by

Dari MUI untuk Media Sosial yang Barbar

Kementerian Komunikasi dan Informatika mengaku telah memblokir 773 ribu situs selama tahun 2016. Pornografi, isu sara, kejahatan seksual, menjadi latar belakang paling dominan penutupan situs itu. Namun, efektifkah penutupan tersebut? Tahun 2017, situs-situs ini ibarat mati satu tumbuh seribu. Semakin bermunculan dengan nama berbeda namun konten serupa. Semakin bernada kebencian, fitnah, provokasi keyakinan. Apakah Indonesia perlu “diasingkan” sementara?

Tentu penutupan akses internet dan akun media sosial tidak diinginkan warga Indonesia yang dikenal demokratis ini. Kebebasan berpendapat akan terbendung dan tidak sesuai dengan esensi demokrasi itu sendiri. Namun, jika tujuannya adalah menyelamatkan negara, penutupan sementara akses media sosial lebih ampuh dari sekadar fatwa.

Di saat ratusan negara di dunia dengan ratusan juta penduduknya saling terhubung secara global lewat jaringan internet, ternyata ada beberapa negara di dunia yang malah melarang warga negaranya untuk menggunakan internet terlebih lagi ke situs sosial media. Untuk mengatasi konflik internal dalam negeri, Pemerintah Republik Demokratik Kongo melarang warga negaranya untuk menggunakan jejaring sosial, seperti Facebook dan Twitter.

Selain itu, warga negara Kongo juga tidak bisa menikmati layanan pesan singkat (short message service). China juga demikian. China menjadi salah satu negara besar di Asia yang melarang warga negaranya untuk membuat akun dan menggunakan jejaring sosial asing. Pelarangan ini sendiri dikarenakan pemerintah China ingin memajukan aplikasi dan jejaring sosial lokal dari perusahaan seperti Sina Weibo ataupun Tencent. Apakah warga Indonesia siap dengan risiko tak bermedia sosial lagi?

Kemunculan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) setidaknya bisa memberi arahan baik bagi pengguna media sosial yang “sadar” atau terlambat sadar. Tidak apa, kiranya lebih baik terlambat daripada digugat. Fatwa ini bisa menjadi pedoman bagi mereka yang telanjur kecanduan bermedia sosial atau 80 % baru bisa tidur, baru dapat inspirasi, karena bermedia sosial. Majelis Ulama Indonesia menerbitkan Fatwa MUI Nomor 24 Tahun 2017 tentang Hukum dan Pedoman Bermuamalah melalui Media Sosial.

Ketua Umum MUI KH Ma’ruf Amin menyatakan bahwa fatwa tersebut dibuat berdasarkan kekhawatiran akan maraknya ujaran kebencian dan permusuhan melalui media sosial.

Dalam fatwa MUI tersebut tercantum beberapa hal yang diharamkan bagi umat Islam dalam penggunaan media sosial.

Pertama, setiap Muslim yang bermuamalah melalui media sosial diharamkan melakukan ghibah (membicarakan keburukan atau aib orang lain), fitnah, namimah (adu domba), dan penyebaran permusuhan.

Kedua, MUI mengharamkan bullying, ujaran kebencian serta permusuhan atas dasar suku, agama, ras atau antargolongan. Haram pula bagi umat Muslim yang menyebarkan hoaks serta informasi bohong meskipun dengan tujuan baik, seperti informasi tentang kematian orang yang masih hidup.

Ketiga, umat Muslim juga diharamkan menyebarkan materi pornografi, kemaksiatan, dan segala hal yang terlarang secara syar’i. Haram pula menyebarkan konten yang benar tetapi tidak sesuai tempat dan/atau waktunya.

Keempat, MUI juga melarang memproduksi, menyebarkan dan-atau membuat dapat diaksesnya konten maupun informasi yang tidak benar kepada masyarakat.

Selain itu, aktivitas buzzer di media sosial yang menyediakan informasi berisi hoaks, ghibah, fitnah, namimah, bullying, aib, gosip, dan hal-hal lain sejenis sebagai profesi untuk memperoleh keuntungan, baik ekonomi maupun non-ekonomi, hukumnya haram.

Demikian juga orang yang menyuruh, mendukung, membantu, memanfaatkan jasa dan orang yang memfasilitasinya dinyatakan haram. Jika melihat fatwa ini, mungkin bisa berlaku bagi setiap orang yang meyakini bahwa Indonesia, baik di dunia nyatanya, maupun di dunia mayanya, adalah sebuah negara yang memelihara kedamaian dan menghargai peradaban.

Kehadiran buzzer memang tidak bisa disepelekan. Popularitas para buzzer ini mendorong brand-brand besar untuk bekerja sama dengan mereka. Selain dapat menghemat biaya untuk membayar iklan di Facebook atau Instagram, mereka juga dapat membayar buzzer ini untuk menulis status tentang produk/jasa tertentu dan mempengaruhi teman-teman dan pengikutnya untuk membeli produk atau menggunakan jasa tersebut.

Taktik ini terlihat sederhana, tidak terlalu terlihat membujuk dan blak-blakan. Cara mereka menulis status, mengunggah poster atau video juga berbeda dari iklan-iklan lain yang biasa kita lihat. Pendekatannya sendiri cenderung lebih pribadi dan tidak komersil. Tentu saja, brand-brand ini tidak menentukan isi postingan para influencer: mereka hanya memberikan panduan secara garis besarnya saja.

Dengan begitu, postingan yang dibagikan para influencer akan terasa lebih alami. Buzzer bisa mendorong kegiatan bermedia sosial yang bijak dan diikuti oleh pengikutnya. Penting melibatkan orang-orang berpengaruh ini untuk dapat membuat dunia media sosial makin ramah terhadap segala perbedaan dan menghentikan hasutan.

Media sosial sudah sepatutnya disambut baik. Tujuan awal dibentuknya sungguh mulia, sebab bisa mempererat komunikasi dan hubungan antarmanusia. Jangan lantas disia-siakan menjadi ajang adu domba, ajang propaganda, dan ajang menunjukkan kekuasaan.

Potret seorang putri yang bisa bertemu ayah kandungnya setelah 40 tahunan karena media sosial, kisah seorang anak kembar yang berhasil menemukan kembarannya hingga puluhan tahun, sepasang kekasih yang berpisah dan akhirnya dipertemukan oleh media sosial adalah bukti bahwa media sosial memang sosialis.

Sungguh bangga kiranya apabila media sosial bisa memperkuat rasa kemanusiaan, bukan malah membunuhnya secara perlahan, pelan-pelan tapi menelan.**

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed