by

Daring Atau Luring? Maunya Gimana

Solusi terakhir di atas justru sangat ditentang oleh suara ibu kelompok kedua. Mereka lebih memilih repot ngurus dan bimbing anak belajar di rumah ketimbang harus ke sekolah dalam kondisi pandemi seperti ini. Ada seorang ibu bahkan memilih lebih baik menunda sekolah setahun, atau tidak naik kelas tidak apa-apa asal nyawa anaknya selamat.

Ibu kelompok dua lagi-lagi menyerang suara ibu kelompok pertama yang dianggap tidak sayang anak, malas jaga anak di rumah, takut kehilangan waktu bermain medsos, dan sebagainya. Sementara ibu kelompok pertama menjawab bahwa mereka kebanyakan dari golongan tidak mampu yang masih butuh mencari tambahan pemasukan sehingga tidak sempat nemani anak.

Jadi bagaimana? Mau KBM daring (dalam jaringan/online) atau luring (luar jaringan/tatap muka) Bu? Harusnya bapak juga perlu ditanya seperti apa pendapatnya, karena siapa tahu bisa membantu masalah ibu dalam mengurus anak (eh si bapak juga punya kewajiban, bukan hanya ibu). Bahas atau diskusikan bagaimana strategi mereka memberi pembelajaran di tengah kondisi seperti ini.

Bagaimanapun pelaku dalam mengawasi, membimbing dan menemani anak belajar di rumah adalah kedua orangtuanya. Mungkin ada saudara atau keluarga lain bisa juga dilibatkan. Setiap anggota keluarga bisa berbagi tugas dan peran, dan terpenting ada jadual harian yang harus disusun dan diikuti oleh anak-anak usia sekolah. Termasuk juga segala alat kelengkapan harus disiapkan.

Prioritaskan saja dulu bagaimana penerapan belajar online anak sendiri, dan biarkan anak-anak di daerah dan tidak mampu, dipikirkan oleh pemerintah. Lakukan beberapa evaluasi yang perlu diperbaiki misalnya. Jika itu dianggap sebagai domainnya pihak sekolah atau guru, ya disampaikan dalam grup orangtua dan guru. Atau mungkin porsinya dinas pendidikan juga bisa disampaikan.

Terkait dengan KBM luring, maka pihak ortu atau ibu-ibu tidak perlu terlalu cemas dulu. Dinas pendidikan di masing-masing daerah “hijau” sudah diberi pengarahan oleh Kemendikbud agar selalu menerapkan protokol kesehatan. Itupun wajib dilakukan simulasi terlebih dahulu. Dimulai dari kelas paling atas (SMA), baru menyusul SMP, SD dan TK/PAUD. Jadi tidak boleh sembarangan menggelar KBM.

Segala sesuatu memang menanggung resiko. Orang bijak mengatakan, “Tidak ada kemenangan tanpa pengorbanan”. Bukan berarti gak papa beresiko, resiko tetap harus dieliminir namun jika pun harus ada resiko ya kita hadapi. Berpikir positif maka insha Alloh semua akan baik-baik saja. Pemerintah sendiri bukannya tidak pusing terutama dengan adanya dua kelompok suara tadi.

Untuk itu yang saya ketahui, dalam mengatasi beberapa persoalan yang dipaparkan di atas, pemerintah melalui Mendikbud berupaya mengajak semua unsur yang memiliki concern sama terhadap dunia pendidikan untuk bergotong royong membantu apa yang bisa mereka lakukan. Pemerintah tidak mungkin bekerja sendiri.

Pemerintah butuh lembaga atau ormas2 pendidikan yang bisa membantu cover semua siswa di semua daerah. Mungkin sedikit yang tahu bahwa banyak lembaga pendidikan informal yang telah berbuat banyak mulai dari mengerahkan relawan tenaga guru, mendirikan kelas-kelas informal hingga memberi pengajaran. Sasarannya adalah daerah-daerah pelosok dan atau mereka yang tidak mampu.

Organ atau perorangan yang melakukan itu yang ingin disuport oleh pemerintah melalui program POP,. Program itu juga ditujukan kepada lembaga-lembaga pendidikan formal non pemerintah, seperti: NU dan Muhammadiyah. Dengan program ini diharapkan kebutuhan akan pendidikan terutama proses KBM dapat diterima oleh seluruh siswa.

Bentuknya seperti apa? Tidak harus selalu formal dan seragam, sangat disesuaikan dengan kreativitas masing-masing unit penyelenggara pendidikan, namun diutamakan melalui online mengingat kondisi pandemi. Jika solusi alternatif ini belum dijalankan namun sudah mendapat protes hanya soal siapa saja penerima bantuan program, kok sepertinya naif sekali.

Apalagi dibarengi dengan tuduhan sadis Mendikbud ingin memperkaya diri dan kelompoknya (tuduhan tanpa bukti)? Begitupun, Mendikbud, masih mau menerima segala masukan, bahkan mengucapkan maaf dan terima kasih. Selanjutnya menunda program dan melakukan evaluasi lanjutan khususnya dalam soal rekrutmen penerima bantuan.

Ingat kembali yang dikatakan Jokowi, “Mari berdamai dengan Covid 19”. Artinya, mari kita masing-masing jangan bersikap kaku atau saklek. Ini kondisi luar biasa maka harus diatasi pula dengan cara-cara luar biasa yang memang kadang abnormal. Dibutuhkan kreativitas dan trobosan-trobosan baru agar kita tidak terjebak pada soal teknis saja, soal adm saja.

Masing-masing kita yang dimaksud agar “berdamai” tadi bukan hanya masyarakat melainkan juga pemerintah agar tidak terlalu kaku dalam penerapan kebijakan. Contoh: Belajar tertib dan disiplin mengerjakan tugas yang diberikan sekolah tetaplah penting dan harus, namun disesuaikan dengan kondisi daerahnya dan latarbelakang keluarga siswanya.

Untuk itu sekolah atau dinas pendidikan juga harus kreatif dan inovatif dalam menerapkan KBM yang bisa diterima oleh semua siswa. Banyak kok sekolah yang kreatif ber-KBM dan itu justru diapresiasi oleh Nadiem, bukannya diharuskan harus seragam. Kepada ibu-ibu, janganlah terlalu mudah mencak-mencak apalagi sampai menuduh yang tudak-tidak.

Selain itu menimbulkan dosa juga pasti akan berakibat buruk kepada diri sendiri, alias darting kumat. Ya kan? Untuk itu marilah kita gotongroyong bersama setidaknya di lingkungan terkecil di unit-unit pendidikan atau sekolah anak saja. Kuncinya ada di komunikasi. Bicarakan dan diskusikan baik-baik dengan guru atau pihak sekolah. Bagaimana yang terbaik untuk anak-anak kita agar tetap belajar namun juga aman kesehatannya. (Awib)

Sumber : Status Facebook Agung Wibawanto

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed