bukti otentik bahwa bumi itu bulat.

“Dari mana lo tau foto-foto itu? Dari NASA?”

“Ya, banyak! Nasa cuma salah satunya aja.”

“Terus lo percaya sama omongan orang kafir? Lo seharusnya lebih percaya sama Allah daripada orang kafir.”

“Eh, Mad, gue percaya 100% sama Allah. Yang gue gak percaya itu elo. Bumi kok datar? Waktu acara pembagian otak dari Tuhan lo gak hadir, ya?” kata saya mulai emosi lagi.

“Kalo percaya sama orang kafir maka lo juga kafir. Kalo lo sebagai kafir tapi masih mengharapkan surga berarti lo munafik!!! Thogut!!!”

Nyerah, deh, gue. Daripada saya tonjok beneran akhirnya saya pergi meninggalkan Akhmad. Sewaktu melangkah menjauh masih terdengar suaranya berteriak dengan lantang.

“Orang kafir dan munafik kayak elo tempatnya di neraka, Bud. Allah menawarkan surga dengan 70 bidadarinya yang senantiasa perawan untuk melayani elo malah lo tolak. Dasar kafir!!!!”

Saya berjalan terus ke arah area parkir sambil menulikan telinga tapi suara Akhmad sayup-sayup masih terdengar.

“Kalo masih mendukung Jokowi, lebih baik kita gak usah berteman lagi. Gue gak mau berteman dengan musuh islam! Daripada bermusuhan lebih baik kita tidak berteman!” kata Akhmad lagi.

Sehabis pertemuan itu, saya baru menyadari ternyata bukan cuma Akhmad tapi ada banyak temen-temen saya yang berubah seperti Akhmad. Sebenernya saya gak masalah mempunyai temen yang berbeda pilihan politik. Yang saya heran adalah kenapa orang yang awalnya mendukung Jokowi sekonyong-konyong pindah haluan dan berbalik membencinya setengah mati.

Anehnya, karakter orang tersebut juga berubah menjadi pemarah. Mereka sulit sekali diajak berdebat dengan kepala dingin. Mereka rata-rata bersikap sebagai pemegang kebenaran. Mereka gak pernah peduli pada data, pokoknya apa yang mereka yakini adalah yang paling benar. Semua yang tidak sehaluan langsung dituduh kafir, munafik dan musuh islam.

Sumber : Status Facebook Budiman Hakim

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed